Imbas pandemi Covid-19, Aprobi: Permintaan biodiesel turun hingga 12%

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Rabu, 2 Desember 2020

Imbas pandemi Covid-19, Aprobi: Permintaan biodiesel turun hingga 12%

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengatakan permintaan biodiesel mengalami penurunan hingga 12% di tahun ini. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menerangkan, sejak Januari hingga September 2020, permintaan biodiesel dometik mencapai 6,32 juta kiloliter, sementara produksinya mencapai 6,47 juta kiloliter. Paulus menyebut, salah satu alasan penurunan ini lantaran adanya pandemi Covid-19 yang masih terjadi hingga saat ini. “Pandemi menghantam dunia dan juga Indonesia hingga saat ini. Permintaan untuk biodiesel menurun hingga kurang lebih 12%,” ujar Paulus dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (2/12). Tak hanya disebabkan oleh pandemi Covid-19, Paulus menerangkan penurunan permintaan ini disebabkan oleh pergerakan harga minyak dunia yang berfluktuasi sejak awal tahun. Bahkan, menurutnya, pada Maret dan April 2020, harga minyak dunia berada pada posisi yang sangat rendah. Menurut Paulus, hingga September perbedaan harga antara biodiesel dan diesel melebar rata-rata US$ 461 per ton. Padahal, bila dilihat sepanjang 2019, harga minyak dunia tidak mengalami fluktuasi begitu besar meskipun menjelang akhir tahun terjadi konflik antara Rusia dan Arab Saudi karena masalah ekspor dan produksi minyak dunia. Paulus mengakui kondisi ini menjadi salah satu tantangan yang tak mudah. Karenanya, dia juga mengatakan harus ada langkah mitigasi yang diambil. Beberapa mitigasi tersebut seperti penerapan mandatori B30. Tak hanya itu, dia juga menilai BPDPKS perlu melakukan penyesuaian seperti mengatur ulang pungutan ekspor, perlu juga upaya mengurangi rentang harga diesel dan biodiesel. Dia pun mengapresiasi pemerintah yang sudah sepakat untuk melanjutkan program B30 meskipun terdapat berbagai tantangan mulai dari penurunan harga minyak dan pandemi Covid-19.  Menurutnya ada juga kemungkinan dukungan anggaran pemerintah pada program ini mengingat B30 adalah program pemerintah.

https://industri.kontan.co.id/news/imbas-pandemi-covid-19-aprobi-permintaan-biodiesel-turun-hingga-12

Gatra.com | Kamis, 3 Desember 2020

Mengulik Tudingan Tak Sedap Soal Biodiesel

Banyak orang mengacungkan jempol setelah menengok usaha pemerintah membangun Ketahanan Energi Nasional dengan memanfaatkan potensi kelapa sawit. Tapi tak banyak yang tahu kalau yang menopang hadirnya Ketahanan Energi Nasional itu justru para pelaku kelapa sawit itu sendiri. Tengok sajalah di lapangan. Petani kelapa sawit menjual hasil panennya berupa Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit ke pabrik. Di pabrik, TBS itu kemudian diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan dialirkan ke tangki pengumpul. Di sana bercampurlah CPO petani dan produk yang sama milik perusahaan kelapa sawit. Tak semua CPO itu dikirim ke luar negeri, sebab sebagian musti diolah di dalam negeri menjadi biodiesel dan sederet turunan lain. CPO yang dikirim ke luar negeri tadi, ternyata musti membayar USD50 perton kepada pemerintah. Duit ini disebut dana pungutan ekspor. Kalau 30 juta ton saja CPO yang diekspor dalam setahun, berarti sudah Rp21 triliun duit yang didapat pemerintah dari pungutan itu. Ini belum termasuk pungutan dari sekitar 17 turunan sawit lainnya yang juga diekspor. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, tahun ini ada sekitar Rp45,52 tirliun dana pungutan yang didapat dari hasil sawit yang kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Hanya saja kebanyakan duit itu dipakai untuk membiayai pembuatan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk bauran 80 persen solar. Pemerintah menyebutnya B20. Dalam setahun, ada 6,4 juta kiloliter FAME yang dibutuhkan untuk bauran itu. Perkiraan GAPKI, jumlah ini malah membengkak menjadi sekitar 8,5 juta kiloliter. Untuk menghasilkan biodiesel tadi, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menyebut, pabrik biodiesel dibayar USD85 perton. Lalu lantaran Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel (Rp9200) jauh lebih tinggi ketimbang HIP Solar (Rp4.385), BPDPKS juga musti membayar selisih HIP itu. “Kalau misalnya selisih HIP Rp5000, BPDPKS membayar Rp4000, sisanya dibayar Pertamina,” cerita Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan kepada Gatra.com, tiga hari lalu.

Sebahagian orang beranggapan, apa yang dibayarkan oleh BPDPKS dan Pertamina tadi adalah sebentuk subsidi untuk perusahaan pembuat biodiesel itu. Omongan inilah yang membikin Paulus tak enak hati. Dia tak sepakat dengan kata-kata subsidi itu. Sebab menurut dia, duit yang dibayarkan oleh BPDPKS itu adalah selisih harga biodiesel dan solar. Memang kata Paulus, yang membayar adalah BPDPKS, tapi duit BPDPKS itu bersumber dari duit sawit yang dipungut, bukan dari pajak. “Leavy itu bukan pajak,” tegasnya. Yang membikin Paulus makin tak enak hati, ada pula yang menuduh kalau pemerintah telah membiayai konglomerat, malah dibilang kartel. “Usaha ini terbuka bagi siapa saja yang bisa membuat biodiesel. Kalau ada yang lain yang bisa membikin, silahkan. Kita terbuka kok. Beda kalau usaha ini tertutup, bolehlah menuduh macam-macam,” kata pembina kwartir nasional Pramuka ini. Puncak tudingan itu adalah petani dibilang tidak menikmati kehadiran biodiesel itu. “Justru saat biodiesel ada, harga di petani naik. Apa ini tidak menikmati namanya?” Paulus bertanya. Kalau kemudian petani tidak menikmati kenaikan harga lantaran permainan tengkulak atau oleh kondisi jalan yang rusak kata Paulus, itu enggak ada kaitannya dengan pabrik biodiesel, tapi justru persoalan di daerah. Kalau ingin memastikan petani menikmati harga yang bagus kata Paulus, tentu kebutuhan petani akan jalan dan harga, musti difasilitasi pemerintah daerah. “Lalu pabrik musti membeli sawit petani dengan harga yang wajar. Kalau itu enggak dapat juga, ada baiknya petani didorong membikin pabrik CPO sendiri,” Paulus bersaran. Sebetulnya kata Paulus, dimana-mana tak ada energi baru terbarukan lebih murah dari fosil. Itulah makanya pemerintah setempat memberikan insentif kepada pembuat biodiesel. “Di Amerika, perusahaan yang membikin biodiesel, dapat subsidi dari pemerintahnya. Di kita memang ada insentif, tapi duitnya dari pengekspor itu sendiri. Harusnya duit insentif itu langsung dari pemerintah,” katanya Satu waktu kata Paulus, dia ditanya di DPR terkait subsidi. Kenapa perlu subsidi? “Saya menjawab ya harus. Kenapa orang yang beli minyak disubsidi dan kami enggak? Dari dulu harga minyak disubsidi kita enggak mempersoalkan. Kita enggak pernah bilang itu kartel. Sebab perlakuan itu dibilang sebagai subisidi untuk rakyat,” cerita Paulus. Sekarang giliran perusahaan dalam negeri bikin biodiesel, malah dibilang kartel. “Aneh dan enggak fair. Kita dibilang disubsidi sementara minyak yang kita hasilkan untuk rakyat,” katanya

Lalu yang impor minyak kenapa tidak dibilang disubsidi sementara duitnya dibayarkan untuk perusahaan luar. “Mestinya perlakuan itu samalah, jangan kayak begini. Kapan industri dalam negeri akan maju kalau begini ceritanya. Ini sama saja kita lebih senang impor ketimbang memproduksi sendiri,” Paulus terdengar kesal. Paulus jadi teringat kalau program biodiesel sudah dimulai di Indonesia sejak tahun 2006. Waktu itu harga sawit masih lebih rendah dari fosil. Tapi perlahan harga sawit mulai naik lantaran sudah dipakai untuk biodiesel meski masih hanya B5 dan B2,5. Itupun yang memakai masih wilayah terbatas di pulau jawa seperti Jakarta, Cikapek lalu kemudian meluas ke Serang. Dua tahun kemudian, dibuat mandatori biodiesel. Pemerintah memberi subsidi sampai B10 hingga tahun 2013. Setahun kemudian subsidi terhenti lantaran devisit perdagangan di 2012. Yang jelas kata Paulus, hingga 2014, Pertamina membayar FAME itu sesuai Harga Patokan Ekspor (HPE) produsen. Sayang Pertamina merugi, pembayaran semacam itupun dihentikan. Subsidi terhenti, pemerintah bersepakat dengan para eksportir sawit untuk memberikan dana kepada produsen biodiesel itu. “Muncullah pungutan ekspor,” katanya. Sekarang biodiesel direcoki. “Kalau biodiesel mau distop, kami siap kok. Tapi ingat, siapa yang akan jadi korban lebih dulu, pasti petani. Di situ ada kabar biodiesel distop, harga sawit akan anjlok,” ujar Paulus. “Jadi, jangan asal ngomong. Sebab kalau harga sawit tidak terjaga, yang jadi korban pertama adalah petani. Kalau insentif dibilang terlalu besar, silahkan. Bagi perusahaan, jika duit tak cukup untuk produksi, ya stop,” tegasnya. Tapi menurut Paulus, janganlah sampai seperti itu. Yang perlu dipikirkan sekarang justru, gimana biodiesel ini supaya sustain, sebaba ini berdampak pada ketahanan energi dalam negeri. Selain itu sangat berdampak pula pada tenaga kerja. Kalau untuk memproduksi 2500 barrel fosil perhari hanya butuh sekitar 250 orang, di biodiesel justru 10 ribu orang. “Biodisel kita mengurangi emisi luar biasa besar. Devisit perdagangan bisa kita antisipasi. Memang, dibanding impor, impor mungkin lebih murah, tapi yang menikmati duit impor itu orang luar dan broker,” katanya.

https://www.gatra.com/detail/news/497090/info-sawit/mengulik-tudingan-tak-sedap-soal-biodiesel-

CNNIndonesia.com | Rabu, 2 Desember 2020

Aprobi: Permintaan Biodiesel Anjlok 12 Persen Akibat Covid-19

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyatakan permintaan biodiesel anjlok 12 persen karena konsumsi bahan bakar menurun. Pelemahan konsumsi terjadi akibat pandemi covid-19. Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan menuturkan penurunan permintaan konsumen menyebabkan perbedaan harga biodiesel dan diesel semakin lebar. Saat ini, perbedaan harganya mencapai US$461 per ton hingga September 2020. “Dampak dari pandemi covid-19 dapat dilihat dari pengurangan konsumsi biodiesel dari April hingga September 2020. Permintaan untuk biodiesel menurun hingga kurang lebih 12 persen,” ucap Paulus dalam Indonesian Pal Oil Conference (IPOC) 2020, dikutip dari Antara, Rabu (2/12). Ia bilang total konsumsi biodiesel pada Januari sampai September 2020 sebanyak 6,3 juta kiloliter. Sementara, total produksinya sebanyak 6,4 juta kiloliter. Lebih lanjut Paulus menjelaskan harga minyak mentah dunia juga berfluktuasi pada awal 2020 akibat pandemi covid-19. Meski begitu, Aprobi masih optimistis akan ada kenaikan konsumsi biodiesel. Paulus memproyeksi konsumsi biodiesel tahun ini mencapai 9,6 juta kiloliter dan ekspor sebesar 1 juta kiloliter. Menurut dia, penyerapan biodiesel pada 2020 dapat mencapai 12,8 juta kiloliter karena ada pengujian B40. Sementara itu, Paulus menyebut ada beberapa tantangan dalam pengembangan biodiesel di dalam negeri. Tantangan yang dimaksud, seperti kualitas biodiesel yang harus diperbarui sesuai standar untuk memenuhi permintaan teknologi transportasi. Kendati demikian, Paulus meminta agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan tetap melanjutkan program B30. Selain itu, ia berharap pemerintah melakukan penyesuaian kembali terkait pungutan ekspor dan mengurangi rentang harga solar dan biodiesel.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201202204158-85-577294/aprobi-permintaan-biodiesel-anjlok-12-persen-akibat-covid-19

BERITA BIOFUEL

Wartaekonomi.co.id | Rabu, 2 Desember 2020

Ini Dia 3 Generasi Biofuel dari Kelapa Sawit

Limbah kelapa sawit baik itu limbah cair (palm oil mill effluent/POME) maupun limbah padat seperti tandan kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang sawit, serat, batang, hingga pelepah daun terbukti memiliki potensi dan nilai guna di aspek lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Produksi energi terbarukan demi tercapainya ketahanan energi nasional merupakan salah satu potensi pemanfaatan limbah kelapa sawit yang paling dibutuhkan Indonesia. Dari limbah sawit, dapat diperoleh energi terbarukan atau biofuel generasi pertama, kedua, dan ketiga. Dalam laporan PASPI Monitor dituliskan, “produksi ketiga jenis energi terbarukan ini sifatnya joint product sehingga peningkatan produksi salah satu generasi biofuel dapat meningkatkan produksi biofuel generasi lainnya.” Minyak sawit yang diolah akan menghasilkan biofuel generasi pertama berupa biodiesel (FAME) dan greenfuel (green diesel, green gasoline, dan green avtur). Sementara itu, pengolahan limbah kelapa sawit akan menghasilkan biofuel generasi kedua dan ketiga berupa bioethanol (subsitusi bensin) dan energi listrik. Biofuel generasi kedua tersebut berupa bioethanol, biogas atau bioelektrik, biogasoline, biobara, dan biopelet. Sementara biofuel generasi ketiga berupa biogas atau bioelektrik dan biodiesel alga.  Selain di bidang ketahanan energi, berbagai penelitian telah membuktikan potensi pemanfaatan limbah kelapa sawit pada sektor peternakan. Limbah sawit berupa bungkil inti, ampas minyak, dan limbah padat kelapa sawit sangat potensial digunakan sebagai campuran pakan ternak sehingga biaya pakan dapat dihemat dan keuntungan usaha ternak kambing dapat ditingkatkan pada skala komersial. Bahkan, menakjubkannya lagi, limbah sawit dapat diolah menjadi bioplastik yang lebih ramah lingkungan dan biodegradable (mudah terurai), helm, kain tenun, rompi antipeluru, hingga sebagai material dalam perangkat layar produk elektronik.

https://www.wartaekonomi.co.id/read316716/ini-dia-3-generasi-biofuel-dari-kelapa-sawit

Tempo.co | Kamis, 3 Desember 2020

Ahok Kritik Keras Program Gasifikasi Batu Bara dan Biodiesel

Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok blakblakan mengkritik program gasifikasi batu bara dan biodiesel yang dijalankan pemerintah. Pada program pengembangan batu bara untuk diolah menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digadang-gadang dapat menekan impor liquefied petroleum gas (LPG), misalnya. Ahok menilai program tersebut tak ekonomis. Pasalnya, pengolahan DME membutuhkan biaya yang lebih mahal ketimbang LPG. “DME sebagai substitusi LPG menarik, tetapi mungkin memerlukan subsidi karena DME lebih mahal daripada LPG,” ujar Ahok dalam diskusi di acara 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas, Rabu, 2 Desember 2020. “Juga memiliki offtake jangka panjang.” Ahok menjelaskan, dalam proyek proyek pengembangan gasifikasi batu bara menjadi DME, Pertamina bekerjasama dengan PT Bukit Asam (Persero) Tbk. dan perusahaan gas asal Amerika Serikat yaitu Air Product & Chemical Inc. Skema kemitraan, menurut Ahok, dapat mengatasi kendala mahalnya pengembangan proyek itu. “Pertamina oke dengan minoritas dan oke dengan posisi non-operator saham dengan waktu 5 tahun-10 tahun. Ini opsi yang dapat didiskusikan kemudian waktu,” ujarnya. Selain itu, Ahok pun mengkritik program pengembangan bahan bakar minyak berbasis sawit atau biodiesel. Ia menilai pemerintah perlu turun tangan dalam mengatasi tingginya harga crude palm oil (CPO). Dengan fleksibilitas sikap pemerintah, menurut Ahok, momentum tingginya harga CPO bisa dimanfaatkan dengan lebih baik. Ia menilai, ketika harga CPO sedang tinggi, sebaiknya opsi ekspor didorong ketimbang pemerintah memaksakan penggunaan CPO untuk program biodiesel. “Jadi tak ada guna produksi very high cost FAME. Di sisi lain kita tidak bisa hasilkan uang dari ekspor CPO,” ucap Ahok.

https://bisnis.tempo.co/read/1411044/ahok-kritik-keras-program-gasifikasi-batu-bara-dan-biodiesel/full&view=ok

Sinarharapan.co | Rabu, 2 Desember 2020

Gapki: Mandatori Biodiesel B30 Stabilkan Konsumsi Domestik

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memaparkan bahwa setiap bisnis menghadapi tantangan selama pandemi COVID-19, termasuk industri kelapa sawit yang akhirnya menuntut cara baru dalam menjalankan bisnis. Dalam pembukaan konferensi minyak sawit terbesar Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020, Joko menjelaskan bahwa karantina wilayah (lockdown) yang diterapkan di negara-negara Eropa dan Asia telah mempengaruhi permintaan minyak nabati, termasuk ekspor minyak kelapa sawit. “Namun pada kuartal IV, dapat dilihat pasar dunia mulai membaik ditandai dengan peningkatan permintaan dari beberapa negara tujuan ekspor diikuti dengan peningkatan tren harga minyak kelapa sawit,” kata Joko dalam pembukaan IPOC yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (2/11/2020). Joko menilai bahwa IPOC menjadi salah satu wadah untuk melihat pembahasan analisa dan perkiraan pasar kelapa sawit pada tahun 2021. Meski ekspor kelapa sawit Indonesia mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh pandemi COVID-19, Pemerintah Indonesia tetap konsisten dan persisten dalam mengimplementasi mandat B-30. Mandatori Program Biodiesel B30 dilakukan sehubungan dengan rendahnya harga minyak bumi dan upaya ini, kata dia, membantu untuk menjaga dan menstabilkan konsumsi domestik. Konsumsi domestik juga meningkat karena industri oleokimia mendukung pencegahan transmisi virus melalui pengembangan produk sanitasi seperti sabun dan disinfektan. “Industri kelapa sawit akan selalu mendukung program pemerintah dalam menjaga keberlanjutan dari mandatori biodiesel dan memastikan bahwa kita dapat mengelola 100 persen recovery pada pasar domestik,” kata Joko. Ada pun acara 16th IPOC and 2021 Price Outlook bertajuk “Palm Oil Industry in the New Normal Economy” akan membahas perkembangan industri sawit Indonesia dan global terkini, serta menganalisis tren harga minyak sawit ke depan. IPOC merupakan wadah para pelaku bisnis dan pemangku kepentingan, pemilik, CEO, dan eksekutif, serta para pengambil kebijakan baik tingkat nasional maupun internasional, untuk bersama-sama membahas isu-isu strategis di seputar industri kelapa sawit dari hulu sampai ke hilir.

https://www.sinarharapan.co/ekonomi/read/27708/gapki__mandatori_biodiesel_b30_stabilkan_konsumsi_domestik

Bisnis.com | Rabu, 2 Desember 2020

Pemerintah Perlu Pertimbangkan Naikkan Pungutan Ekspor

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan Indonesia perlu memberlakukan pungutan ekspor progresif untuk CPO atau membuat perusahaan sawit berkontribusi pada subsidi. Menurutnya, upaya ini perlu dilakukan demi keberlanjutan program B30 yang memainkan peran sebagai stabilisator harga. Bustanul mengemukakan bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) bisa menderita defisit Rp12,2 triliun pada 2021 untuk membiayai program. Pemerintah mengestimasi pendapatan dari pungutan ekspor pada 2021 mencapai Rp43,15 triliun, sedangkan kebutuhan untuk B30 bisa mencapai Rp55,35 triliun seiring melebarnya selisih harga biodiesel dan solar. Adapun sejak Juni, pemerintah telah mengenakan pungutan ekspor sebesar US$55 per ton terlepas dari berapapun harga CPO. “BPDP-KS harus berjuang keras agar dapat membiayai program tersebut tahun depan,” kata Bustanul dalam IPOC 2020 yang digelar secara virtual, Rabu (2/12/2020). Kurangnya dana disebut Bustanul bisa mengancam keberlangsungan peremajaan kebun sawit swadaya mengingat pungutan ekspor tidak hanya dipakai untuk insentif B30, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tanpa adanya dukungan pendanaan ini, produktivitas bisa menurun. Dihubungi terpisah, Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal Hastiadi mengatakan bahwa upaya diversifikasi pasar akan terus diupayakan agar pasar ekspor CPO Indonesia tidak hanya bertumpu pada konsumen utama seperti China dan India. Dia mengatakan kawasan Afrika dan Eropa Timur memiliki peluang besar untuk ditingkatkan pangsanya mengingat hambatan dagang yang relatif minim untuk produk CPO. “Selain itu tentu diversifikasi produk, baik vertikal [CPO dan turunannya] maupun horizontal [berbagai produk] diupayakan karena bagaimana pun tidak bisa terus mengandalkan pada komoditas yang rawan bergejolak,” kata Fithra. Upaya untuk menaikkan nilai ini pun sejalan dengan kebijakan pengenaan bea keluar pada CPO yang disebut Fithra akan dialokasikan untuk investasi pada program biodiesel dan peremajaan kebun sawit. Dia pun menyebutkan bahwa pemerintah terus berusaha membuktikan bahwa sawit Indonesia diproduksi dengan mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan. “Dalam konteks hilirisasi saya kira kita sudah on the track, investasi diarahkan untuk diversifikasi dan perbaikan tata kelola,” kata dia.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201202/12/1325560/pemerintah-perlu-pertimbangkan-naikkan-pungutan-ekspor

Bisnis.com | Rabu, 2 Desember 2020

Mandatori Biodiesel Jadi Kunci Keseimbangan Pasar CPO

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Indonesia Eddy Abdurrachman mengatakan penyesuaian kebijakan penyeimbangan pasokan dan permintaan perlu diambil seiring semakin lebarnya selisih harga CPO dan solar. Menurutnya, Llangkah itu perlu dilakukan demi menjaga keseimbangan pasar CPO pada masa mendatang. Eddy mengatakan selisih yang melebar antara kedua komoditas ini bisa mengganggu keberlanjutan program campuran 30 persen biodiesel dan solar (B30) yang selama ini menjadi menopang serapan domestik. BPDP-KS memproyeksikan kebutuhan dana insentif akan meningkat pada 2021 karena selisih harga biodiesel dan solar diperkirakan akan mencapai Rp4.228 sampai Rp5.835 per liternya. “Dengan dinamika pergerakan harga ini, diproyeksikan pada 2021 kebutuhan dana untuk menopang B30 akan naik sangat signifikan. Untuk menjaga keseimbangan pasar sawit yang baru yang telah terbentuk sejak 2015 dengan implementasi mandatori biodiesel, maka diperlukan penyesuaian kebijakan,” kata Eddy dalam IPOC 2020, Rabu (2/12/2020). Penyerapan CPO untuk kebutuhan energi domestik terbukti telah membawa harga CPO kepada posisi yang lebih stabil. Kebijakan ini berhasil mengurangi deviasi harga CPO global dari yang awalnya mencapai US$138,11 per ton pada periode 2012-2015 menjadi US$94,3 per ton pada 2015-2020. “Mandatori ini menyebabkan volume konsumsi domestik naik signifikan seiring berkurangnya ketergantungan pada ekspor untuk stabilisasi harga,” lanjutnya. Eddy mengatakan daya tawar harga ekspor sawit pada 2012-2015 sangat lemah karena tingginya produksi tidak diiringi dengan permintaan domestik yang kuat. Serapan CPO saat itu hanya bertumpu pada kebutuhan industri pangan dan oleochemical dan selebihnya mengandalkan ekspor.

Guna menjamin keberlanjutan program mandatori biodiesel yang memainkan peran penting dalam keseimbangan ini, Eddy mengatakan jaminan produksi dari kebun swadaya perlu diperhatikan. Dia mencatat bahwa perbandingan produksi CPO dari kebun swadaya dan alokasi biodiesel setiap tahunnya semakin tipis. Pada 2020, produksi kebun sawit swadaya diperkirakan mencapai 8,15 juta ton, sedangkan alokasi biodiesel yang ditetapkan mencapai 8,35 juta ton.  “Dapat kita simpulkan bahwa kebun swadaya sangat penting untuk keberlanjutan program mandatori biodiesel. Oleh karena itu seiring bertambahnya permintaan bahan bakar dan alokasi biodiesel, maka program peremajaan memainkan peran penting,” kata Eddy. Pemerintah sendiri telah memasang target untuk peremajaan 500.000 hektare (ha) kebun sawit swadaya dalam kurun tiga tahun ke depan. Peremajaan ini berbanding lurus dengan proyeksi kenaikan konsumsi domestik, terutama untuk program B30. “Semua pihak harus bekerja sama menyukseskan program ini. Kalau berjalan lambat maka produktivitas sawit akan turun pada 2023 dan seterusnya,” kata dia.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201202/12/1325498/mandatori-biodiesel-jadi-kunci-keseimbangan-pasar-cpo

Wartaekonomi.co.id | Rabu, 2 Desember 2020

Petani Sawit Berkontribusi Besar terhadap Bauran Energi Terbarukan

Selama ini, bagi sejumlah LSM dan negara antisawit, industri perkebunan kelapa sawit dituding pro-konglomerasi, bukan petani. Isu ini sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan citra kelapa sawit tidak hanya di mata global, tetapi juga domestik. Faktanya, sekitar 41 persen atau 6,72 juta hektare perkebunan kelapa sawit nasional dikuasai oleh rakyat. Wakil Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, “di hari sawit tahun ini, DMSI harus memperbaiki image sawit di mata publik. Selama ini, kelapa sawit diidentikkan bisnis konglomerat. Padahal tidak benar. Industri ini melibatkan petani di dalamnya.” Lebih lanjut Sahat menjelaskan, selama delapan tahun terakhir, kelapa sawit telah menjadi penopang ekspor nasional selain batu bara. Tidak hanya itu, industri sawit juga mampu menyerap tenaga kerja, menjadi penyumbang devisa, dan mampu memenuhi kebutuhan minyak nabati nasional dan global. “Setiap tahun, pertumbuhan minyak nabati naik 3,4 persen atau sekitar 7,4 juta ton. Jumlah kebutuhan sebesar 7,4 juta ton ini tidak dapat diabaikan. Sawit dapat berperan penuhi kebutuhan ini. Kalau mengandalkan rapeseed dan soya, maka butuh berapa luas lahan?” ungkap Sahat seperti dilansir dari SawitIndonesia.comi (2/12/2020). Sebagai tanaman paling produktif yang tumbuh di 16 negara, diakui Sahat, persoalan kelapa sawit yakni terkait dengan citranya. Menurut Sahat, DMSI bertugas menyebarkan informasi positif sawit kepada publik. Terutama tuduhan bahwa sawit bagian dari usaha konglomerat. Isu ini sengaja dihembuskan dunia internasional. “Jumlah petani sangat banyak, yang harus diperjuangkan bagaimana komposisi petani ditingkatkan,” ujarnya. Saat ini, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) tengah membuat role model Pengembangan Teknologi Produksi Minyak Nabati Industrial Vegetable Oil (IVO) dan biohidrokarbon bensin sawit di Kabupaten Musi Banyuasin dan Kabupaten Pelalawan. Asumsinya, dengan perhitungan harga CPO sebesar Rp6.500 per kg, setelah diolah menjadi bensin sawit, harganya dapat mencapai Rp8.100 per liter. Melalui pengembangan program ini, petani telah berkontribusi besar dan menjadi bagian dari pencapaian bauran energi terbarukan 23% dari bahan bakar nabati.

https://www.wartaekonomi.co.id/read316687/petani-sawit-berkontribusi-besar-terhadap-bauran-energi-terbarukan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *