Kebijakan biodiesel Perlu Berkelanjutan (ENERGI TERBARUKAN)

| Berita
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Kamis, 6 Mei 2021

Kebijakan biodiesel Perlu Berkelanjutan (ENERGI TERBARUKAN)

Program bahan bakar nabati biodiesel dinilai sebagai kebijakan positif untuk mencapai energi terbarukan dan mengurangi emisi. Perlu dipastikan semua aspek dalam kebijakan ini berlandaskan asas berkelanjutan dan transparansi terkait sertifikasi petani dan lahan sawit. Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Bisuk Abraham, mengemukakan, biodiesel bukan program baru. Program ini diinisiasi sejak 2005 dan mulai progres sejak 2014 hingga mencapai B30 atau campuran biodiesel berbasis 30 persen kelapa sawit “Sebenarnya ini sudah menjadi komitmen pemerintah bahkan menjadi PSN (proyek strategis nasional). Sebab, dalam rencana strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah dicantumkan berapa kiloliter biodiesel berbasis Kelapa Sawit akan diproduksi hingga 2024,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Biodiesel30: Progres dan Tantangan di Hulu”, Rabu (5/5/2021). Terkait dengan dampak biodiesel terhadap lingkungan, kata Bisuk, beberapa kajian menunjukkan bahwa tingkat emisi yang dihasilkan sedikit lebih rendah dibandingkan emisi dari energi fosil. Namun, hal yang masih menjadi perhatian berbagai pihak, khususnya negara Uni Eropa, yakni keterkaitan biodiesel dengan kegiatan yang mengakuisisi lahan dengan tingkat karbon tinggi. Menurut Bisuk, catatan tersebut yang menjadi dasar ditetapkannya sertifikasi sawit Indonesia berkelanjutan (ISPO). Dengan sertifikasi ISPO, semua pihak seharusnya bisa menjamin seluruh kegiatan sawit dari hilir hingga hulu menganut asas berkelanjutan. Ia memandang masih perlu sistem yang mendorong transparansi terkait jumlah petani dan lahan yang telah tersertifikasi. Sebab, transparansi data tersebut belum dapat diakses dengan mudah oleh publik.

Banyak diatur

Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Agam Fatchurrochman mengatakan, sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak diatur dan disertifikasi di seluruh dunia. Pengaturan dan sertifikasi itu mulai dari kegiatan perkebunan hingga produk yang dihasilkan atau diolah. “Skema keberlanjutan di sawit bisa dinilai yang paling lengkap karena mengandung unsur people, planet, dan profit,” katanya. Agam menegaskan, baik ISPO maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga mengatur kegiatan sawit tanpa eksploitasi dengan cara yang berbeda. Sertifikasi penggunaan lahan untuk sawit di ISPO harus menggunakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Sementara RSPO menetapkan aturan yang lebih kompleks, seperti penilaian konservasi tinggi hingga peta tanah dari masyarakat “Meski beberapa aspek berbeda, kedua sertifikasi ini sama-sama mengatur ketentuan tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi,” ujarnya. Asisten Deputi Agribisnis Perkebunan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mochammad Edy Yusuf mengatakan, dari data terbaru, 60-65 persen pelaku usaha yang tergabung dalam Gapki telah mendapat sertifikasi ISPO. Pemerintah juga memberikan fasilitas sertifikasi ISPO bagi para pekebun skala kecil.

 

CNBCIndonesia.com | Rabu, 5 Mei 2021

Berat! Ini Sederet Kendala RI Menuju B100

Biodiesel menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mendorong bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ditargetkan 23% pada tahun 2025 mendatang. Saat ini pencampurannya sudah mencapai Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% atau dikenal dengan program B30. Presiden Joko Widodo bertitah agar pemanfaatan biodiesel terus dikembangkan sampai B40, B50, dan B100. Namun untuk menuju ke arah sana kendala utamanya adalah pada harga. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto. Menurutnya jika 100% berbasis sawit, maka harga bensin atau diesel ini nantinya bisa mencapai tiga kali lipat dari bensin atau diesel berbasis minyak mentah (fosil), yakni bisa mencapai Rp 20 ribu per liter. “Pertamina sudah launching D100 (green diesel berbasis minyak sawit 100%) sudah uji coba, produk 100% green fuel dari sawit, avtur dan gasoline (bensin), harga Rp 19 ribu, Rp 20 ribu per liter karena skala kecil,” paparnya dalam diskusi daring, Selasa (04/05/2021). Dengan harga yang cukup tinggi ini, dia mempertanyakan apakah masyarakat akan mampu membelinya. “Apakah masyarakat mampu membeli? apakah pemerintah mampu subsidi?” tanyanya. Dalam rangka memperbesar skala produksi dan menekan biaya, menurutnya pemerintah juga sedang bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Pertamina (Persero) dengan salah satu kampus negeri, yakni Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk terus mendorong pembangunan katalis merah putih. “Pertamina sedang bangun pabrik katalis untuk green fuel gasoline,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan dari sisi pasokan minyak sawit (CPO) sangatlah cukup. Indonesia memproduksi sekitar 46 juta ton sawit setiap tahunnya. Untuk kebutuhan BBM, dengan realisasi serapan biodiesel (FAME) sekitar 8 juta kl per tahun, maka menurutnya pasokan minyak sawit itu akan sangat cukup. Pemerintah punya upaya dalam mendukung program ini, mengingat harga bensin dan diesel berbasis sawit ini mahal. Salah satunya yang dilakukan saat ini yaitu dengan adanya insentif atau subsidi biodiesel dari iuran ekspor CPO. Selain itu, kini tengah dilakukan finalisasi Rancangan UU tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dan Rancangan Peraturan Presiden terkait tarif EBT. Meski pemerintah terus berupaya mendorong pemanfaatan EBT, namun menurutnya di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), penggunaan energi fosil tidak bisa serta merta ditinggalkan. “Sebenarnya pemerintah sudah punya RUEN ya, di situ dituangkan energy mix ada fosil, ada batu bara, minyak, gas dan EBT,” tuturnya. Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna mengatakan, penyerapan biodiesel atau Fatty Acid Methyl Esters (FAME) sebesar 8,4 juta kilo liter (kl) per tahun. Dia mengatakan, saat ini grand strategi energi nasional sudah ada dan dilakukan sejumlah penyesuaian, khususnya untuk target biodiesel. Dia menyebut, ada penurunan target biofuel sekitar 15% dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) karena memasukkan intervensi seperti mobil listrik. “Kenapa ini terjadi, karena kita masukkan intervensi seperti mobil listrik. Biofuel nggak hanya biodiesel, tapi juga bio-bio lainnya,” jelasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210505094958-4-243281/berat-ini-sederet-kendala-ri-menuju-b100

 

CNBCIndonesia.com | Rabu, 5 Mei 2021

Harga Biodiesel Lebih Mahal, Perlukah Sampai B100?

Pemerintah terus mendorong pemanfaatan biodiesel, tidak berhenti di pencampuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% atau dikenal dengan program B30, tapi akan berkembang menjadi B40, B50, sampai B100 yang 100% berbasis minyak sawit. Melalui program B30 ini, kini PT Pertamina (Persero) sudah tidak lagi impor solar. Namun sayangnya, harga masih menjadi kendala dalam pengembangan biodiesel ini. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto. Dia mengatakan, kini Pertamina tengah melakukan uji coba green diesel (D100) atau diesel berbasis 100% minyak sawit yang diolah langsung di kilang perseroan seperti di Kilang Plaju dan Dumai. “Pertamina uji coba D100, uji coba Kilang Plaju, Dumai dari sawit tapi kendala adalah harga,” ungkapnya dalam diskusi daring, Selasa (04/05/2021). Menurutnya, jika 100% berbasis sawit, maka harga bensin atau diesel ini nantinya bisa mencapai tiga kali lipat dari bensin atau diesel berbasis minyak mentah (fosil), yakni bisa mencapai Rp 20 ribu per liter. “Pertamina sudah launching D100 (green diesel berbasis minyak sawit 100%) sudah uji coba, produk 100% green fuel dari sawit, avtur dan gasoline (bensin), harga Rp 19 ribu, Rp 20 ribu per liter karena skala kecil,” paparnya. Dengan lebih mahalnya harga bahan bakar berbasis minyak sawit ini, apakah perlu dikembangkan menjadi B40, B50 dan bahkan sampai B100 sebagaimana dititahkan Presiden Joko Widodo? Djoko mengatakan, upaya mengejar B40, B50 sampai B100 terus dilakukan. Namun menurutnya, jika tujuan utamanya adalah tidak lagi impor, maka dengan B30 saja sudah tidak lagi impor. “Boleh saya sampaikan di sini, tapi ini bukan kebijakan pemerintah, bahwa B30 saja sudah cukup kalau tujuannya hentikan impor,” ungkapnya. Namun demikian, yang penting saat ini yaitu bagaimana mengurangi impor bensin. Bila biodiesel dengan program B30 bisa mengurangi dan bahkan menghentikan impor solar, maka pekerjaan rumah saat ini yaitu bagaimana mengurangi impor bensin. “Lebih baik fokus stop impor BBM, sekarang pekerjaan rumah kita adalah stop impor bensin. Upayanya apa di dalam strategi, kita produksi bensin dari sawit misalnya,” jelasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210505103730-4-243294/harga-biodiesel-lebih-mahal-perlukah-sampai-b100

 

Tempo.co. | Kamis, 6 Mei 2021

Duta Besar Indonesia untuk Belgia Protes Larang Biodiesel Minyak Sawit

Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia, Keharyapatihan Luksemburg dan Uni Eropa, Andri Hadi secara khusus menyampaikan penyesalan atas penerbitan rancangan Royal Decree on Product Standards for Transport Fuels from Renewable Sources, yang memuat larangan penggunaan palm oil-based biofuels di Belgia. Larangan penggunaan biodiesel minyak kelapa sawit itu berlaku mulai Januari 2022. Penyesalan Duta Besar Andri juga mengingat rancangan peraturan dimaksud disusun dengan latar belakang kuatnya tuduhan terhadap kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi dan komoditas yang dianggap dekat dengan pelanggaran HAM. “Minyak sawit tidak dapat serta merta dikaitkan dengan isu deforestasi,” kata Duta Besar Andri dalam pertemuan dengan Eliane Tillieux, Ketua Parlemen Federal Belgia di kantor Parlemen, Selasa, 4 Mei 2021.  Menurut Andri, meskipun Indonesia merupakan produsen sawit yang besar, namun tingkat deforestasi Indonesia sangat jauh menurun dalam beberapa dekade terakhir. Pengakuan keberhasilan Indonesia dalam menangani deforestasi tercermin dari pendanaan global yang diterima Indonesia melalui mekanisme REDD+ (USD 104 juta dari the Green Climate Fund, USD 110 juta dari the World Bank, dan USD 56 juta dari Norwegia). Andri mengatakan kepada Tillieux, kerja sama erat antara Indonesia dengan UE turut berkontribusi pada capaian Indonesia dalam menekan laju deforestasi. Sampai sekarang, Indonesia menjadi satu-satunya negara mitra UE yang dapat menerbitkan lisensi FLEGT sehingga kayu dan produk kayu Indonesia dapat masuk UE secara lebih mudah. “Melalui skema sertifikasi tersebut, komoditas kayu Indonesia tidak hanya legal, tetapi juga sustainable. Indonesia mengharapkan untuk meningkatkan ekspor kayu dan produk kayu ke Eropa”, ungkap Dubes Andri. Meskipun terdapat perbedaan sikap dalam permasalahan minyak kelapa sawit, Tillieux dan Duta Besar Andri sama-sama mengharapkan agar hal tersebut tidak mengganggu hubungan kerja sama yang lebih luas antara Indonesia dan Belgia.

https://dunia.tempo.co/read/1459724/duta-besar-indonesia-untuk-belgia-protes-larang-biodiesel-minyak-sawit/full&view=ok

 

Infosawit.com | Kamis, 6 Mei 2021

UD Trucks Kukuhkan “Ultimate Dependability” Seiring Upaya Go Green Untuk Indonesia

Diungkapkan Vise President PT UD Astra Motor Indonesia, Chrisnoadhi, sejak November 2004 lalu, UD Trucks telah membawa makna baru  bagi (UD), yang sejak lama diharagi oleh pemegang saham dan pelanggan. UD yang merupakan singkatan daru “Ultimate Dependability”, kini menjadi landasan bagia seuruh kegiatan operasi bisnis di seluruh dunia. Dengan Visi ini UD Trukcks telah melampaui konsep berpikir terdahulu, dan menetapkan kebijakan operasi untuk melanjutkan inovasi di semua area, khususnya ditengah pandemic ini untuk keperluan seluruh pelanggan UD Trucks di Indonesia semabari berfokus pada penghijauan. Perushaan tercatat telah berkembang menjadi korporasi ineternasional yang merancang, mengembangkan, menguji dan menciptakan produk inovaif dengan teknologi terdepan. Pencapaian UD Nampak pada dua faktor utama yakni Health and Savety, serta Environment. Dikatakan Defensive Driving Trainer dari ORD Training Center, Catur Wibowo, fakor terpenting dalam memilih kendaraan komersial, khusus untuk angkutan, adalah tenaga dan daya tahan, namu kini ada faktor lain yang dipertimbangkan semisal kenyamanan dan keselamatan. “Sertingkali truk yang kita jumpai di jalanan dalam kondisi jendela terbuka, bisa dipastikan di dalam kabin tersebut tanpa AC (Air Conditioning) yang menyala, padahal penggunaan AC secara tidak langsung berhubungan dengan keselamatan,” katanya dalam keterangan tertulis diterima InfoSAWIT, Rabu (5/5/2021). AC Sejatinya bukan perangkat atau fitur yang tidak berhubungan langsung dengan keselamatan, namun dalam ilmu defensive driving, menganjurkan untuk membuat nyaman dalam kendaraan, salah satunya penggunaan AC.

Penggunaan Biodiesel Sawit

Semenjak 2018 lalu UD Trucks tercatat telah mengembangkan penggunaan bahan bakar biodiesel sawit 30% (B30). Bersama dengan bagian R&D UD Trucks dan aftermarket, semua transmisi dan filter telah dikembangkan agar dapat beradaptasi dengan bahan bakar terbarukan (renewable energy), yang dipastikan ramah lingkungan. Ini sesuai dengan arahan pemerintah Indonesia, dalam penerapan bahan bakar berstandar EURO 4 untuk mesin diesel di Indonesia. Untuk itu UD Trucks telah menyiapkan berbagai ragam pengembangan unutk menuju tahap EURO 4. “Kami sudah menyiapkan pengembangan itu sejak beberapa waktu lalu, dan sudah mulai berjalan. Tapi dengan adanya EURO 4, kami bersyukur dapat turut serta dalam program pemerintah untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi kendaraan yang berpengaruh terhadap penghijauan,” tandas Chrisnoadhi.

https://www.infosawit.com/news/10812/ud-trucks-kukuhkan—-ultimate-dependability—-seiring-upaya-go-green-untuk-indonesia