Kembangkan Biodiesel, Pemerintah Kehilangan Potensi Ekspor CPO Rp 41,7 Triliun

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Liputan6.com | Rabu, 18 November 2020

Kembangkan Biodiesel, Pemerintah Kehilangan Potensi Ekspor CPO Rp 41,7 Triliun

Realisasi program bahan bakar nabati (biofuel) khususnya yang bersumber dari minyak sawit (CPO) semakin dipercepat. Program B30 (biodiesel) sudah direalisasikan, menyusul kemudian B50 yang rencana dikeluarkan pada tahun depan. Pemerintah beralasan, produksi biodiesel adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil. Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia, Alin Halimatussadiah mengatakan, kebijakan biodisel memang dapat meningkatkan penghematan solar. Dimana semakin tinggi blending rate-nya, maka penghematan itu semakin besar. Namun, meskipun terjadi penghematan, proporsi terhadap defisit neraca perdagangan berkisar antara 0,43 hingga 0,68 persen per tahun. “Sedangkan proporsi penghematan terhadap defisit neraca transaksi berjalan berkisar antara 0,09 – 0,18 persen per tahun,” jelas Alin dalam diskusi daring – Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa, Rabu (18/11/2020). Sementara, apabila tambahan CPO untuk produksi biodisel dapat diekspor, maka manfaat ‘penghematan bersih’ dari kebijakan ini menjadi rendah. Dalam perhitungannya, Alin menyebutkan potensi pasar CPO internasional untuk ekspor masih cukup besar. Dalam kesempatan yang sama, Ekonom Senior Faisal Basri menyebutkan pendapatan ekspor yang hilang dari pemakaian biodisel untuk kebutuhan domestik adalah Rp 41,7 triliun pada 2019. “Dengan menghitung opportunity cost yang hilang akibat tidak mengekspor CPO dan biofuel, transaksi perdagangan pada tahun 2019 mengalami defisit sebesar Rp 85,2 triliun (USD 6,1 miliar), dan tahun 2018 sebesar Rp 72,1 triliun (USD 5,0 miliar),” papar dia.

Program B30 Abaikan Tren Penurunan Konsumsi Biodisel AS

Pemerintah tengah mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil. Upaya ini dilakukan melalui Program B30 (biodiesel) sudah direalisasikan, menyusul kemudian B50 yang rencana dikeluarkan pada tahun depan. Namun, Ekonom Senior Faisal Basri menilai, kebijakan ini mengabaikan tren penurunan konsumsi biodisel di Eropa dan Amerika Serikat hingga tahun 2029. Implikasinya, teknologi permesinan dunia tidak didesain untuk menggunakan biodiesel, mengingat Amerika Serikat dan Eropa ujung tombak teknologi permesinan dunia. “Dalam beberapa tahun terakhir, produksi biodisel meningkat karena Program Biofuel. Kalau sampai 2017 itu lebih banyak buat program biodisel dari pada buat petani kecil,” ujar dia dalam diskusi daring – Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa, Rabu (18/11/2020). Dalam paparannya, Faisal memperkirakan pada 2016-2017 dana CPO sekitar USD 1,9 miliar. Dimana USD 1,5 miliar digunakan untuk program biodisel. “Oleh karena itu, pertumbuhan produksi biodisel sepenuhnya bergantung pada ekspor minyak kelapa sawit, dan harganya yang berasiang,” ujar Faisal, Menurutnya, jika ekspor kelapa sawitnya turun, maka dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) juga turun. “Jadi ini ada kontradiksi. Semakin sedikit yang kita ekspor, semakin sedikit penerimaan negara dari bea sawit, ditambah juga dengan bea ekspor,” kata dia.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4411859/kembangkan-biodiesel-pemerintah-kehilangan-potensi-ekspor-cpo-rp-417-triliun

CNNIndonesia.com | Rabu, 18 November 2020

Faisal Basri: Biodiesel Cuma Untungkan Segelintir Pengusaha

Ekonom Senior Faisal Basri menuding program biodiesel didesain menguntungkan segelintir pelaku di industri biodiesel. Sementara, dari sisi ekonomis maupun lingkungan, pemerintah dan masyarakat dirugikan oleh program tersebut. Menurut dia, program biodiesel bukan lah jawaban dari permasalahan energi yang tengah dihadapi RI, yakni defisit minyak fosil yang diakibatkan ketidakseimbangan antara konsumsi dan produksi. “Kebijakan ini jauh api dan panggang, bahkan semakin membuat perekonomian Indonesia dirugikan besar, yang diuntungkan hanya segelintir orang pemilik pabrik biodiesel,” ucapnya dalam diskusi daring Greenpeace bertajuk Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa? pada Rabu (18/11). Dari sisi lingkungan, ia bilang program tak menjadi solusi sebagai energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pasalnya, jika produksi biodiesel mencapai 33 miliar liter, maka diperlukan area tanam seluas 8,3 juta hektare (Ha) yang setara dengan 70,6 persen dari lahan tanam yang ada. Tanpa proyeksi pun, lanjut dia, saat ini perkebunan sawit telah merambah ke kawasan hutan. “Ada 3 juta ha hutan yang sudah ditanami sawit, jadi ini deforestasi menjadi ancaman kita semua,” imbuhnya. Apalagi, pasar dunia terus bergeser pada penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Ia khawatir biodiesel dari RI tidak akan mendapatkan tempat di pasar dunia. Walhasil, pasar dalam negeri lah yang harus menyerap biodiesel. Dia juga menyoroti kejanggalan dari subsidi biodiesel yang diberikan oleh pemerintah di tengah pandemi covid-19 sebesar Rp2,78 triliun melalui program Pemulihan ekonomi Nasional (PEN). Menurut Faisal, subsidi bukan untuk menjaga stabilitas harga untuk mengurangi volatilitas bagi masyarakat atau konsumen berpenghasilan rendah, melainkan untuk menyelamatkan pelaku usaha karena permintaan menurun drastis.

Jika niat pemerintah membantu petani, ia bilang seharusnya subsidi diberikan untuk seluruh penghasil CPO, bukan khusus untuk industri biodiesel. “Bayangkan apa urusannya covid-19 dengan biofuel? Kan tidak ada urusannya. Ini langkah awal dan tidak ada yang mempertanyakan,” katanya. Secara ekonomis pun, Faisal tak melihat kontribusi positif dari pengembangan biodiesel. Pasalnya, program disebut malah menekan transaksi berjalan (CAD). Berdasarkan perhitungan opportunity cost, ia bilang terjadi defisit perdagangan yang kian melebar setiap tahunnya. Hitungannya, defisit untuk 2019 sebesar Rp85,2 triliun atau sekitar US$6,1 miliar, lebih besar dari 2018 yakni Rp72,1 triliun atawa US$5 miliar. Opportunity cost yang dimaksudnya adalah pendapatan ekspor yang dikorbankan pemerintah dari konsumsi biofuel dan pemakaian biodiesel untuk kebutuhan domestik. “Tidak ada yang namanya penghematan devisa di sana, justru penggerogotan devisa karena penghematan yang kita dapatkan dari tidak mengimpor solar jauh lebih kecil karena tidak mengimpor solar kan hanya 30 persen kalau B30, lalu kehilangan kesempatan ekspor CPO,” terang dia. Pada sidang tahunan MPR, Agustus lalu, Jokowi menyebut program biodiesel membuat pemerintah mampu menekan nilai impor minyak pada 2019 lalu. PT Pertamina (Persero) pun membenarkan bahwa implementasi B20 dan B30 telah menghemat devisa negara sebesar Rp43,8 triliun pada 2019. Tahun ini, ditargetkan menghemat devisa hingga Rp63,4 triliun dari program B30. Kondisi itu terkonfirmasi oleh data impor hasil minyak Badan Pusat Statistik (BPS). Tercatat, impor hasil minyak secara tahunan turun 11,73 persen menjadi 10,33 juta ton. Adapun nilai impor hasil minyak sepanjang semester I 2020 merosot 39,3 persen menjadi US$1,98 miliar.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201118191454-85-571535/faisal-basri-biodiesel-cuma-untungkan-segelintir-pengusaha

Bisnis.com | Rabu, 18 November 2020

Indonesia Siap Gunakan Bahan Bakar Ramah Lingkungan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan komitmen Indonesia untuk penggunaan bahan bakar fosil yang lebih bersih dalam acara 3rd East Asia Energy Forum. Arifin mengatakan bahwa efisiensi energi dan energi terbarukan memiliki peran penting dalam pengurangan emisi CO2. Tetapi saat ini, di sebagian besar kawasan Asean dan Asia Timur penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi. Arifin menyebut biomassa memiliki peran penting dalam transisi energi bersih di Indonesia. Saat ini, Indonesia sedang bersiap untuk mengintegrasikan pengelolaan sampah perkotaan dan pembangkit listrik di 12 kota, serta pengembangan biofuel sebagai upaya pengurangan konsumsi bahan bakar fosil. “Biomassa juga merupakan salah satu langkah kami dalam mengurangi emisi pada pembangkit listrik tenaga batubara melalui co-firing dengan batubara”, katanya, dikutip dari siaran pers, Rabu (18/11/2020). Dalam pidatonya, Arifin juga menegaskan peran penting pengembangan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) untuk mengurangi emisi CO2. “Saat ini CCUS menjadi bahasan penting di tingkat global untuk mengurangi emisi CO2 dan menggunakannya kembali untuk meningkatkan oil recovery di ladang minyak yang sudah habis”, ujar Arifin.

Indonesia memiliki banyak sumber CO2 industri, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, pengolahan gas alam, kilang minyak, dan berbagai pabrik kimia. Saat ini, studi kelayakan pada proyek percontohan CCUS di lapangan Gundih di Jawa Tengah telah dilakukan dan diproyeksikan total potensi pengurangan CO2 mencapai 2,9 juta ton selama 10 tahun. Sejak 2017, Indonesia telah mendirikan National Center of Excellence CCS/CCUS untuk peningkatan kapasitas nasional dalam aspek teknis, keselamatan, ekonomi, sosial, dan regulasi dari kegiatan CCS / CCUS. Kegiatan utama lembaga ini adalah memperkuat kerangka kerja pemerintah dan swasta melalui pembuatan platform, identifikasi peluang investasi, sosialisasikan kebijakan dan regulasi, dan best practice CCUS. Arifin pun mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerjasama dalam peningkatkan kemampuan dan penggunaaan CCUS. Menurutnya, diperlukan penguatan kerangka kerja sama pemerintah dan swasta melalui pembuatan platform yang berkelanjutan untuk akselerasi implementasi CCUS, identifikasi peluang investasi dan perbaikan lingkungan usaha, serta sosialisasi kebijakan, regulasi dan best practices. “Indonesia menyambut semua pihak untuk bergabung bersama kami dalam pengembangan CCUS demi mencapai komitmen energi berkelanjutan”, kata Arifin.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201118/44/1319472/indonesia-siap-gunakan-bahan-bakar-ramah-lingkungan

Kontan.co.id | Rabu, 18 November 2020

Menilik pengembangan green energy berbasis kelapa sawit milik Pertamina

PT Pertamina (Persero) turut berpartisipasi dalam implementasi program energi hijau yang dicanangkan pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan Pertamina adalah pengembangan green diesel atau yang dikenal dengan D100. Pjs. VP Corporate Communication Pertamina Heppy Wulansari menyatakan, Pertamina sudah melaksanakan uji coba produksi D100 sebanyak 1.000 barel di Kilang Dumai. Selanjutnya, Pertamina terus melakukan persiapan dalam rangka uji coba produksi Green Diesel, Green Avtur, dan Green Gasoline di Kilang Cilacap yang diharapkan pelaksanaannya sesuai jadwal di akhir tahun 2020. Hanya memang, Pertamina sejauh ini belum membeberkan lebih jauh soal rencana produksi masal D100. Sebab, perusahaan migas pelat merah ini masih perlu melakukan kajian mendalam terkait harga keekonomian D100. “Hal ini supaya harga jual di tingkat konsumen ritel menjadi lebih terjangkau,” ujar Heppy, Rabu (18/11). Ia menambahkan, pada dasarnya produksi Green Diesel, Green Avtur, maupun Green Gasoline merupakan upaya Pertamina dalam pengembangan energi ramah lingkungan yang memanfaatkan sumber daya yang melimpah di Indonesia. Upaya ini juga sejalan dengan rencana pemerintah yang hendak meningkatkan porsi energi baru terbarukan (EBT) menjadi 23% di tahun 2025. Dengan memproduksi bahan bakar berbasis sumber daya domestik, Pertamina dapat memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun serta dapat mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga memperkuat cadangan devisa negara.

Untuk memastikan rencana produksi Green Energy tersebut, saat ini Pertamina sedang melaksanakan proyek Standalone Biorefinery di 3 lokasi, yakni Cilacap, Plaju, dan Dumai. Rencananya, Standalone Biorefinery Cilacap Tahap I akan rampung pada tahun 2021 dan dapat memproduksi Green Energy 3.000 barel per hari. Kemudian berlanjut pada Standalone Biorefinery Cilacap Tahap II yang selesai tahun 2022 dengan kapasitas 6.000 barel per hari. “Sementara untuk Standalone Biorefinery Plaju ditargetkan selesai pada 2023 dengan kapasitas produksi 20.000 barel per hari,” jelas Heppy. Pertamina berharap upaya pengembangan Green Energy berbasis kelapa sawit dapat berjalan lancar agar dapat mendukung target pemerintah dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Adapun tantangan dalam program tersebut yakni berkaitan dengan harga keekonomian di tingkat konsumen serta ketersediaan dan harga bahan baku minyak kelapa sawit yang bergantung pada harga di pasar internasional. Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, tantangan terbesar program D100 saat ini adalah harga produk minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang jauh di atas harga BBM. “Perlu dicari cara agar biaya produksi D100 dapat turun lebih cepat dan bisa berlanjut tanpa harus disubsidi dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujar dia, hari ini. Tantangan lainnya adalah parameter keberlanjutan atau sustainability dan low carbon footprint dari produk biodiesel itu sendiri. Menurutnya, jika net carbon dari produk biodiesel tidak lebih rendah dari BBM, maka Indonesia tidak bisa mendapat manfaat dari penurunan emisi gas rumah kaca. Padahal, dalam konteks mitigasi perubahan iklim, penurunan emisi tersebut justru merupakan manfaat lingkungan yang penting dari penggunaan biofuel.

https://industri.kontan.co.id/news/menilik-pengembangan-green-energy-berbasis-kelapa-sawit-milik-pertamina

Liputan6.com | Rabu, 18 November 2020

Di Forum Internasional, Menteri Arifin Paparkan Upaya Indonesia Beralih ke Energi Terbarukan

Akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia, acara 3rd East Asia Energy Forum diselenggarakan secara virtual pada Selasa, 17 November 2020. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif yang menjadi  keynote speech menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk penggunaan bahan bakar fosil yang lebih bersih. Menteri ESDM Arifin mengakui, efisiensi energi dan energi terbarukan memiliki peran penting dalam pengurangan emisi CO2, namun saat ini di sebagian besar kawasan ASEAN dan Asia Timur penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi, seperti halnya di belahan dunia lainnya. Arifin menyebut, biomassa memiliki peran penting dalam transisi energi bersih di Indonesia. Saat ini Indonesia sedang bersiap untuk mengintegrasikan pengelolaan sampah perkotaan dan pembangkit listrik di 12 kota, serta pengembangan biofuel sebagai upaya pengurangan konsumsi bahan bakar fosil. “Biomassa juga merupakan salah satu langkah kami dalam mengurangi emisi pada pembangkit listrik tenaga batubara melalui co-firing dengan batubara”, lanjut Arifin.

Studi Kelayakan Pilot Project CCUS

Dalam pidatonya Arifin juga menegaskan peran penting pengembangan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) untuk mengurangi emisi CO2. “Saat ini CCUS menjadi bahasan penting di tingkat global untuk mengurangi emisi CO2 dan menggunakannya kembali untuk meningkatkan oil recovery di ladang minyak yang sudah habis”, ungkap Arifin Indonesia memiliki banyak sumber CO2 industri seperti pembangkit listrik tenaga batu bara, pengolahan gas alam, kilang minyak, dan berbagai pabrik kimia. Saat ini studi kelayakan pada pilot project CCUS di lapangan Gundih di Jawa Tengah telah dilakukan dan diproyeksikan total potensi pengurangan CO2 mencapai 2,9 juta ton selama 10 tahun. Sejak tahun 2017 Indonesia telah mendirikan National Center of Excellence CCS/CCUS untuk peningkatan kapasitas nasional dalam aspek teknis, keselamatan, ekonomi, sosial, dan regulasi dari kegiatan CCS / CCUS. Kegiatan utama lembaga ini adalah yaitu dengan memperkuat kerangka kerja pemerintah dan swasta melalui pembuatan platform, identifikasi peluang investasi, sosialisasikan kebijakan dan regulasi, dan best practice CCUS. Sebagai penutup, Arifin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam meningkatkan kemampuan dan penggunaaan CCUS. Diperlukan penguatan kerangka kerja sama pemerintah dan swasta, melalui pembuatan platform yang berkelanjutan untuk akselerasi implementasi CCUS, identifikasi peluang investasi dan perbaikan lingkungan usaha, serta sosialisasi kebijakan, regulasi dan best practices.   “Indonesia menyambut semua pihak untuk bergabung bersama kami dalam pengembangan CCUS demi mencapai komitmen energi berkelanjutan,” pungkas Arifin. 

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4411632/di-forum-internasional-menteri-arifin-paparkan-upaya-indonesia-beralih-ke-energi-terbarukan

Merdeka.com | Rabu, 18 November 2020

Indonesia Getol Garap Biodiesel, Tengok Kerugian Akibat Penurunan Ekspor CPO

Pemerintah tengah menggenjot program biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Pemerintah beralasan, produksi biodiesel adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil. Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB Universitas Indonesia, Alin Halimatussadiah, mengatakan kebijakan biodiesel memang dapat meningkatkan penghematan solar. Di mana, semakin tinggi blending rate-nya, maka penghematan itu semakin besar. Namun, meskipun terjadi penghematan, sumbangan pada penurunan defisit neraca perdagangan berkisar antara 0,43 hingga 0,68 persen per tahun. “Sedangkan proporsi penghematan terhadap defisit neraca transaksi berjalan berkisar antara 0,09 – 0,18 persen per tahun,” jelas Alin dalam diskusi daring – Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa, Rabu (18/11). Sementara, apabila tambahan CPO untuk produksi biodisel dapat diekspor, maka manfaat penurunan defisit makin besar. Dalam perhitungannya, Alin menyebutkan potensi pasar CPO internasional untuk ekspor masih cukup besar. Dalam kesempatan yang sama, ekonom senior Faisal Basri menyebutkan pendapatan ekspor yang hilang dari pemakaian biodisel untuk kebutuhan domestik adalah Rp41,7 triliun pada 2019. “Dengan menghitung opportunity cost yang hilang akibat tidak mengekspor CPO dan biofuel, transaksi perdagangan pada 2019 mengalami defisit sebesar Rp85,2 triliun (USD 6,1 miliar), dan tahun 2018 sebesar Rp72,1 triliun (USD 5,0 miliar),” papar dia.

https://www.merdeka.com/uang/indonesia-getol-garap-biodiesel-tengok-kerugian-akibat-penurunan-ekspor-cpo.html?page=1

Liputan6.com | Rabu, 18 November 2020

Program B30 Abaikan Tren Penurunan Konsumsi Biodisel AS

Pemerintah tengah mengurangi ketergantungan impor bahan bakar fosil. Upaya ini dilakukan melalui Program B30 (biodiesel) sudah direalisasikan, menyusul kemudian B50 yang rencana dikeluarkan pada tahun depan. Namun, Ekonom Senior Faisal Basri menilai, kebijakan ini mengabaikan tren penurunan konsumsi biodisel di Eropa dan Amerika Serikat hingga tahun 2029. Implikasinya, teknologi permesinan dunia tidak didesain untuk menggunakan biodiesel, mengingat Amerika Serikat dan Eropa ujung tombak teknologi permesinan dunia. “Dalam beberapa tahun terakhir, produksi biodisel meningkat karena Program Biofuel. Kalau sampai 2017 itu lebih banyak buat program biodisel dari pada buat petani kecil,” ujar dia dalam diskusi daring – Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa, Rabu (18/11/2020). Dalam paparannya, Faisal memperkirakan pada 2016-2017 dana CPO sekitar USD 1,9 miliar. Dimana USD 1,5 miliar digunakan untuk program biodisel. “Oleh karena itu, pertumbuhan produksi biodisel sepenuhnya bergantung pada ekspor minyak kelapa sawit, dan harganya yang berasiang,” ujar Faisal, Menurutnya, jika ekspor kelapa sawitnya turun, maka dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) juga turun. “Jadi ini ada kontradiksi. Semakin sedikit yang kita ekspor, semakin sedikit penerimaan negara dari bea sawit, ditambah juga dengan bea ekspor,” kata dia.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4411684/program-b30-abaikan-tren-penurunan-konsumsi-biodisel-as

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *