Penyerapan Biodiesel Domestik Baru Capai 58,5% Hingga Agustus

| Artikel
Bagikan Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

CNBCindonesia.com | Rabu, 23 September 2020

Penyerapan Biodiesel Domestik Baru Capai 58,5% Hingga Agustus

Penyerapan bahan bakar nabati (BBN) yaitu Fatty Acid Methyl Esters (FAME) untuk dicampur ke dalam diesel dengan porsi 30% atau biasa dikenal dengan program biodiesel 30% (B30) di dalam negeri hingga Agustus 2020 baru mencapai 5,62 juta kilo liter (kl) atau sekitar 58,5% dari target penyerapan tahun ini sebesar 9,6 juta kl. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Andriah Feby Misna. “Realisasi penyerapan B30 sampai dengan akhir Agustus 5,62 juta kl,” tuturnya melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/09/2020). Masih rendahnya penyerapan FAME ini tak ayal membuat target penyerapan tahun ini akan melenceng. Dia pun menuturkan perkiraan penyerapan FAME hingga akhir tahun ini hanya sekitar 8,7 juta kl. Artinya, 90,63% dari target awal. “Perkiraan realisasi sampai dengan Desember sekitar 8,7 juta kl,” ungkapnya. Sebelumnya, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman memproyeksikan serapan FAME sampai akhir tahun 2020 hanya mencapai 8,25 juta kl. “Sampai akhir tahun diproyeksikan sebesar 8,25 juta kiloliter (FAME yang digunakan di dalam negeri),” ungkapnya kepada wartawan pada awal bulan ini. Turunnya serapan FAME ini menurutnya sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang membuat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) menurun. Pandemi Covid-19 sampai hari ini belum selesai, oleh karena itu BPDPKS memproyeksikan kebutuhan FAME untuk 2021 mencapai 9,59 juta kl atau tidak ada perubahan dari alokasi tahun ini. Rencana peningkatan kandungan BBN menjadi 40% di dalam diesel (B40) pada tahun depan pun masih belum bisa dipastikan. “Sampai saat ini masih ditetapkan B30. Kami masih menunggu dari Komite Pengarah, apakah rencana B40 pada Juli 2021 akan tetap dilanjutkan. Nah kalau iya, B40 itu berasal dari campuran 30% FAME dan 10% dari D100 yang diproduksi Pertamina, di-mix sehingga jadi 40%,” paparnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan keseriusannya dalam menggarap proyek biodiesel. Salah satu yang menjadi target adalah meningkatkan kandungan nabati yang ada pada olahan biodiesel saat ini. Saat ini proyek B30 sudah terlaksana. Itu akan ditingkatkan lagi ke depannya.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200923100853-4-188768/penyerapan-biodiesel-domestik-baru-capai-585-hingga-agustus

Antaranews.com | Rabu, 23 September 2020

Kemenperin usung program nilai tambah sektor industri pada 2021

Kementerian Perindustrian mengalokasikan program nilai tambah dan daya saing industri dan menetapkan fokus pengembangan kegiatan prioritas nasional pada tiap-tiap sektor manufaktur di anggaran 2021. Untuk industri agro, salah satu yang menjadi prioritas antara lain, penyusunan rencana bisnis, studi kelayakan dan detail engineering design (DED) industrial vegetable oil/industrial lauric oil sebagai bahan baku industri green fuel atau B100. “Melalui sektor agro, kami juga melakukan restrukturisasi mesin industri furnitur serta perbaikan rantai pasok industri furnitur untuk satu pusat logistik,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangan resmi di Jakarta, Rabu. Pada industri kimia farmasi dan tekstil, Kemenperin mendorong pelaksanaan Making Indonesia 4.0 di sektor industri kimia hulu untuk satu rekomendasi kebijakan, fasilitasi pengembangan industri petrokimia di Teluk Bintuni, dan penyusunan satu rekomendasi kebijakan penumbuhan dan pengembangan industri garam industri. “Kemudian, dalam rangka mendukung substitusi impor di sektor ini, kami fokus melakukan percepatan substitusi impor bahan baku industri semen keramik dan pengolahan bahan galian nonlogam,” terangnya. Selanjutnya, pada industri logam, mesin, alat transportasi dan elektronika (ILMATE), Kemenperin menitikberatkan pada beberapa fokus utama antara lain, mendorong implementasi industri 4.0 pada sektor otomotif, elektronika dan telematika, serta sektor industri permesinan dan alat mesin pertanian.

Pada Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA), Kemenperin fokus pada beberapa hal, antara lain peningkatan kemampuan sentra IKM, penumbuhan dan pengembangan wirausaha industri dengan target 1.650 IKM, penerapan sertifikasi produk dan penguatan mesin dan peralatan untuk 5.028 IKM, serta layanan hak kekayaan intelektual, desain dan kemasan. Dalam upaya mendorong kontribusi sektor industri pada neraca perdagangan, Kemenperin berupaya memfasilitasi peningkatan ekspor produk pada masing-masing sektor, baik itu melalui pelatihan ekspor maupun kegiatan pameran internasional. “Di industri agro misalnya, akan dilakukan peningkatan kapasitas ekspor bagi dunia usaha sektor industri agro untuk 30 perusahaan,” paparnya. Agar industri semakin berdaya saing, Kemenperin juga melakukan upaya peningkatan investasi dan operasional lima kawasan industri (KI) prioritas di luar Jawa, penyusunan rekomendasi penyelesaian hambatan ekspor impor, serta penyusunan rekomendasi pengembangan investasi bahan baku industri substitusi impor. “Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada pimpinan dan anggota komisi VI karena telah menunjukkan dukungannya yang luar biasa. Kerjasama kemitraan yang telah ditunjukkan antara pemerintah dan Komisi VI sangat baik sekali, semoga akan terus bisa terlaksana baik ke depannya,” imbuh Menperin, dilansir dari antara. Pada Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun Anggaran 2021, Kemenperin juga telah mengajukan penambahan pagu anggaran sebesar Rp298,3 miliar. Anggaran tersebut dialokasikan bagi penyiapan infrastruktur dalam rangka kebijakan International Mobile Equipment Identity (IMEI) sebesar Rp25 miliar, fasilitas Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT SNI Wajib) dan penguatan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) sebesar Rp109,8 miliar, serta sertifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar Rp163 miliar. Dalam hal tersebut, Komisi VI DPR RI menyetujui untuk memperjuangkan penambahan pagu anggaran itu.

https://www.antaranews.com/berita/1742445/kemenperin-usung-program-nilai-tambah-sektor-industri-pada-2021

Neraca.co.id | Rabu, 23 September 2020

Pengembangan Industri Kimia Berbasis Methanol Sudah Sangat Mendesak

Saat ini Indonesia perlu mengembalikan peran industri sebagai fondasi ekonomi nasional dengan lebih memperhatikan lagi struktur industri yang berbasis di hulu, yakni industri petrokimia berbasis methanol, sebagai salah satu produk utamanya sebagai pemasok bahan baku untuk berbagai sektor industri lainnya. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan mengatakan pengembangan industri kimia berbasis methanol sudah sangat mendesak dan urgen. “Pengembangan industri methanol sangat penting untuk mendukung kemandirian industri, mendukung daya saing industri nasional serta menopang pembangunan industri berkelanjutan dan yang utama memangkas defisit neraca perdagangan yang terjadi lantaran ketergantungan tinggi pada impor,” ungkap Johnny di Jakarta. Menurut Johnny investasi di sektor petrokimia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir masih tergolong minim. Kondisi ini berdampak pada ketergantungan impor yang tinggi lantaran minimnya suplai bahan baku industri hulu petrokimia. “Kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru mencapai 2,45 juta ton. Sementara itu, kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun. Dengan kata lain, produksi dalam negeri baru memenuhi 47 persen kebutuhan domestik. Sisanya, yaitu sebesar 53% harus dipenuhi melalui impor,” ujar Johnny Lebih lanjut Johnny mengatakan kebutuhan akan metanol semakin meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen yang kapasitas produksinya 660 ribu ton per tahun. Alhasil, ketergantungan impor methanol tergolong tinggi. “Nilai impor methanol mencapai USD 12 miliar atau setara Rp 174 triliun per tahun. Pasalnya, metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain industri asam asetat, formaldehid, Methyl Tertier Buthyl Eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, Dimethyl Ether (DME), dan lain sebagainya,” jelas Johnny.

Alasan lain, kata Johnny, yang mendasari strategisnya pengembangan industri methanol adalah karena beberapa produk turunannya, seperti biodiesel dan dimetil eter (DME) merupakan bahan bakar alternatif. Dengan demikian, impor minyak yang selama ini membebani neraca dagang RI bisa dikurangi melalui pengembangan industri methanol. “Lebih lagi, industri methanol akan mendukung program pemerintah, yakni pengalihan dari bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel,” papar Johnny. Sebaliknya, johny mengatakan bila pengembangan industri methanol ditunda, sementara pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar semakin berkembang, maka ketergantung impor akan semakin tinggi. Sejalan dengan itu, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk mulai mengoperasikan kedua unit pabrik MTBE dan B1 yang pertama kalinya ada di Indonesia sekaligus mendukung target pemerintah Indonesia untuk menyubstitusi impor melalui program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang diusung oleh Kementerian Perindustrian. Konstruksi kedua pabrik berhasil diselesaikan sesuai jadwal walaupun di tengah masa pandemi. Presiden Direktur Chandra Asri Erwin Ciputra mengatakan prioritas utama perseroan adalah mendukung pemerintah dan industri dalam negeri dalam mengurangi ketergantungan impor. Dengan beroperasinya pabrik baru ini, perseroan berharap tujuan pemerintah mengurangi impor sampai 35 persen pada 2022 dapat tercapai. Konstruksi pabrik MTBE dan B1 milik Chandra Asri ini dilakukan oleh Toyo Engineering Corporation dan PT Inti Karya Persada Tehnik sejak 2018. “Kami menyampaikan terimakasih kepada Toyo dan IKPT karena berhasil menyelesaikan konstruksi ini semasa pandemi, sehingga operasional pabrik dapat dimulai sesuai rencana kami,” kata Erwin. Erwin menambahkan kedua pabrik ini juga merupakan pabrik pertama di Indonesia yang menggunakan Lummus Technology, salah satu teknologi processing pabrik petrokimia paling mutakhir di dunia. Adapun, pabrik MTBE (Methyl Tert-butyl Ether) berkapasitas 128 KTA untuk memasok kebutuhan octane booster dalam negeri yang sampai saat ini masih diimpor, sedangkan pabrik B1 (Butene 1) berkapasitas 43 KTA akan diserap untuk kebutuhan operasional pabrik Chandra Asri sebesar 33 KTA, dengan sisanya ditargetkan untuk pasar domestik. Di tempat berbeda Direktur Industri Kimia Hulu Fridy Juwono mengapresiasi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk yang sudah mulai mengoperasikan kedua unit pabrik MTBE dan B1. “Kami dari pihak pemerintah, sangat mengapresiasi PT Chandra Asri, kita harap dengan pengoperasian pabrik tersebut bisa mengurangi impor yang saat ini cukup besar,” ungkap Fridy. Lebih lanjut, Fridy mengatakan, pemerintah terus mendorong industri-industri prioritas untuk mengganti peran impor. Kemudian Kemenperin pun mencanangkan peta jalan untuk pengembangan sektor petrokimia nasional, yakni Indonesia’s Chemical 4.0.

Terhitung mulai 2021, Indonesia akan mengurangi ketergantungan impor kimia dasar dalam 3-5 tahun setelahnya. Hal itu diwujudkan melalui peningkatan kapasitas pemurnian nafta dan kimia dasar (olefin dan aromatik) untuk mendukung pengembangan Indutri hilir. Efisiensi melalui teknologi menjadi salah satu kunci dari tahap pengembangan ini. Di samping itu, penguatan produksi serat sintetis pun direalisasikan pada periode ini guna mendukung industri tekstil. Tiga produk yang menjadi fokus pada periode ini adalah ethylene, propylene, dan butadiene. Pada tahap ini target pengurangan impor hingga 30% bisa direalisasikan. Kedua, pada 2025 mulai fokus pada peningkatan produksi kimia perantara. Periode pengembangan dilakukan dalam 5–10 tahun dengan tetap melanjutkan pertumbuhan produksi serat sintetis. Penguatan produk kimia perantara, seperti resin sintetis, karet sintetis dan fiber sintetis, yang menjadi bahan baku industri lain menjadi prioritas pada periode ini. Di samping itu, peta jalan ini mendorong peningkatan kemampuan dalam negeri untuk mengubah biomassa menjadi biokimia dasar. “Ketiga, peta jalan itu akan dilanjutkan dengan mengarahkan Indonesia untuk menjadi pemimpin di sektor petrokimia atau leading bio specialty chemical hub. Indonesia akan berfokus pada produk bioplastic, biofuel, dan biocomposite sehingga bisa masuk dalam jajaran lima besar produsen produk tersebut,” pungkas Fridy

https://www.neraca.co.id/article/136740/pengembangan-industri-kimia-berbasis-methanol-sudah-sangat-mendesak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *