Pengusaha Biofuel Genjot Investasi

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Jum’at, 12 Juni 2020

Pengusaha Biofuel Genjot Investasi

Pelaku usaha produsen biofuel fokus meningkatkan investasi untuk mendukung pengembangan industri biodiesel di Indonesia.  Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan bahwa guna memenuhi kebutuhan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) untuk program B30 maupun B40 pada 2022, sejumlah badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) tengah menyiapkan sejumlah rencana investasi. “Perusahaan sudah ada yang memiliki rencana, baik itu memperbaiki kualitas (FAME) maupun meningkatkan volume produksi.  Ada investasi baru, baik itu perusahaan lama maupun perusahaan baru,” ujar Paulus saat dihubungi Bisnis, Kamis (11/6/2020). Paulus memproyeksikan akan ada penambahan sekitar 5,5 juta kiloliter (kL) kapasitas produksi biodiesel hingga tahun depan.  Saat ini total kapasitas terpasang produksi sudah mencapai sekitar 11,6 juta kL dengan utilitas produksi pabrik pengolahan sampai sekitar 9,6 juta. Bila penambahan kapasitas terealisasi maka total kapasitas produksi biodiesel diperkirakan bisa mencapai 17,1 juta kl hingga tahun depan.

Namun demikian, kata Paulus, pengembangan investasi biodiesel tersebut nampaknya sedikit terhambat karena situasi pandemi Covid-19.  Hal ini lantaran tenaga ahli dari luar negeri yang didatangkan untuk memasang mesin-mesin produksi tidak bisa masuk ke Indonesia. “Tahun ini seharusnya, kalau tidak ada Covid itu ada penambahan kapasitas sekitar 3 juta kL lebih tahun ini.  Tahun depan 2,5 juta kL.  Tapi dengan Covid-19 butuh penyesuaian,” katanya.  Dengan adanya rencana investasi tersebut, Paulus optimistis Aprobi mampu memenuhi kebutuhan FAME untuk program mandatori B40 pada 2022 maupun program perluasan biodiesel selanjutnya.  Terkait program perluasan biodiesel tahap selanjutnya, Paulus menilai bahwa spesifikasi FAME pada campuran solar juga akan berbeda. Dengan begitu, dibutuhkan investasi tambahan oleh BU BBN untuk menyesuaikan spesifikasi FAME.  Hanya saja, penyesuaian spesifikasi ini masih akan menunggu hasil riset dari sejumlah pihak. Diberitakan sebelumnya, serapan domestik biodiesel diperkirakan akan terus meningkat menjadi 10,2 juta kl pada 2021, 14,2 juta kl pada 2022, 14,6 juta kl pada 2023, dan 17,4 juta kl pada 2024.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200612/44/1251730/pengusaha-biofuel-genjot-investasi

BERITA BIOFUEL

Antaranews.com | Kamis, 11 Juni 2020

Selain ramah lingkungan, biodiesel ramah mesin kendaraan

Selain terbukti meningkatkan kualitas lingkungan, biodiesel pun terbukti ramah pada mesin kendaraan. Serangkaian uji komprehensif dan konstruktif juga telah dilakukan untuk memastikan implementasinya tepat sasaran. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, Wiratmaja Puja saat membuka Webinar bertajuk Kiat-Kiat Penggunaan B30 Bagi Kendaraan Diesel, Jumat. “Serangkaian uji tak hanya menepis kekhawatiran akan kerugian dan kerusakan pada mesin kendaraan, bahan bakar ini juga berperan dalam meningkatkan kualitas lingkungan,” ujarnya. Program Mandatori Pemanfaatan B30 telah diluncurkan secara langsung oleh Presiden Joko Widdo pada 23 Desember 2019 lalu setelah melalui berbagai tahap perencanaan matang dan sistematis. Berdasarkan hasil uji jalan B30 pada kendaraan bermesin diesel, tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja kendaraan yang menggunakan bahan bakar B30 dibandingkan dengan B20 yang sudah diimplementasikan selama ini.

Memasuki semester kedua pelaksanaan implementasi B30, pemerintah kembali mensosialisasikan keamanan penggunaan B30 kepada masyarakat agar tak ada lagi kekhawatiran akan kerugian dan kerusakan pada mesin kendaraan yang menggunakan pencampuran 30% persen biodiesel dalam bahan bakar jenis solar. “Potensi biofuel di Indonesia sangat luar biasa dan pengembangan biodiesel akan memberikan banyak aspek positif bagi masyarakat,” tambahnya. Pada kesempatan tersebut, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan bahwa nilai kalor B30 itu sama dengan 95% solar murni, tetapi efisiensi pembakarannya lebih baik dan emisi gas buangnya lebih bersih dan biodiesel praktis tak mengandung belerang/sulfur. “Konsumsi spesifik bahan bakar mobil berbahan bakar B30 mungkin sedikit lebih besar dari yang berbahan bakar solar murni, tetapi tenaga mobil tetap,” tuturnya. Selain itu, biodiesel relatif lebih suka air daripada solar karena mengandung atom oksigen. Karenanya, tangki-tangki yang akan digunakan untuk menyimpan B30, termasuk tangki bahan bakar kendaraan harus terlebih dahulu bebas dari kontaminasi dan kemungkinan penyusupan air dan dijaga demikian seterusnya. Pada aspek daya menyapu atau membersihkan kerak, Tatang menekankan bahwa biodiesel memiliki daya melarutkan yang baik. “B30 cenderung menyapu/membersihkan kerak-kerak dari dinding tangki penyimpan dan saluran bahan bakar, sehingga bisa menyumbat saringan bahan bakar (fuel filter). Oleh karenanya, pada waktu pertama kali beralih dari berbahan bakar B0 (solar murni) ke B30, di minggu pertama penggunaan perlu membersihkan atau bahkan mengganti saringan bahan bakar,” ungkapnya. Tatang juga mengingatkan bahwa biodiesel tidak kompatibel dengan material-material logam seperti tembaga, timah, seng, kuning dan perunggu, serta non logam seperti karet alam maupun karet sintesis. B30 mestinya tak berkontak dengan peralatan/onderdil yang dibuat dari material-material di atas. Tatang menyarankan material yang digunakan adalah baja karbon, baja anti karat, aluminium, Teflon, viton, atau nylon 6/6.

https://www.antaranews.com/berita/1548360/selain-ramah-lingkungan-biodiesel-ramah-mesin-kendaraan

Katadata.co.id | Kamis, 11 Juni 2020

Mengenal Istilah B20, B30, B100, BBN dalam Bioenergi

Sejak Januari 2020, seluruh SPBU yang menyediakan bahan bakar ramah lingkungan telah menjual biosolar dengan kadar biodiesel 30% atau B30. Kadar biodiesel ini ditingkatkan dari sebelumnya 20%. Program Mandatori B30 yang menjadi salah satu program strategis Presiden Joko Widodo dalam menekan defisit neraca dagang. Di mana, minyak sawit lokal diserap di dalam negeri untuk memproduksi biodiesel. Dalam kondisi pandemi corona dan perekonomian global yang lesu, industri-industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit kini mengurangi produksinya. Dampaknya, permintaan dunia akan minyak sawit juga menurun dan dipastikan menekan harga di tingkat petani. Di sini, kebutuhan untuk B30 membuat harga sawit menjadi relatif terjaga. “Untung saja Indonesia ada program B30 sehingga penurunan permintaan minyak sawit tak terlalu signifikan,” kata Raden Pardede melalui keterangan tertulis, Rabu (10/6).

Masih terkait dengan B30, biodiesel, selain bioethanol dan minyak nabati murni termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN). BBN merupakan salah satu bentuk bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik. Sebelum program mandatori B30, pemerintah memberlakukan program B20. Artinya, pemerintah yang mewajibkan pencampuran 20% Biodiesel dengan 80% bahan bakar minyak jenis Solar. Program ini mulai diberlakukan sejak Januari 2016 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Sedangkan program B30 yang berlaku saat ini adalah pencampuran 30% Biodiesel dengan 70% bahan bakar minyak jenis Solar, yang menghasilkan produk Biosolar B30.

Program ini akan diberlakukan mulai Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Kemudian, B100 adalah istilah untuk Biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi.  Dikutip dari laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester, namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau methanol.

Proses pembuatan Biodiesel umumnya menggunakan reaksi metanolisis (transesterifikasi dengan metanol) yaitu reaksi antara minyak nabati dengan metanol dibantu katalis basa (NaOH, KOH, atau sodium methylate) untuk menghasilkan campuran ester metil asam lemak dengan produk ikutan gliserol. Selain Biodiesel, Pemerintah juga telah mengatur BBN jenis lainnya yakni Bioetanol yang dikenal dengan istilah E100 dan Minyak Nabati Murni atau dengan istilah O100 . Untuk pemakaiannya, Biodiesel dan Bioetanol akan dicampurkan dengan bahan bakar fosil pada persentase tertentu. Dalam hal ini, untuk Biodiesel dicampurkan dengan Solar, sedangkan Bioetanol dicampurkan dengan Bensin.

Saat ini Pemerintah juga aktif mendorong pengembangan BBN biohidrokarbon yang karakteristiknya sama atau bahkan lebih baik daripada senyawa hidrokarbon/BBM berbasis fosil. BBN Biohidrokarbon yang ramah lingkungan ini dapat langsung digunakan (drop-in) sebagai substitusi BBM fosil  tanpa perlu penyesuaian mesin kendaraan. BBN biohidrokarbon ini dapat dibedakan menjadi green-gasoline, green-diesel, dan bioavtur. Tujuan Implementasi Program Mandatori BBN sebagai berikut: – Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi; – Stabilisasi harga CPO; – Meningkatkan nilai tambah melalui hilirisasi industri kelapa sawit; – Memenuhi target 23% kontribusi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam total energi mix pada 2025; – Mengurangi konsumsi dan impor BBM; – Mengurangi emisi; dan – Memperbaiki defisit neraca perdagangan. Indonesia adalah negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan bahan baku utama bersumber dari kelapa sawit. Negara lain yang telah berhasil mengimplementasikan B20 adalah Minnesota, Amerika Serikat mulai Mei 2018. Adapun Kolombia baru pada tahap B10 dari tahun 2011 dan Malaysia baru pada tahap B10 pada tahun 2019.

https://katadata.co.id/berita/2020/06/11/mengenal-istilah-b20-b30-b100-bbn-dalam-bioenergi

Media Indonesia | Jum’at, 12 Juni 2020

Program B30 Layak Dilanjutkan

PROGRAM biodiesel 30% (B30) masih layak dilanjutkan karena kebijakan ini terbukti efektif mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) milik petani dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Ekonom senior Raden Pardede menjelaskan program B30 ini menyebabkan pasar CPO di dalam negeri meningkat sehingga menyebabkan permintaan akan CPO juga meningkat. Dia menambahkan lantaran permintaan yang naik, harga CPO juga meningkat. Peningkatan itu membuat TBS yang merupakan bahan baku CPO turut menikmati margin. “Kebijakan ini sangat membantu para petani sawit. Karena itu, kebijakan ini tepat,” kata Raden Pardede di Jakarta, Rabu (10/6). Menurut Raden, jika Indonesia tidak menerapkan program B30, bisa dipastikan harga TBS dan CPO akan lebih rendah jika dibandingkan dengan harga saat ini. Pasalnya, sebagian besar CPO diekspor ke luar negeri padahal permintaan dunia akan CPO saat ini dipastikan menurun karena perekonomian dunia tengah lesu akibat pandemi covid-19. Industri-industri yang menggunakan bahan baku minyak Kelapa Sawit juga mengurangi produksi mereka. Penurunan permintaan minyak sawit ini bisa dipastikan menekan harga TBS di tingkat petani. “Untung saja Indonesia ada program B30 sehingga penurunan permintaan minyak sawit tak terlalu signifikan,” papar Raden. Jadi, lanjut Raden Pardede, pasar minyak sawit di dalam negeri ini harus tetap diamankan. Sebab kalau tidak, harga TBS dipastikan akan terjun bebas. “Jadi sebenarnya program B30 merupakan kebijakan yang sangat baik, paling tidak untuk sementara waktu ini. Karena saya yakin tanpa ada Program B30, harga TBS dan CPO kita akan turun,” tegasnya. Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin mengatakan pemerintah harus memproteksi petani untuk menyediakan pangan masyarakat. Tentu saja juga para petani sawit juga perlu mendapat proteksi dan insentif.

Gridoto.com | Kamis, 11 Juni 2020

Masuk Semester Dua Implementasi B30 Pemerintah Makin Gencar Sosialisasi

Program Mandatori Pemanfaatan B30 telah diluncurkan secara langsung pada 23 Desember 2019 lalu. Serangkaian uji komprehensif dan konstruktif juga telah dilakukan untuk memastikan implementasinya tepat sasaran. Kini, memasuki semester dua implementasi B30, pemerintah kembali mensosialisasikan kemananan penggunaan B30. Melansir Kontan.co.id, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian ESDM, Wiratmaja Puja mengungkapkan, masyarakat tak perlu khawatir dalam menggunkan bahan bakan dengan campuran biodiesel 30 persen ini. “Mandatori B30 sudah ditetapkan. Potensi biofuel di Indonesia sangat luar biasa dan pengembangan biodiesel akan memberikan banyak aspek positif bagi masyarakat,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (11/6). Berdasarkan hasil uji jalan B30 pada kendaraan bermesin diesel, Wiratmaja mengatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada kinerja kendaraan yang menggunakan bahan bakar B30 dibandingkan dengan B20 yang sudah diimplementasikan selama ini. “Tak hanya menepis kekhawatiran akan kerugian dan kerusakan pada mesin kendaraan, bahan bakar ini juga berperan dalam meningkatkan kualitas lingkungan,” sebut Wiratmaja.

https://www.gridoto.com/read/222190625/masuk-semester-dua-implementasi-b30-pemerintah-makin-gencar-sosialisasi

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 11 Juni 2020

Raden Pardede: Tak Ada B30, Harga TBS dan CPO Lebih Rapuh

Program mandatori B30 dinilai mampu menjadi tulang punggung terhadap penyerapan sawit di pasar domestik. Peningkatan pasar dan penyerapan minyak kelapa sawit untuk B30 mengakibatkan permintaan terhadap minyak sawit juga meningkat. Permintaan yang meningkat akan mendongkrak harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan harga TBS (tandan buah segar) milik petani. Ekonom Senior, Raden Pardede mengatakan, “Kebijakan ini sangat membantu para petani sawit. Karena itu, kebijakan ini tepat.” Lebih lanjut Raden menjelaskan, seandainya saja Indonesia tidak menerapkan program B30, dapat dipastikan harga TBS dan CPO akan lebih rendah jika dibandingkan dengan harga yang terjadi saat ini. Pasalnya, sekitar 70 persen dari total produksi CPO diekspor ke luar negeri. Celakanya, di tengah pandemi yang mengakibatkan perekonomian dunia lesu saat ini, permintaan akan CPO dari industri-industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit sudah dipastikan menurun. Penurunan permintaan minyak sawit ini tentunya mengakibatkan harga TBS di tingkat petani ikut tertekan. “Untung saja Indonesia ada program B30 sehingga penurunan permintaan minyak sawit tak terlalu signifikan. Jadi sebenarnya, program B30 merupakan kebijakan yang sangat baik, paling tidak untuk sementara waktu ini. Karena saya yakin, tanpa ada Program B30, harga TBS dan CPO kita akan turun,” papar Raden.

Raden juga mengungkapkan manfaat dari adanya program B30 lainnya, yakni dapat menghemat devisa negara. Hasrat penambahan importasi solar dinilai tidak tepat meskipun harga minyak mentah dunia saat ini sangat murah. Ditambah lagi, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Upaya yang dilakukan yakni dengan mengurangi penggunaan sumber energi fosil dan menggantinya dengan biodiesel yang merupakan renewable energy. Lebih lanjut, Raden mengatakan bahwa di kala pandemi Covid-19 saat ini, Indonesia harus memiliki lokomotif ekonomi yang mampu membangkitkan perekonomian nasional karena hampir semua sektor ekonomi terpuruk. Hanya sedikit sektor ekonomi yang mampu bertahan, salah satunya perkebunan kelapa sawit beserta industri turunannya. Oleh karena itu, industri perkebunan kelapa sawit tersebut harus dikembangkan agar perekonomian Indonesia dapat menggeliat kembali. Dalam implementasi program B30 sepanjang tahun 2020, telah disediakan sebanyak 9,6 juta kiloliter biodiesel. Manfaat ekonomi dan sosial yang akan diperoleh dari kebijakan B30 tersebut yakni mampu menghemat devisa sebesar US$5,13 miliar atau setara dengan Rp63,39 triliun. Hilirisasi CPO menjadi biodisel memberikan nilai tambah Rp13,82 triliun. Tidak hanya itu, program B30 mampu mempertahankan tenaga kerja (petani sawit) sebanyak 1,2 juta orang pada on-farm sector dan 9.005 orang pada off-farm sector. Selain itu, penggunaan B30 juga dapat mengurangi emisi GRK sebanyak 14,25 juta ton CO2.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Hasan Aminuddin, mengatakan, pemerintah harus memproteksi dan memberikan insentif kepada petani termasuk petani sawit sebagai penyedia pangan masyarakat. Program B30 secara tidak langsung merupakan salah satu proteksi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga harga TBS agar tetap berada pada level harga yang menguntungkan petani. “Adanya proteksi terhadap petani ini merupakan salah satu rekomendasi Komisi IV DPR kepada pemerintah,” tegas Hasan Aminuddin.

https://www.wartaekonomi.co.id/read289512/raden-pardede-tak-ada-b30-harga-tbs-dan-cpo-lebih-rapuh

CNNIndonesia.com | Kamis, 11 Juni 2020

Faisal Basri: Dana PEN BUMN Untuk Bayar Utang Pemerintah

Ekonom Senior Faisal Basri menilai dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dari pemerintah kepada BUMN sejatinya bukan stimulus khusus untuk membantu para perusahaan pelat merah di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Dana tersebut hanyalah pembayaran utang pemerintah kepada BUMN. Kendati begitu, pemerintah merancang pembayaran utang tersebut pada saat ini ketika pandemi corona. Sebab, bila tidak dibayarkan tekanan keuangan bagi para perusahaan negara akan semakin besar dan berpotensi merugikan perusahaan bahkan pemerintah. “Jadi tidak ada hubungannya dengan covid-19, itu adalah utang negara kepada BUMN yang sebelumnya tidak dibayar tepat waktu, bahkan bertahun-tahun,” ujar Faisal saat diskusi virtual, Rabu (10/6). Faisal mengatakan utang pemerintah ini umumnya berasal dari penugasan yang diberikan kepada BUMN. Selain itu, berasal dari subsidi tidak langsung yang tidak disertai dengan ketidakdisiplinan fiskal dari pemerintah, di mana pengeluaran yang seharusnya masuk pos subsidi justru tidak disertakan sebagai beban di APBN, namun menjadi beban BUMN. “Saya dapat informasi dari pimpinan PLN bahwa utang pemerintah ke PLN dari sebelum covid-19 bisa mencapai Rp73 triliun sampai akhir tahun ini. Nah, ini pun yang dibayarkan tidak semua. Pertamina juga, saya kira separuhnya saja yang dibayarkan,” ungkapnya.

Faisal pun memberi contoh dari mana saja utang pemerintah kepada para BUMN dan seperti apa ketidakdisiplinan fiskal pemerintah. Pertama, PLN. Pemerintah disebutnya tidak memperbolehkan perusahaan setrum negara untuk menaikkan tarif listrik sejak 2017. Hal ini membuat PLN mengalami kesulitan keuangan selama beberapa tahun terakhir karena tarif listrik yang dibayarkan sejatinya sudah tidak sesuai. Padahal seharusnya tarif listrik ditentukan sejalan dengan pergerakan inflasi, harga minyak, dan kurs rupiah. “Akibatnya PLN pada Desember 2019, mereka tidak bisa membayar utang,” katanya. Kedua, Pertamina. Pemerintah hanya memasukkan pos subsidi energi untuk BBM jenis minyak tanah dan solar. Padahal, ada BBM jenis tertentu, yaitu Premium, di mana bahan bakar ini tidak disubsidi tapi harganya diatur pemerintah dan merugi. Lalu, ada pula BBM satu harga yang anggarannya mencapai Rp1 triliun, namun tidak masuk dalam pos subsidi di APBN sehingga harus ditanggung oleh Pertamina. “Padahal seharusnya kalau disiplin fiskal, setiap kebijakan pemerintah yang menyebabkan ongkos lebih mahal dari harga, itu masuk subsidi, tapi praktis ini tidak naik,” jelasnya.

Sebagai gantinya, kata Faisal, pemerintah memberikan dana kompensasi. Namun, karena tidak berstatus subsidi jadi pembayaran anggarannya bisa ditunda dan ini yang kemudian seolah disulap menjadi dana PEN. Selain PLN dan Pertamina yang kerap menjadi diutangi, Faisal mengatakan kini pemerintah sebenarnya juga menambah beban beberapa BUMN yang diminta membangun fasilitas rumah sakit penanganan virus corona. “Kinerja BUMN kalau dilihat dari pembukuannya masih oke, tapi masalahnya di cash flow, karena di masa direksi PLN yang lalu itu, utang pemerintah sudah dianggap sebagai penerimaan, padahal cash-nya belum ada, sehingga membuat kesulitan bayar utang (BUMN),” jelasnya. Lebih lanjut, Faisal juga mengkritik pemberian dana PEN dari pemerintah ke BUMN yang menurutnya kurang pas, misalnya ke Hutama Karya. Faisal bilang alasan pemerintah adalah Hutama Karya tengah mengerjakan penugasan jalan Tol Trans Sumatera. “Katanya pembangunan jalan tol ini menyerap banyak tenaga kerja, masya Allah ini sudah keterlaluan, jalan tol sekarang sudah tidak ada tenaga kerjanya, semua adalah alat berat, jadi dipaksakan sekali. Kalau menyerap tenaga kerja itu bangun jalan desa, ini tidak padat karya sama sekali,” jelasnya. “Menurut saya ini bisa ditunda, jalan tol tidak harus disambung tahun ini,” sambungnya. Penugasan kepada Hutama Karya pun seolah-olah dirancang tanpa APBN. Padahal, pemerintah menyuntikkan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp6,4 triliun.

Sisanya, Hutama Karya diminta mencari pendanaan sendiri. Perusahaan karya itu pun akhirnya memilih jalan dengan menerbitkan surat utang dengan estimasi mencapai US$600 juta menurut perhitungan Faisal. “Untuk keluarkan bonds, harus keluarkan aset, di-rating, asetnya diambil dari BUMN lain, jadi makin tidak tertib. Memang kalau tidak ada krisis tidak kelihatan, tapi dengan ada krisis, satu per satu BUMN mengeluh. Krisis ini menunjukkan betapa ada yang salah dalam pengelolaan ekonomi kita,” tuturnya. Lebih lanjut, ia melihat pemerintah harus mengkaji kembali program PEN dan alokasi serta potensi ketepatsasarannya. Bila tidak, stimulus ini tidak akan mampu mendongrak perekonomian. Ia pun melihat pemulihan ekonomi nasional baru akan selesai dalam lima tahun ke depan.

Dana Sawit

Faisal turut mengkritik program biodiesel pemerintah yang dinilainya akan menjadi permasalahan di kemudian hari. Sebab, program biodiesel membuat pemerintah harus menggunakan dana sawit untuk membayar subsidi atas selisih harga FAME dan minyak kepada para pengusaha sawit. Masalahnya, program yang diklaim pemerintah bisa menjadi solusi untuk penyerapan hasil perkebunan rakyat dan energi baru terbarukan ini justru dikhawatirkan justru hanya memperkaya pengusaha saja. “Sekarang ada lagi subsidi biofuel, itu jumlah Rp2,8 triliun kalau tidak salah untuk operasi Rp1 triliun, tapi untuk Martua Sitorus dan kawan-kawan Rp2,8 triliun plus Rp700 miliar dari tambahan dana sawit yang naik dari US$50 menjadi US$55 per ton,” katanya. Program ini, sambungnya, hanya akan menghabiskan dana sawit yang diambil dari pungutan hasil ekspor para pengusaha kepada negara. Dengan begitu, dana hasil pungutan kembali lagi ke kantong para pengusaha. “Jadi penghematan subsidi BBM yang turun karena adanya FAME menimbulkan subsidi jenis baru. Jadi efek keberadaan B20, B30, B50 ini tidak seperti yang dikatakan pemerintah,” jelasnya. Di sisi lain, pemerintah memberikan alokasi dana PEN kepada program biodiesel yang dipastikan juga hanya menguntungkan pengusaha sawit. Alokasinya sekitar Rp2,78 triliun. “Ini dinikmati segelintir orang saja dan mereka masih terus minta. Masalah Covid ini seperti keranjang sampah, semua dimasukkan di dana Covid untuk menghilangkan jejak tidak disiplin fiskal,” pungkasnya.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200610214044-532-512007/faisal-basri-dana-pen-bumn-untuk-bayar-utang-pemerintah

Neraca.co.id | Kamis, 11 Juni 2020

Pulihnya Pasar Tardisional Memberi Harapan Baru Industri Sawit

Ditengah pandemi Covid-19 yang telah berjalan lebih dari 2 (dua) bulan, kegiatan operasional di perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit masih berjalan normal dengan mengikuti protokol pencegahan secara disiplin. Produksi CPO pada bulan April 12,6% lebih tinggi dari produksi bulan Maret, sedangkan konsumsi dalam negeri turun 6,6%, ekspor turun 2,8% , dan harga CPO turun dari rata-rata USD 636 pada bulan Maret menjadi USD 516 per tonCif Rotterdam pada bulan April sedangkan nilai ekspornya turun 10% dar USD 1,82 milyar menjadi USD 1,64 milyar. “Dibandingkan Januari-April 2019, produksi CPO 2020 lebih rendah 12,2%, konsumsi dalam negeri lebih tinggi 6,2%, ekspor lebih rendah 12,1% dan nilai ekspor 9,4% lebih tinggi yaitu USD 6,96 milyar dibandingkan USD 6,37 milyar,” papar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono. Lebih lanjut, menurut Mukti, produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu merupakan efek bawaan dari kemarau panjang tahun lalu. Meningkatnya produksi pada bulan April ini diharapkan merupakan titik awal fase kenaikan produksi musiman untuk tahun 2020.

Konsumsi dalam negeri pada bulan April dibandingkan Maret turun 98 ribu ton disebabkan turunnya konsumsi biodiesel sebanyak 113 ribu ton akibat turunnya mobilitas masyarakat sedangkan lebih tingginya konsumsi biodiesel Jan-April 2020 dari tahun lalu disebabkan oleh implementasi B30. “PSBB diduga menyebabkan konsumsi untuk keperluan pangan naik hanya 4 ribu ton menjadi 725 ribu ton sedangkan konsumsi oleokimia naik 11 ribu ton menjadi 115 ribu ton yang karena meningkatnya pemakaian hand sanitizer dan sabun,” jelas Mukti. Disisi lain, Mukti mengatakan, Konsumsi oleokimia diperkirakan masih akan bertahan meskipun ada pelonggaran PSBB karena protocol covid-19 masih tetap diterapkan. Ekspor minyak sawit pada bulan April dibandingkan dengan bulan Maret 2020 mengalami penurunan sebesar 77 ribu ton; 44 ribu ton dari refined palm oil dan 33 ribu ton dari CPO. Adapun berdasarkan tujuannya, penurunan terbesar terjadi ke Bangladesh, Afrika dan Timur Tengah masing-masing dengan 118, 62 dan 56 ribu ton karena impor yang besar ketiga negara tersebut pada bulan Maret. Sebaliknya, ekspor ke Pakistan naik 100% menjadi 201 ribu ton disebabkan impor yang sangat rendah pada bulan Maret. “Ekspor ke China naik 37% menjadi 417 ribu ton meskipun masih jauh lebih rendah dari ekspor ke China April 2019 (730 ribu ton) sedangkan ekspor ke India dan EU juga menunjukkan sedikit kenaikan. Tren yang positif ini diperkirakan akan berjalan terus dengan semakin meredanya pandemi Covid-19,” papar Mukti.

