Energi Terbarukan Itu Market Petani, Bukan Industri!

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Gatra.com | Kamis, 27 Mei 2021

Energi Terbarukan Itu Market Petani, Bukan Industri!

Semestinya, program energi baru terbarukan itu harus melibatkan dan menjadi market bagi petani. Tapi yang ada sekarang, program energi terbarukan khususnya di industri kelapa sawit, justru hanya jadi market industri yang dikuasai segelintir orang. “Ini sama saja dengan membunuh petani. Sebab sampai sekarang, enggak ada korporasi petani yang jadi pemasok ke industri ini,” kata Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (Sekjen-SPKS), Mansuetus Darto Alsy Hanu, saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin. Yang membikin aneh lagi kata Darto, tidak jelas siapa dan perusahaan mana yang menjadi pemasok bahan baku biodiesel itu meski cerita yang santer beredar, bahwa yang bersentuhan dengan pasar bahan baku biodisel itu adalah siapa berteman dengan siapa. “Rantai pasoknya enggak jelas, enggak terbuka. Mestinya Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka ke publik perusahaan mana saja yang selama ini menjadi pemasok Crude Palm Oil (CPO) untuk program biodiesel itu dan ESDM harus membuat standar khusus. Rantai pasoknya dibuka kepada publik, biar publik tahu kalau rantai pasok ke biodiesel itu, perusahaannya ini. Kalau masih model sekarang, takutnya nanti pasar biodiesel ini dituding pasar gelap. Agak takut juga kita dicap kayak begitu,” ujarnya. Sebagai program energi terbarukan kata Darto, mestinya yang menjadi prioritas pemasok bahan baku biodiesel itu minimal pabrik-pabrik yang selama ini mengolah Tandan Buah Segar (TBS) milik petani swadaya, biar petani yang tak punya tuan itu tertolong. “Dan yang paling idealnya tentu petani-petani diajari berkelompok untuk mendirikan pabrik biodiesel skala kecil. Sebab pabrik biodiesel itu enggak butuh teknologi tinggi.Dengan begitu, barulah mandatori B30 itu disebut menyelamatkan petani,” katanya.

Sebab dengan munculnya korporasi petani, tentu akan membikin penggunaan CPO di dalam negeri semakin besar. Lapangan kerja tercipta, duit yang berputar di dalam negeri bertambah. “Harga CPO juga akan terjaga lantaran suplay and demand minyak sawit dunia menjadi terkontrol. Bukan malah sibuk mempertahankan sutruktur progresif Pungutan Ekspor (PE) itu,” sindirnya. Kalau dengan model sekarang kata Darto, program biodiesel yang disubsidi dari hasil PE itu hanya dikuasai oleh segelintir orang dan orang itu penguasa konsesi perkebunan sawit besar pula. Alhasil, yang menikmati untung ya itu-itu saja. Sebetulnya, jauh-jauh hari Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI) hadir, justru untuk mendorong apa yang dibilang Darto tadi. Bagi MBI, pada aspek supply-chains, petani harus kuat dan menjadi subjek. “Caranya, korporatisasi petani sawit untuk memiliki PO Mill sendiri harus dan segera. Sebab dengan pola korporatisasi ini, petani sawit akan berubah dari objek menjadi subjek. Kalau sudah begitu, enggak perlu lagi rumus-rumus penetapan harga yang sampai sekarang masih diterapkan itu,” kata Ketua MBI, Sahat Sinaga kepada Gatra.com, tadi malam. Dengan model korporatisasi tadi kata ayah tiga anak ini, nilai tambah TBS petani secara otomatis akan meningkat 45%-50%. Maka mari kita bantu petani dengan pola; memperkuat yang lemah tanpa melemahkan yang kuat,” pinta Sahat.  Saat ini kata Sahat, luas kebun kelapa sawit petani mencapai 6,8 juta hektar. “Kalau petani maju dan terintegrasi dengan dengan Biohidrokarbon, maka yang menetapkan harga adalah para petani, bukan lagi perusahaan besar. Sekarang harga TBS katakanlah di level Rp2.400 perkilogram. Dengan model korporasi petani sawit tadi, harga di mereka itu bisa puna value add Rp1.080 perkilogram TBS, atau seolah-olah harga jual TBS itu menjadi Rp3.480 perkilogram. Inilah namanya “Poverty Alleviation”,” katanya. Biar ini berjalan kata Sahat, para petani bersatu membikin kelompok dalam luasan 5.000-6000 hektar. Kelola itu secara profesional dan dirikan Palm Oil (PO) Mill Generasi yang lebih efisien. Lalu tingkatkan rendemen menjadi 23,5% dengan produksi hingga 25 ton per hektar pertahun. “Semua komponen hasil pohon sawit dimanfaatkan jadi duit biar harga TBS bisa dinaikkan di atas 45%. Kerjakan ISPO basis 17 SDGs. Minimalisasi emisi GRK. Integrasikan dengan penghasil Bensin Biohidrokarbon yang juga dimiliki oleh Koperasi & BUMD. Kalau ini semua dilakukan, modal 4-5 hektar kebun, petani sudah bisa menyekolahkan anaknya hingga doktor,” Sahat yakin.

 

https://www.gatra.com/detail/news/512906/info-sawit/energi-terbarukan-itu-market-petani-bukan-industri

 

Validnews.id | Kamis, 27 Mei 2021

Green Avtur Mesin Jet Masuki Pengujian Tahap Dua

Rangkaian pengujian green avtur telah memasuki tahap kedua pengujian statis atau est cell, menggunakan engine CFM56-3 dengan dua variasi bahan bakar yakni Jet A-1 dan Bioavtur J2.4. Untuk keperluan pengujian, unit Treated Distillate Hydro Treating Refinery Unit IV Cilacap telah memproduksi Bioavtur 2,4% atau J2.4 stock on spec sebanyak 20 KL, menggunakan pengolahan minyak sawit yakni Refined Bleached Deodorized Palm Oil atau RBDPO. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagalistrikan dan EBTKE Haryanto menegaskan, pemanfaatan green avtur harus segera diaplikasikan. Terutama untuk penerbangan internasional yang telah mensyaratkan pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel dalam rangka penurunan emisi Gas Rumah Kaca atau GRK. Pasalnya, ujar Haryanto, pemanfaatan green avtur di Indonesia sesuai amanat Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 masih belum dapat dilaksanakan secara optimal hingga saat ini. Sebab terkendala berbagai permasalahan di antaranya terkait feedstock, teknologi produksi, dan keekonomian. Padahal sesuai komitmen dalam negosiasi iklim ke-21 atau Conference of Parties (COP21) di Paris, Indonesia telah menargetkan penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030. Termasuk di dalamnya adalah kontribusi dari sektor energi dan transportasi. “Terima kasih kepada Garuda Maintenance Facility untuk fasilitas pengujian bioavtur, yang akan diteliti bersama teman-teman dari ITB, terima kasih juga kepada BPDPKS untuk dukungan pengujian bioavtur J2.4. Semoga pengujian ini berjalan lancar dan kita bisa tingkatkan pengujian ini ke tahap berikutnya, untuk mendukung pemanfaatan bahan bakar nabati di sektor transportasi penerbangan,” ujar Haryanto dalam keterangan tertulis yang diterima pada Kamis (27/5). Pengujian tahap dua untuk bahan bakar bioavtur J2.4 di Garuda Maintenance Facility (GMF) Aeroasia pada Selasa (25/5) ini dilakukan sebanyak 3 cycle. Tiap cycle meliputi beberapa kondisi antara lain ground idle, flight idle, dan accel. Kemudian melihat nilai dari beberapa parameter seperti density yakni panas yang ditimbulkan mesin, vibrasi mesin, oil pressure, dan performance. Nilai tersebut dibandingkan dengan hasil penggunaan Jet A-1 dengan nilai limitasi yang diberikan oleh manufaktur mesin. Sebelum dilakukan engine test cell, terlebih dahulu dilakukan uji karakteristik bahan bakar yang akan digunakan. Uji statis mesin atau engine test cell tahap pertama telah dilaksanakan pada 22-23 Desember 2020 lalu, menggunakan campuran bahan bakar bioavtur 2% (J2) pada Engine CFM56. Bahan bakar Jet A1 yang digunakan sebanyak 10.900 liter dan green avtur J2 sebanyak 9.000 liter. Perlu diketahui, pengujian statis tahap kedua di Garuda Maintenance Facility turut disaksikan oleh VP Engine Maintenance PT GMF Aero Asia dan Asdep Migas, Pertambangan dan Petrokimia Kemenkoperekonomian. Serta perwakilan Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan, Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas KESDM, PPTMGB Lemigas, BPDPKS, ITB, SKK Migas, Pertamina, PT Dirgantara Indonesia, PT Garuda Indonesia, dan PT Citilink Indonesia.

Uji Terbang

VP Engine Maintenance PT GMF Aero Asia Jatmiko Herlambang Putra mengatakan, fasilitas pengujian atau test cell ini sudah ada sejak 1985 dan telah menggunakan berbagai mesin (engine). Sampai sejauh ini masih bisa dikembangkan untuk beragam engine generasi berikutnya. Fasilitas test cell di GMF dapat melakukan tes hingga 100.000 pound, rata-rata 100 engine per tahun. “Kami merasa terhormat untuk dapat berperan dalam pengujian bioavtur ini, beberapa engine yang saat kita punya untuk test cell ini adalah series FM, DES 3, DES 5, dan DES 7.  Serta, beberapa APU (Auxiliary Power Unit), termasuk juga APU untuk pesawat besar seperti untuk airbus 730. Mudah-mudahan pengujian ini nantinya dapat berjalan baik dan akhirnya dapat meningkatkan kemandirian energi, terutama kombinasi antara penggunaan avtur dengan kelapa sawit,” ungkap Jatmiko. Ia menjelaskan, keseluruhan pengujian ini akan menjadi data penting untuk mendapatkan persetujuan melakukan uji terbang dengan meminta masukan dari Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Setelah pelaksanaan uji statis, akan dilakukan uji terbang yang menggunakan pesawat bermesin turboprop CN-235-220 milik PT. Dirgantara Indonesia (DI). Rencana tersebut telah didiskusikan pada workshop yang dilaksanakan Direktorat Bioenergi pada 14 April 2021 lalu. PT DI menyatakan sangat mampu mengeksekusi uji terbang dan analisa data pengujian. Pesawat CN-235-220 akan digunakan pada uji terbang beregistrasi militer sehingga perlu dilakukan kerja sama yang harmonis antara Indonesian Military Airworthiness Authority (IMAA) dan DKPPU dalam proses uji terbang. Pesawat CN235-220 yang akan digunakan untuk uji terbang tersebut, tangki pada sayap kanan akan diisi dengan Jet A1, dan tangki pada sayap kiri akan diisi dengan Bioavtur J2.4. Sebelum uji terbang, akan dilakukan uji di darat atau ground run untuk melihat efek penggunaan Bioavtur J2.4. Pesawat uji coba terbang akan menjalani take off dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung, dan landing di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

 

https://www.validnews.id/ekonomi/green-avtur-mesin-jet-masuki-pengujian-tahap-dua

 

CNBCIndonesia.com | Kamis, 27 Mei 2021

Laba Q1 Turun 56%, Bos Astra Agro Ungkap 2 Pemicu Utamanya!

Manajemen PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), emiten sawit Grup Astra, menjelaskan alasan yang memicu penurunan kinerja laba bersih pada 3 bulan pertama tahun ini di tengah pandemi Covid-19, kendati kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) juga mampu menyelamatkan kinerja perusahaan. Pada kuartal I tahun ini tercatat pendapatan perusahaan naik 5% menjadi Rp 5 triliun dari Rp 4,7 triliun pada periode yang sama tahun lalu, tapi laba bersih AALI turun 56,22% menjadi Rp 162,43 miliar dari sebelumnya Rp 371,06 miliar.vDirektur AALI Mario Casimirus Surung Gultom menjelaskan penurunan laba disebabkan karena adanya dana pungutan ekspor (levy) progresif di akhir tahun 2020. Selain itu penurunan laba juga adanya kerugian akibat adanya lindung nilai. “Jadi penurunan laba ini kami melihat bahwa tahun sebelumnya levy itu hanya US$ 55 per ton, tapi dengan adanya levy progresif di akhir 2020, sehingga dari harga [patokan] CIF Rotterdam itu akan dipotong kira-kira 30 – 40% untuk levy,” jelasnya dalam Konferensi Pers, Kamis (27/5/2021). Sebagai catatan, tahun lalu, pemerintah menerbitkan aturan baru tarif pungutan ekspor sawit (levy). Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam PMK yang baru diteken pada 3 Desember 2o2, pungutan ekspor CPO (crude palm oil) bisa naik secara berkala menyesuaikan harga referensi sawit. Ekspor CPO dikenakan tarif pungutan sebesar US$ 55 per ton jika harganya berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton.

Selain itu, dia menjelaskan, penurunan laba juga diakibatkan adanya lindung nilai. Mario mengatakan kinerja pada semester kedua akan lebih baik dari sebelumnya karena biaya lindung nilai akan selesai pada semester I tahun ini. “Lindung nilai itu akan selesai di semester I, jadi semester II mungkin kita tidak akan ada lagi, kami berharap di semester kedua kami bisa lebih baik dari semester I,” jelasnya. Mario menjelaskan prospek kinerja perusahaan pada tahun ini kemungkinan masih positif walaupun belum bisa membeberkan berapa angka yang dipatok dalam kinerja tahun ini. Dia menjelaskan karena pengeluaran untuk lindung nilai akan selesai pada semester I. “Dari sisi harga juga mungkin masih baik, walaupun dari pekan terakhir menurun sekarang di pasar spot kisaran RM 3.400 per ton, beberapa waktu sebelumnya RM 4.800,” jelasnya. Dia menjelaskan isu utama dalam industri sawit saat ini adalah pasokan dan permintaan. Sampai saat ini menurutnya belum ada tanda-tanda suplai akan naik, justru pada akhir tahun akan terjadi peak crop atau titik puncak panen, sehingga harga sawit kemungkinan akan menurun.

Kuartal I-2021

Kinerja teranyar, laporan keuangan kuartal I 2021 menunjukkan laba bersih AALI memang merosot 56,22% menjadi Rp 162,43 miliar di sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, dari laba bersih pada periode yang sama tahun lalu Rp 371,06 miliar. Pendapatan usaha AALI tercatat naik 4,98% dari Rp 4,79 triliun pada triwulan I 2019 menjadi Rp 5,04 triliun pada periode yang sama tahun ini. Tahun lalu, AALI mencatatkan kenaikan laba bersih  mencapai 295% menjadi Rp 833,09 miliar, dari periode tahun sebelumnya sebesar Rp 211,12 miliar. Kenaikan laba bersih 2020 ini terjadi seiring dengan pendapatan AALI yang juga naik 7,79% menjadi Rp 18,81 triliun dari tahun sebelumnya Rp 17,45 triliun. Secara rinci, pendapatan minyak sawit mentah dan turunannya naik menjadi Rp 17,37 triliun dari periode tahun sebelumnya Rp 15,93 triliun. Pendapatan inti sawit dan turunannya turun tipis menjadi Rp 1,31 triliun dari Rp 1,35 triliun dan pendapatan inti sawit dan turunannya turun menjadi Rp 127,13 miliar dari sebelumnya Rp 167,73 miliar. Di sisi lain, dari total pendapatan itu, kontribusi terbesar pendapatan untuk pihak ketiga yakni dari Bunge Asia Pte Ltd mencapai 10,02% atau sebesar Rp 1,88 triliun.

 

https://www.cnbcindonesia.com/market/20210527151350-17-248794/laba-q1-turun-56-bos-astra-agro-ungkap-2-pemicu-utamanya

 

Beritasatu.com | Kamis, 27 Mei 2021

Arsjad Rasjid Dukung Pengembangan Potensi Kalimantan Barat

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Pengusaha Nasional, Arsjad Rasjid mendukung penuh pengembangan potensi dan investasi di Provinsi Kalimantan Barat. Pernyataan itu dilontarkan Arsjad Rasjid dalam talkshow bertema “Strategi Investasi untuk Pembangunan Daerah” yang digelar Kadin Kalimantan Barat di Pontianak, Kamis (27/5/ 2021). Menurut Arsjad, sebagai provinsi yang sangat kaya sumber daya alam dan industri, potensi ekonomi Kalimantan Barat sangat potensial untuk dikembangkan. Terlebih secara geografis, Kalimantan Barat juga berdekatan dengan Malaysia dan negara Asia Tenggara lainnya. “Saya bersama Kadin Indonesia akan mendukung penuh pengembangan potensi Kalimantan Barat. Industri-industri unggulan seperti industri pengolahan karet, sawit, kelapa dan bauksit akan semakin diminati oleh investor ke depannya,” katanya. Selain itu, lanjut Arsjad, industri karet yang saat ini harga komoditasnya terus mengalami kenaikan juga bisa menjadi peluang yang bisa dikembangkan. Disebutkan Arsjad, peluang ini salah satunya turut didorong oleh meningkatnya produksi electric vehicle. Masih menurut Arsjad, pemintaan global kepala sawit juga diperkirakan akan meningkat karena permintaan crude palm oil ( CPO) pada masa pemulihan ekonomi yang didorong oleh kebutuhan pangan dan kosmetik. Yang juga tak kalah potensial, ke depan, pertambangan bauksit juga akan menjadi industri yang sangat menarik bagi investor. “Untuk perusahaan pertambangan, bauksit menjadi menarik karena outlook menurunnya penggunaan batubara sebagai sumber energi global. Di sisi lain, bauksit yang menjadi bahan baku aluminium juga akan meningkat. Ini didorong permintaan dari sektor otomotif,” jelasnya. Arsjad yang juga calon ketua umum Kadin Indonesia periode 2021-2026 juga mengatakan akan mendorong kolaborasi Kadin Indonesia, kadin daerah, serta pemerintah untuk mendukung pengembangan dan investasi di daerah. “Dunia usaha harus berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengoptimalkan potensi daerah,” ujarnya. Sementara, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji menyebutkan, akan meningkatkan potensi CPO. “Potensi CPO Kalimantan Barat mencapai 2,4 juta ton. Sayangnya, sebelumnya CPO asal Kalimantan Barat harus diekspor melalui pelabuhan lain, seperti Belawan di Medan,” ujarnya. Dengan semakin berkembangnya infrastuktur di Kalimantan Barat, termasuk dengan beroperasinya Pelabuhan Kijing di Kabupaten Mempawah, Sutarmidji optimistis, penerimaan daerah terutama dari CPO dan sumber daya lainnya, akan semakin meningkat.

 

https://www.beritasatu.com/nasional/779213/arsjad-rasjid-dukung-pengembangan-potensi-kalimantan-barat

 

Sindonews.com | Kamis, 27 Mei 2021

Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit Perkuat Industri Hilir

Pelaku usaha industri hilir kelapa sawit dan petani meminta pemerintah tetap melanjutkan skema pungutan ekspor yang saat ini berjalan di dalam PMK 191/PMK.05/2020. Pungutan ekspor sudah terbukti mendorong industri hilir kelapa sawit (IHKS) dan menjaga stabilitas harga pasar sawit dalam negeri baik produk minyak goreng di level industri serta TBS petani. “Dengan struktur pungutan ekspor sekarang, ekspor dalam bentuk produk hilir sawit meningkat pesat. Begitupula investasi hilir terus bertambah di dalam negeri. Industri hilir sawit akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dari aspek penyerapan tenaga kerja, pajak, dan devisa,” ujar Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Kebijakan tarifpungutan ekspor sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 dinilai sudah on the right track atau sejalan dengan arah program hilirisasi. Bernard Riedo mengatakan skema tarif pungutan sawit yang lebih tinggi kepada produk hulu, dan tarif lebih rendah untuk produk hilir sangat mendukung daya saing ekspor produk hilir Indonesia di pasar global . “GIMNI meminta pemerintah supaya konsisten mengimplementasikan PMK nomor 191/PMK.05/2020 yang mulai efektif berjalan pada 10 Desember 2020. Sebab aturan ini sudah terbukti mampu meningkatkan daya saing produk hilir sawit Indonesia baik itu berupa oleofood. Dan juga oleochemicals di pasar global sekaligus menjaga stabilitas harga produk sawit untuk makanan di pasar dalam negeri, yang bermuara terciptanya kebijakan hilir sawit,” jelas Bernard. Berdasarkan data yang dikumpulkan GIMNI, sepanjang Januari sampai April 2021 komposisi ekspor produk hilir (high value add) dalam bentuk volume di atas 80% – 90%. Sedangkan, ekspor minyak sawit mentah (CPO & CPKO, low value add) rerata menurun drastis ke arah 10%-20%. Pada Januari, ekspor produk CPO dan turunannya mencapai 2,861 juta ton (24% Crude Oils/CO dan Palm Processed Oils/PPO sebesar 76%). Selanjutnya Februari, volume ekspor sawit berjumlah 1,994 juta ton (crude oils 20% dan PPO sebesar 80%). Volume ekspor sawit dan turunannya di Maret naik menjadi 2,63 juta ton (crude oils 12% dan PPO 88 %). Bulan April, volume ekspor kembali naik menjadi 3,078 juta ton (crude oils 10,6 % dan PPO 89,4 %).  “Tingginya ekspor sawit dalam bentuk hilir akan memberikan nilai tambah lebih besar bagi industri sawit di dalam negeri,” ujar Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI. Sahat menjelaskan bahwa regulasi pungutan ekspor memberikan insentif yang cukup attractive untuk mengekspor produk hilir. Alhasil, peningkatan nilai tambah di sektor hilir akan berkontribusi bagi banyak hal antara lain nilai devisa , lapangan kerja dan pajak negara. Dan elemen ini sering dilupakan oleh sebagian para pebisnis sawit Indonesia “Semenjak Januari sampai Mei ini, harga sawit terus merangkak naik. Dari harga tender CPO Rp 9.900 per kilogram di Dumai, sekarang sudah di kisaran Rp11.700 per kilogram. Pungutan ekspor juga ikut naik sebagai dampak kenaikan harga,” ujarnya.

Di pasar global, selisih harga antara CPO dengan soya oil mencapai USD400 per ton. Menurut Sahat, besarnya selisih ini akan membuat negara konsumen minyak nabati untuk mencari nabati murah. Satu-satunya minyak yang terjangkau harganya adalah sawit. Di level harga rendah inilah yang menjadikan negara-negara sub-tropis penghasil soft oils berusaha untuk mendiskreditkan minyak sawit dari pasar dengan berbagai kampanye negatif akan sawit. Sementara itu, rerata harga minyak bumi USD37,2 per barel di periode yang sama tahun 2020, kini harga minyak bumi bertengger di USD67 per barel. Kenaikan harga minyak bumi ini juga memiliki relevansi dengan tingginya harga sawit. “Jika dikatakan dengan pola pungutan yang sekarang memberi keuntungan bagi negara penghasil sawit lainnya. Kelihatannya ditiupkan oleh perusahaan kebun sawit asing yang ada di Indonesia. Lalu dikaitkan harga TBS sawit akan menurun, sebenarnya itu dipersepsikan. Faktanya dengan kenaikan tarif pungutan ikut mendongkrak harga TBS petani, dan sebaliknya di tahun 2019 tidak ada pungutan sama-sekali harga TBS petani mangkrak di level Rp 700 -850/kg,” jelasnya. Kebijakan tarif pungutan sudah tepat di tengah kondisi sekarang. Komposisi ekspor yang dominan hilir, dikatakan Sahat, menunjukkan tarif pungutan sangat efektif. Dampak positifnya mendongkrak harga TBS petani. “Indonesia tidak lagi ekspor CPO di mana nilai tambahnya rendah. Skema tarif pungutan sekarang sebaiknya dipertahankan. Sebab, petani sedang menikmati tingginya harga TBS. Konsistensi pemerintah sangat dibutuhkan pelaku industri sawit dalam negeri. Kami mendapatkan insentif untuk mengekspor produk hilir sawit bernilai tambah tinggi dan sekaligus mulai mampu bangkit untuk merebut pasar IHKS di pasar global ,” ujarnya. Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengakui petani sangat menikmati tingginya harga TBS sawit di 22 provinsi yang menjadi sentra sawit. Harga TBS membuat petani dapat belanja dan memenuhi kebutuhan mereka. Otomatis, pengeluaran para petani sawit inilah yang menggerakkan perekonomian daerah. “Riau, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat menjadi contoh bagusnya nilai tukar petani. Alhasil, perekonomian daerah ikut bergerak,” kata Gulat. Gulat sepakat tarif pungutan ekspor (PE) sawit sekarang ini tidak perlu diubah. Jangan tergoda dengan pendapat bahwa pungutan merugikan petani. Atau ada pendapat pungutan menurunkan eksport CPO. Dengan adanya pungutan, pengusaha CPO sudah berpikir untuk hilirisasi dalam negeri karena tarif pungutan untuk ekspor produk hilir dari CPO jauh lebih rendah. Artinya, industri hilir di dalam negeri dapat tumbuh sehingga penyerapan tenaga kerja meningkat. Kenaikan harga CPO dunia berdampak positif terhadap harga TBS. Ia mengakui serapan sawit di dalam negeri menjadi kunci stabilnya harga TBS. Instrumen penyerapan sawit ini adalah kebijakan mandatori biodiesel.”Dengan adanya pemakaian sawit di dalam negeri, pabrik sawit beroperasi 24 jam. Tidak ada lagi alasan tanki penyimpan penuh. Karena serapan sawit sangat tinggi,” kata Gulat Manurung.

 

https://ekbis.sindonews.com/read/438748/34/kebijakan-pungutan-ekspor-sawit-perkuat-industri-hilir-1622095552?showpage=all

 

Gatra.com | Kamis, 27 Mei 2021

Pungutan Ekspor Sawit Untuk Siapa?

Kalau menengok harga ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) bulan ini, mestinya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit petani sudah di atas angka Rp3500 perkilogram. Soalnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) merilis bahwa harga CPO Cif Rotterdam untuk pengiriman Juni 2021, sudah di angka USD1.240 perton dan CPKO USD1.550 perton. Tapi lantaran harus dipotong Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK), harga bersih CPO itu menjadi USD869 perton dan CPKO USD1.179 perton. Itupun kalau BK yang dipakai adalah USD116 perton, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 166 tahun 2020 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar. Sementara, informasi yang beredar, BK itu justru sudah dinaikkan menjadi USD144 perton. Lantas soal PE tadi, PMK 191 tahun 2020 mengamanahkan bahwa harga CPO maupun CPKO yang sudah di atas USD995 perton, musti dikenai PE USD255 perton. Maklum, di dalam PMK ini, PE sengaja dibikin progresif, artinya, besaran PE mengikuti level kenaikan harga ekspor CPO dan CPKO itu. Itulah makanya, setelah pengurangan BK dan PE tadi, harga riil yang didapat, hanya segitu. Lalu, kenapa kemudian muncul bahasa kalau dengan harga Cif Rotterdam tadi harga TBS petani bisa di atas Rp3500 perkilogram? Itu lantaran sesungguhnya, acuan penetapan harga TBS petani adalah harga ekspor CPO dan CPKO tadi. Ini sesuai isi Pasal 7 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 Tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. “Gara-gara harga CPO dan CPKO tadi jadi nyawanya penetapan harga TBS petanilah makanya kami meminta struktur PE pada PMK 191 itu direvisi. Sebab pada kondisi sekarang, PE itu sudah sangat menggerus harga TBS petani. Hitungan kami, waktu tarif PE USD50 perton saja, lost income petani sudah Rp124 perkilogram. Sekarang lost income itu sudah melonjak drastis; menjadi Rp620 perkilogram. Itu baru hitungan dari PE CPO nya,” rinci Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (Sekjen-SPKS), Mansuetus Darto Alsy Hanu, saat berbincang dengan Gatra.com, kemarin.

Sebelumnya, sebahagian kalangan industri dan petani justru meminta supaya struktur PE pada PMK 191 itu dipertahankan. Alasannya, di situasi harga CPO dunia yang mahal, dengan struktur seperti itu, kalangan industri akan memilih mengolah CPO nya di dalam negeri menjadi sejumlah turunan ketimbang harus membayar PE CPO yang mahal pula. Jadi, kalau sudah jadi turunan, barulah diekspor, PE nya tidak semahal CPO. Nah, dengan diolah di dalam negeri, investasi hilir terus bertambah, peluang kerja terbuka, pajak dan devisa membuncah dan petani sawit sumringah lantaran harga TBS nya stabil. Di Riau sendiri misalnya, harga TBS dari tanaman berumur 10 tahun ke atas, dibanderol Rp2630 perkilogram. Harga ini berlaku hingga 1 Juni 2021. “Kalau ada orang bilang PE ini menguntungkan negara penghasil sawit lainnya, itu kan katanya. Yang pasti, banyak yang tak mau model pungutan seperti ini lantaran mereka tak mau Cuannya dipotong. Kalau tak mau cuannya dipotong, ya bikin produk hilir,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. Tapi kalau menengok pernyataan GAPKI yang dirilis akhir bulan lalu, melonjaknya harga CPO justru bukan disebabkan oleh struktur PE tadi. Tapi justru oleh banyaknya perubahan prediksi produksi oilseeds dan kenaikan produksi biodiesel dunia. Ketidakpastian tanam dan produksi oilseeds menyebabkan permintaan minyak sawit meningkat. “Pengaruh musim, produksi kelapa sawit yang menyusut dan pemulihan ekonomi di negara tujuan ekspor, sangat mempengaruhi. Jadi harga CPO dunia yang duluan naik, baru sebahagian kalangan industri mengolah CPO nya di dalam negeri. Tapi lantaran struktur PE nya seperti tadi, petani yang makin dirugikan,” Darto menimpali. Kalau kemudian kalangan industri mengklaim bahwa harga TBS itu naik lantaran adanya program biodiesel di dalam negeri kata lelaki kelahiran Kende-Flores Nusa Tenggara Timur ini, malah lebih salah lagi. “Kalau model PE seperti itu dibuat demi menyokong usaha perusahan biodiesel, baru masuk akal lagi. Sebab yang paling banyak menyedot duit PE itu, justru program biodiesel. Tengok sajalah, dari 2015-2020, sudah Rp57,72 triliun duit yang tersedot untuk program biodiesel itu. Kalau untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), promosi dan riset, bunga duit PE itu saja sudah cukup,” semakin jauh Darto, ini mengurai.

Darto kemudian mencontohkan kondisi harga TBS petani di Malaysia yang saat ini sudah berada di kisaran angka Rp3000 perkilogram. “Kalau kita mengacu pada omongan di Indonesia, berarti tingginya harga TBS di sana (Malaysia) itu, gara-gara program biodiesel juga? Enggaklah. Wong di sana biodieselnya masih di B5 dan itu pun dibikin bukan dari hasil PE kayak di Indonesia,” ujarnya. Sebelum Pilpres kata Darto, harga TBS pernah terjerembab hingga ke angka Rp600 perkilogram. Petani pun meneriaki program biodiesel sampai-sampai Presiden Jokowi turun ke kebun-kebun petani sambil menyuruh bertanam jengkol atau petai. “Enggak lama kemudian, PE dihentikan, itu berlangsung hampir setahun. Setelah PE dihentikan, harga TBS perlahan naik,” terangnya. SPKS kata Darto bukan anti PE, apa lagi biodiesel. “Tapi yang wajar-wajar sajalah. PE dengan besaran USD30 perton, itu sudah cukup dan tidak akan mencederai petani,” katanya. Tapi kalau dengan PE yang sebesar sekarang, perusahaan kecil kata Darto, sebenarnya menentang, apalagi petani — khususnya petani yang mengerti soal hitungan PE — mereka enggak suka lantaran PE itu hanya menguntungkan eksportir besar yang menguasai hulu dan duduk pula di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS). “Yang menolak PE 191 itu direvisi ya tentu mereka yang menikmati PE itu. Kalau kami sih, maklum saja, tapi mbok pakai perasaan juga lah. Yang pasti, kami punya database harga sawit kok, dan harga TBS pernah mencapai Rp2000 perkilogram meski program biodiesel belum ada,” ujarnya.

 

https://www.gatra.com/detail/news/512897/info-sawit/pungutan-ekspor-sawit-untuk-siapa

 

Kompas | Jum’at, 28 Mei 2021

Izin Konsesi Enam Kebun Sawit Dicabut

Hasil evaluasi terhadap perusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat menunjukkan adanya sejumlah pelanggaran. Izin konsesi perusahaan yang melanggar pun dicabut. Enam perusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat tidak memenuhi syarat atau kriteria menjalankan usahanya. Akibatnya, izin konsesi keenam perusahaan tersebut yang mencakup lahan seluas 52.151 hektar akan dicabut Hal serupa juga berpotensi menimpa 10 perusahaan lainnya dengan total luas lahan kebun 224.044 hektar. Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat Yacob Fo-nataba mengemukakan, terdapat 30 perusahaan perkebunan Kelapa Sawit yang memiliki surat atau rekomendasi beroperasi. Namun, lima perusahaan memutuskan mengundurkan diri dan satu perusahaan telah dicabut izinnya oleh Bupati Sorong sehingga total saat ini ada 24 perusahaan perkebunan sawit yang berizin di Papua Barat ” “Sebanyak 10 perusahaan sudah sepakat mencabut izinnya karena mereka menyadari bahwa syarat yang dimiliki tidak memenuhi kriteria. Diharapkan evaluasi ini dapat memperbaiki tata kelola mulai dari perizinan, pelaksanaan, hingga pembangunan industri dan ekspor,” ujar Yacob di Jakarta, Kamis (27 5 2021). Sekretaris Daerah Kabupaten Sorong Cliff Agus Japse-nang mengatakan, dasar pencabutan izin perusahaan sawit oleh Bupati Sorong adalah pe- langgaran operasional Perusahaan yang dimaksud memiliki kecenderungan tidak menjalankan usaha perkebunan sawit melainkan bidang kehutanan. “Pertimbangan lain, aspek ekonomi atau keuntungan bagi masyarakat dan dampak bagi pemerintah daerah,” katanya. Yacob menjelaskan, evaluasi izin usaha perkebunan Kelapa Sawit di Papua Barat bertujuan untuk memperbaiki tata kelola, mengoptimalisasi penerimaan negara dari sektor perkebunan, dan menjadi upaya menjaga luas tutupan hutan Papua Barat Hasil evaluasi 24 perusahaan sawit di Papua Barat dengan luas lahan 611.440 hektar ini terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, perusahaan yang menyatakan secara eksplisit tidak akan melanjutkan proses perolehan perizinan perkebunan sawit dengan total lahan konsesi 87.201 hektar. Kedua, perusahaan yang melanggar izin dan belum membuka lahan dengan luas lahan konsesi 224.344 hektar. Ketiga, perusahaan dengan hak guna usaha (HGU) atau sudah melakukan penanaman, tetapi me-lakukan pelanggaran dengan luas lahan konsesi 299.894 hektar.

Jenis pelanggaran

Pelanggaran yang ditemukan dalam evaluasi ini bersifat administrasi dan operasional Bentuknya, antara lain, tidak memenuhi syarat izin usaha perkebunan (IUP), tidak memiliki izin pemanfaatan kayu dari dinas kehutanan, tidak melaporkan perusahaan kepemilikan saham dan susunan kepengurusan, belum memperoleh HGU, serta belum menyelesaikan kebun inti dan pembangunan plasma Perusahaan juga terdeteksi menanam di lahan yang tidak masuk dalam izin.

KPK terlibat

Evaluasi izin perkebunan Kelapa Sawit oleh Provinsi Papua Barat juga mendapat dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak 2009 menaruh perhatian pada isu sumber daya alam dan kehutanan. Ketua Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK Dian Patria mengatakan, evaluasi ini mendesak dilakukan mengingat ada kecenderungan deforestasi mengarah ke wilayah timur Indonesia, khususnya Papua. ‘Terdapat dua rencana aksi KPK, yaitu perbaikan tata kelola perizinan dan optimalisasi pajak. Ini penting karena banyak pelaku usaha yang tidak mengikuti aturan,” ungkapnya. Dian menekankan, evaluasi ini tidak boleh hanya berhenti pada pencabutan izin perusahaan perkebunan sawit yani; tidak memenuhi kriteria. Langkah ini perlu ditindaklanjuti sehingga kejadian serupa tidak terjadi lagi di wilayah lain.

 

Investor Daily Indonesia | Jum’at, 28 Mei 2021

Sejumlah Petani Sawit Persoalkan Penyerobotan Lahan di Riau

Sejumlah pejabat PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) dilaporkan oleh 200 petani sawit yang tergabung dalam Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) ke Bareskrim Polri atas dugaan penyerobotan tanah 400 hektare (ha) di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Perwakilan 200 petani sawit didampingi oleh Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute, Jakarta. Laporan diterima oleh Bareskrim Polri dengan nomor: STTL/220/V/2021/ BARESKRIM. Dalam keterangannya, Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute mengungkapkan, pada 2003 dan 2006 Kopsa-M dan PTPN V membuat perjanjian kerja sama pembangunan kebun Kelapa Sawit pola KKPA untuk anggota koperasi yang direncanakan 2.000 ha, dalam bentuk surat perjanjian kerja sama (MoU). MoU ditandatangani oleh Kopsa-M dan Mardjan Ustha selaku Direktur SDM PTPN V. Pembangunan kebun kemudian dimulai tahun 2003. Selain tidak tuntas membangun kebun, tata kelola keuangan yang buruk, tanah-tanah petani itu dibiarkan oleh PTPN V diambilalih secara melawan hukum oleh pihak-pihak yang tidak berhak. “Akibat tata kelola pembangunan kebun yang tidak akuntabel, alih-alih menyerahkan kebun yang dibangun, 400 hektare kebun yang seharusnya menjadi hak petani justru diserobot oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Seluas 400 hektare kebun tersebut diduga diperjualbelikan oleh seseorang yang berkolusi dengan salah satu petinggi PTPN V tahun 2007,” ungkap Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute Disna Riantina.

Pada 18 April 2007, telah dilakukan pengikatan jual beli secara melawan hukum di hadapan notaris Hendrik Priyanto yang berala- mat di Jalan Pembangunan nomor 10 C, Kp Melayu, Payung Sekaki, Kota Pekanbaru, Riau. Legalisasi penyerobotan itu diduga dilakukan oleh Endriyanto Ustha sebagai penjual dan Hinsatopa Simatupang, selaku pembeli. Dalam akta jual beli, pihak Notaris mengklaim melakukan pengikatan dengan menggunakan kuasa lisan yang diberikan pihak yang mengatasnamakan petani. Faktanya, para petani tidak pernah memberikan kuasa dalam bentuk apapun bahkan sebaliknya mereka membuat pernyataan tentang tidak pernah memberikan surat kuasa lisan kepada siapapun. Penyerobotan kebun ini juga merupakan bentuk pembiaran yang dilakukan PTPN V, yang seharusnya menjaga dan menyerahkan kebun ke petani, setelah 36 bulan dari pembangunan kebun. “Akibat penyerobotan tersebut, Direktur Utama PT Lang-gam Harmuni Hinsatopa Simatupang, diduga menguasai dan mengambil hasil dari perkebunan milik Kopsa-M seluas 400 ha. Sementara 200 petani hanya menonton PT Langgam Harmuni, yang juga diduga beroperasi tanpa izin, karena tidak ada satupun HGU yang dikeluarkan di lokasi kebun Sawit tersebut, yakni di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau,” papar Disna lagi. Dalam pelaporan ke Bareskrim Polri, Tim Advokasi Keadilan Agraria-Setara Institute membawa bukti kepemilikan lahan berupa 7 sertifikat tanah dan 193 surat keterangan tanah (SKT) dari Kecamatan Siak Hulu, Kampar. Sejumlah orang menjadi terlapor dalam kasus ini, termasuk Mardjan Ustha, mantan Direktur SDM/ Umum PT Perkebunan Nusantara V dan adik Mardjan Ustha yang bernama Endriyanto Ustha yang bertindak sebagai penjual lahan kebun.