Jelantah Melimpah, tetapi Minim Aturan

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kompas | Rabu, 8 April 2020

Penggunaan jelantah untuk sektor konsumsi menunjukkan lemahnya pengawasan soal tata kelola minyak goreng bekas pakai tersebut. Produksi jelantah Indonesia diprediksi melimpah, berkisar 2-3 juta ton setahun. Namun, aturan soal tata niaga, lingkungan, dan kesehatan terkait penggunaan jelantah masih sangat minim. Di tingkat nasional belum ada aturan spesifik yang menyebutkan jelantah sebagai limbah ataupun larangan penggunaannya untuk bahan baku konsumsi. Padahal, penggunaan jelantah untuk konsumsi berbahaya bagi kesehatan. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga mengatakan, dalam setahun rata-rata konsumsi minyak goreng 5,2 juta ton. Dengan perkiraan susut 40-60 persen, jelantah yang dihasilkan diperkirakan 2-3 juta ton per tahun. “Jumlahnya tak sedikit. Secara nasional, diperkirakan jelantah untuk konsumsi sekitar 20 persen dari minyak goreng yang beredar karena masih minimnya aturan,” katanya di Jakarta, pertengahan Februari lalu. Dari tata niaga, kata Sahat, pengaturan perdagangannya belum ada sehingga siapa saja bisa membeli dari penghasil jelantah tanpa pengawasan, termasuk pemanfaatannya. Dari sisi lingkungan, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati mengungkapkan, minyak goreng bekas tak termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (BS). Jelantah tidak pula termasuk dalam kategori sampah. Kendati belum ada penyebutan spesifik, Rosa mengatakan, jelantah sebagai limbah ha-rus dikelola dan tidak boleh dibuang sembarangan karena mencemari lingkungan.

Risiko kanker

Dari sisi kesehatan, Direktur Kesehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, sejumlah peraturan untuk melindungi keamanan produksi makanan sudah ada “Dalam peraturan tersebut memang tidak secara spesifik tertulis tentangjelantah, tetapi pemilihan bahan makanan harus aman,” kata Imran. Kepala Center for South East Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Institut Pertanian Bogor Nuri An- darwulan berpendapat, belum ada acuan teknis untuk menggunakan minyak goreng yang aman di Indonesia selain standar SNI. Padahal, di negara-negara lain sudah ada regulasi terkait ambang batas maksimal penggunaan, yaitu dengan mengukur total polar material (TPM) atau nilai total material larut air dalam minyak goreng. Makin sering digunakan, nilai TPM makin tinggi dan meningkatkan risiko kanker. Peneliti minyak sawit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, menegaskan, penggunaan jelantah yang tepat seharusnya untuk biodiesel dan bukan digunakan kembali sebagai bahan baku industri makanan. “Jelantah itu untuk \’dimakan\’ mesin, bukan \’dimakan\’ manusia,” ujar Maxensius.