Sebelumnya, Karantina Pertanian Pekanbaru mencatat adanya peningkatan permohonan fasilitasi ekspor yang cukup signifikan, khususnya komoditas sub sektor Perkebunan berupa 6 produk turunan kelapa sawit seperti  RBD (Refined Bleached Deodorized) Palm Olein, Palm Kernel Oil, RBD Palm Stearin, RBD Palm Oil, bungkil sawit (Palm Kernel Expeller) dan cangkang kelapa sawit  sejumlah 1.283.251 ton  dengan nilai ekonomis  Rp. 6,7 triliun pada triwulan pertama tahun 2020. Hal ini meningkat 150 persen dibanding periode sama tahun 2019 yang hanya berhasil membukukan sebanyak 829.593 ton dengan perolehan nilai ekonomi Rp. 5,5 triliun. Kenaikan volume yang signifikant terjadi pada kondisi ekonomi yang melemah akibat wabah pandemi. “ Ekspor Komoditas Produk kelapa sawit  asal Riau ini, menunjukkan hasil menggembirakan dari tahun ke tahun, karena mampu bersaing di pasar global, terutama pada kondisi ekonomi yang melemah akibat wabah pandemi tetap jadi unggulan negara ekspor, “ ungkap Rina Delfi, Kepala Karantina Pertanian Pekanbaru. Menurut Rina, keberhasilan produk kelapa sawit ini mampu bersaing di pasar global merupakan pencapaian penting, karena  negara tujuan ekspor tersebut membuat persyaratan yang ketat harus memenuhi persyaratan  Import Health Standar (IHS).

Lebih lanjut, untuk memastikan produk pertanian dapat diterima di negara tujuan, secara rutin Karantina Pertanian Pekanbaru memberikan bimbingan teknis pemenuhan persyaratan sanitari dan fitosanitari, SPS Measure, sesuai yang dipersyaratkan negara  tujuan ekspor. “Saat ini, peminat produk kelapa sawit juga terus bertambah. Berdasarkan data  lalu lintas ekspor Karantina Pertanian Pekanbaru  untuk produk sawit  di tahun 2019 terdiri dari 25 negara dan kini produk kelapa sawitnya berhasil menembus 30 negara diantaranya negara New Zealand, China, Turki, Ukraina,  Estonia, Brazil, Uni Emirat Arab, Mexico, Belanda, Jepang, South Korea Selatan, USA dan lain-lain,” papar Rina. Ekspor Komoditas Lainnya. Tidak hanya produk kelapa sawit, menurut Rina, Karantina Pertanian Pekanbaru juga rutin setiap bulannya melayani sertifikasi ekspor sub sektor perkebunan berupa kelapa bulat sebanyak  76,76 ribu ton dengan nilai ekonomis Rp. 219,21 miliar , santan kelapa sebanyak 17,48 ribu ton dengan nilai ekonomis Rp. 206,68 miliar dan komoditas sub sektor hortikultura berupa buah manggis sebanyak 9,7 ribu ton dengan nilai ekonomis Rp. 310,46 miliar di triwulan pertama tahun 2020.

https://www.neraca.co.id/article/132577/pulihnya-pasar-tardisional-memberi-harapan-baru-industri-sawit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *