Jelantah Mengalir sampai ke Eropa

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Selasa, 7 April 2020

Nilai ekspor limbah minyak goreng atau jelantah ke Eropa untuk biodiesel meningkat. Harganya pun menggiurkan hingga menggerakkan perekonomian warga. Peningkatan ekspor jelantah ini terjadi di tengah rencana Uni Eropa membatasi produk minyak Kelapa Sawit Indonesia Menurut Data Kementerian Perdagangan, ekspor jelantah Indonesia pada 2019 mencapai 37,31 juta dollar Amerika Serikat (Rp 541,11 miliar). Angka ini naik 43,7 persen dibandingkan pada 2018 yang besarnya 25,96 juta dollar AS. Dari sisi volume, total ekspor jelantah Indonesia pada 2019 mencapai 71.838 tpn, naik dari tahun 2018 yang sebesar 48.571 ton. Adapun menurut data Badan Pusat Statistik yang dikutip Asosiasi Produsen Oleo-chemical Indonesia (Apo-lin), nilai ekspor produk sawit pada 2019 sebesar 19,24 miliar dollar AS atau turun 12,8 persen dari nilai pada 2018 yang sebesar 22,08 miliar dollar AS kendati dari sisi volume naik 3,4 persen. Penurunan nilai itu terjadi karena ada penurunan harga.

Belanda terbesar

Belanda menjadi tujuan ekspor jelantah terbesar, yaitu 34,03 persen, dari seluruh ekspor jelantah. Angka ini setara 13,46 juta dollar AS (Rp 195,17 miliar per 2019) dengan jumlah 24.449 ton. Ekspor jelantah Indonesiajuga merambah Inggris, Polandia, dan Lituania. Selain itu, jelantah Indonesia juga diekspor ke Malaysia, Korea Selatan, China, Brasil, dan Filipina. Setidaknya ada 10 perusahaan pengekspor jelantah terdaftar di Kementerian Perdagangan. Pintu ekspor terbesar adalah Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dan Tanjung Priok di Jakarta. Salah satu perusahaan pengekspor jelantah, CV Artha Metro Oil, menjual jelantah sejak 2013 ke Eropa dan Asia. Perusahaan yang berkantor di Jawa Timur ini mengekspor 10.000-15.000 ton setahun. “Di Eropa, jelantah digunakan untuk biodiesel,” kata Direktur Utama CV Artha Metro Oil Setiady. CV Artha Metro Oil mendapat jelantah dari jaringan restoran siap saji dan mitra pengumpul jelantah di seluruh Indonesia. Rantai distribusi jelantah Jabodetabek dimulai dari pengumpul jelantah dari warung-warung, lalu disalurkan ke pengepul kecil, kemudian pe-ngepul sedang, besar, dan berakhir di eksportir.

Rano Rusdiana (35), salah satu pengepul di Jakarta Timur, mengumpulkan jelantah dari pedagang kaki lima, warung, dan restoran. Ia membeli jelantah Rp 3.500-Rp 5.000 per kg dan menjualnya Rp 6.000 per kg kepada eksportir. Harga jelantah terus naik Lonjakan harga tertinggi terjadi saat isu Eropa membatasi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia tiga bulan terakhir. Sementara itu, gudang jelantah CV Slamet Widodo di Kabupaten Tangerang, Banten, menerima 7,5 ton sehari atau-seki-tar 225 ton .sebulan. Truk-truk yang mengantar jelantah ter- lihat keluar masuk tiada henti sepanjang siang. “Kami terima jelantah dari Jabodetabek, Palembang, Lampung, dan Bandung,” kata pemilik usaha Slamet Widodo. Ia menjual jelantah Rp 9.300 per kg. Saat ini, harga dari eksportir ke perusahaan pengolah biodiesel di Eropa bisa lebih dari Rp 10.000 per kg. Eropa tertarik membeli jelantah Indonesia karena lebih murah daripada CPO. “Ada nilai tambah dan menyerap tenaga kerja, serta melindungi produk pertanian lokal mereka (warga Eropa),” ujar peneliti bidang industri dan perdagangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo. Besarnya ekspor jelantah ini menunjukkan Indonesia belum bisa memanfaatkan potensinya di dalam negeri. Seharusnya industri domestik memanfaatkannya untuk biodiesel. “Sekarang kita baru menjadi pemulung, yaitu mengumpulkan dan menjual ke” luar,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah untuk Energi Baru Terbarukan Indonesia Ma-tias Tumanggor.