Para Pihak Ingatkan Lagi Program Biodiesel Rawan Ekspansi Lahan Sawit

| News
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Mongabay.co.id | Minggu, 11 Juli 2021

Para Pihak Ingatkan Lagi Program Biodiesel Rawan Ekspansi Lahan Sawit

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bulan lalu juga menyoroti potensi ekspansi lahan dengan program biodiesel yang akan berdampak pada lingkungan dan sosial. Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, beberapa kali mengingatkan soal pembukaan lahan kebun sawit yang menimbulkan emisi selain perambahan hutan itu sendiri. Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia dan Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), menilai, kebijakan pemerintah soal biodiesel reaktif menghadapi kebijakan Uni Eropa yang menolak sawit karena dinilai tak berkelanjutan. Institute for Essential Services Reform menyarankan, antara lain, pemerintah mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi. Dengan meningkatkan target campuran setiap tahun begitu agresif, berisiko jadi aset terdampar (stranded asset). Pemerintah perlu membuat kriteria jelas dan transparan untuk melihat dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program biofuel. Program biofuel mestinya menguntungkan sektor-sektor ini. Saat menerima kunjungan Alok Sharma, Presiden Conference of Parties 26 (COP 26) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) akhir Mei lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan beberapa strategi kementerian ini mendukung komitmen Indonesia mencapai target nationally determined contribution (NDC). Antara lain, mandatori biodiesel fuel (biofuel), co-firing PLTU, pemanfaatan refuse derived fuel (RDF) dan penggantian pembangkit listrik tenaga diesel dengan energi terbarukan. Strategi pertama, mandatori biodiesel, menjadi sorotan beberapa lembaga karena rawan memicu ekspansi lahan sawit hanya untuk memenuhi kebutuhan biodiesel yang terus meningkat setiap tahun.

Di Malang, misal, Bupati Malang Muhammad Sanusi beberapa waktu lalu menyampaikan rencana investasi pabrik biofuel yang membutuhkan kebun sawit seluas 50 hektar. Sejak 2012, Malang sudah punya 200 hektar sawit. Ricky Amukti, Manajer Riset Traction Energy Asia, beberapa kali mengingatkan soal pembukaan lahan kebun sawit yang menimbulkan emisi selain perambahan hutan itu sendiri. Secara operasional biodiesel dari sawit juga mengemisi karena penggunaan bahan-bahan kimia di pabrik dan limbah cair yang mengandung gas metana lebih berbahaya dari karbondioksida. Pabrik sawit yang gunakan gas metana, katanya, menimbulkan emisi berkali lipat dari emisi biodiesel. Saat sawit panen, distribusi hasil panen juga menimbulkan emisi lain. Dia bilang, peta jalan biodiesel masih terbatas pada kuota campuran. Kalau ini terus dinaikkan dari saat ini B30 jadi B100, berpotensi memicu deforestasi dan kontradiksi karena jadi tak ramah lingkungan. Argumen mengurangi impor bahan bakar juga dia nilai tak efektif, dengan kata lain saat impor berkurang pemerintah tetap menanggung subsidi untuk biodiesel. Kalau tetap akan mengembangkan biodiesel, Ricky usul libatkan petani swadaya dalam rantai pasok pengembangan biodiesel. “Petani yang diberi insentif agar produktivitas meningkat dan risiko pembukaan lahan baru bisa ditekan.” Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bulan lalu juga menyoroti potensi ekspansi lahan dengan program biodiesel yang akan berdampak pada lingkungan dan sosial. Risiko akan kecil kalau ada kebijakan mengurangi ekspor CPO untuk keperluan dalam negeri. Faktanya, ekspor terus meningkat, sementara produktivitas hanya naik 0,34% per tahun. “Karena itu, peningkatan permintaan biofuel seperti yang direncanakan pemerintah diprediksi berakhir dengan penambahan 4-6 juta hektar lahan kebun sawit pada 2024,” kata Julius Christian, peneliti IESR. Data KESDM, penggunaan bahan bakar cair di Indonesia sebagian besar untuk transportasi. “Sepuluh tahun terakhir meningkat dari 50 ke 70% lebih,” katanya. Memang ada potensi biofuel menggantikan bahan bakar untuk industri, pertanian atau pertambangan karena masih gunakan bahan bakar minyak. Menurut IESR, tren penggunaan menurun dari tahun ke tahun.

Selain itu, kalau aktivitas industri mengarah pada pembangunan rendah karbon, penggunaan bahan bakar juga akan menurun. “Ada kemungkinan permintaan bahan bakar cair tak akan meningkat signifikan, dan tak jauh beda dengan kapasitas kilang minyak yang ada sekarang.” Bicara produksi biofuel, catatan Institute for Essential Services Reform (IESR), memperlihatkan, secara global terus meningkat. Pada 2017, produksi global biofuel 138 juta liter, naik dari hanya 18 juta liter pada 2000. Sebagian besar biofuel dari bahan (feedstock) yang berkompetisi dengan pangan seperti bioethanol dari tebu, jagung dan biodiesel dari sawit. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, mengatakan, bahan-bahan ini tak bisa sepenuhnya menggantikan bahan bakar minyak karena perbedaan karakteristik. Persaingannya, dengan bahan pangan menimbulkan pertanyaan dari sisi keberlanjutan. Di Indonesia, sejak inisiasi biodiesel pada 2006, hanya pada 2019 penggunaan mencapai target. Selama enam tahun terakhir, anggaran pendukung biodiesel mencapai Rp58,2 miliar. Mulanya subsidi hanya untuk public service obligation (PSO), pada 2018 non PSO juga terima. Subsidi ini mendapat kritik dari KPK karena dinilai tak sejalan dengan UU Perkebunan. Saat pandemi, anggaran Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit defisit. Pemerintah lantas memberikan subsidi pemulihan ekonomi nasional (PEN) sampai Rp2,78 triliun. Awal tahun ini, seiring kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil) dan minyak yang masih rendah muncul perhitungan subsidi Rp30 triliun lagi. “Ini menunjukkan, feed stock seperti CPO akan menjadi isu, berkaitan dengan subsidinya,” kata Fabby, beberapa waktu lalu. Dengan kata lain, kesuksesan program biodiesel saat ini karena banyak insentif dan subsidi yang diterima BPDPKS.

Ada subsidi untuk penggunaan biodiesel, insentif fiskal untuk industri biofuel dan insentif bagi penghasil sawit dengan perkiraan mencapai Rp19,6 miliar per tahun. Lantas bagaimana masa depan biofuel? Bagaimana menghindari stranded asset karena program biofuel? IESR menyarankan, pertama, pemerintah mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi. Dengan meningkatkan target campuran setiap tahun begitu agresif, kata Julius, berisiko jadi aset terdampar (stranded asset). Kedua, pemerintah perlu membuat kriteria jelas dan transparan untuk melihat dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari program biofuel. Program biofuel mestinya menguntungkan sektor-sektor ini. Pemerintah bisa mengadopsi kriteria pada Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan menambah kriteria lain untuk memastikan feedstock dan industri berkelanjutan. Ketiga, diversifikasi feedstock yang akan menguntungkan lingkungan, tak mengancam lahan, dan lebih berkelanjutan secara ekonomi. Selain itu, perlu mempertimbangkan gunakan tanaman bukan pangan seperti nyamplung, kemiri, sunan, dan malapari dan perlu kajian lanjutan soal kelayakan. Keempat, menguatkan dukungan kebijakan insentif untuk pengembangan biofuel dari generasi kedua atau turunannya. Skema insentif ini, juga bisa dikembangkan dan berkelanjutan misal dengan memberikan insentif bagi petani swadaya agar bisa meningkatkan produktivitas mereka.

Kebijakan reaktif?

Djoko Siswanto, Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan, tujuan utama dari pengembangan biodiesel mulanya untuk mengurangi impor bahan bakar solar. “Dengan B30 sudah cukup untuk mengurangi impor,” katanya. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi 23% pada 2025 memang salah satu mengandalkan biodiesel. Karena itu, memang dibuat sejumlah regulasi dan insentif pendukung baik lewat APBN dan dana ekspor CPO yang dikumpulkan BPDPKS. Saat ini, kata Djoko, pemerintah membangun pabrik katalis untuk katalisator biofuel agar bisa meproduksi bahan bakar dari sawit. Rencana ini, menghadapi tantangan harga jual produk yang masih lebih mahal dari bahan bakar fosil. “Kalau skala besar bisa,” katanya. Tatang Hernas Soerawidjaja, Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia dan Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), menilai, kebijakan pemerintah soal biodiesel reaktif menghadapi kebijakan Uni Eropa yang menolak sawit karena dinilai tak berkelanjutan. “Terus menerus bergantung pada sawit adalah indikator ketidakberlanjutan,” katanya. Menurut dia perlu mempertimbangkan efektivitas biaya dalam mengembangan biodiesel. Menanam sawit yang kelak hanya untuk keperluan energi juga bukan pilihan bijak. Andriah Feby Misnah, Direktur Bioenergi KESDM, mengatakan, pada 2020 target produksi 8 juta kilo liter biofuel sudah terpenuhi. Penggunaan mencapai 8,4 juta kilo liter. Dalam grand strategy national (GSN), pemerintah menyesuaikan target berbeda dengan RUEN. Kalau pada RUEN, target produksi 13,5 juta kiloliter, GSN menurunkan 15% menjadi sekitar 11,6 juta kiloliter dengan pertimbangan ada intervensi kebijakan mobil listrik. Saat ini, kata Feby, kebutuhan solar mencapai 33 juta kiloliter per tahun, penggunaan bensin untuk transportasi masih 50% impor. “Kalau mau mengejar ketahanan energi dengan produksi bensin harus produksi 15 juta kiloliter,” katanya.

Sementara itu, penggunaan kendaraan listrik untuk transportasi juga dilakukan untuk mengurangi impor bensin. Target mobil listrik, katanya, menyasar pengguna bensin karena itu biodiesel masih punya peluang cukup besar beberapa tahun ke depan. “Peluang biofuel masih cukup besar meski kita juga kombinasi dengan teknologi lain,” katanya. Teknologi lain yang dimaksud Feby adalah green diesel dan green gasoline yang target pada 2040 dalam GSN mencapai 2 juta kiloliter. Menurut Feby, pengembangan biodiesel memang dengan pertimbangan keekonomian. Biodiesel, dinilai lebih ekonomis daripada green diesel. Biodiesel, katanya, sudah ada pendanaan untuk pemberian insentif. Namun dia juga membenarkan kalau saat ini belum ada indikator biodiesel berkelanjutan. “Agak sulit. Verifikasi data butuh biaya cukup mahal.” Meskipun begitu, katanya, pemerintah tetap membahas aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk masuk dalam Indonesia Biofuel Sustainable Indicators (IBSI) yang rencana terbit tahun depan. “Kita coba berlakukan voluntary based, mana yang bisa jalan dan bisa dipenuhi industri. Jangan sampai indikator keberlanjutan tak bisa diterapkan, produksi biodiesel tak sesuai volume yang dibutuhkan.”

 

https://www.mongabay.co.id/2021/07/11/para-pihak-ingatkan-lagi-program-biodiesel-rawan-ekspansi-lahan-sawit/

 

Infosawit.com | Selasa, 13 Juli 2021

Mengenal Biofuel Generasi Kedua dari Limbah Sawit

Cellulosic Ethanol, biofuel generasi kedua bisa menjadi salah satu solusi ketersediaan bahan bakar nabati ramah lingkungan di masa mendatang, hanya saja pengembangannya butuh dukungan pemerintah. Bahan bakar nabati berasal perkebunan kelapa sawit ternyata bisa dikembangkan tidak hanya menjadi biodiesel saja, ini lantaran perkembangan teknologi kian pesat. Lewat teknologi biofuel generasi kedua, bahan baku dari perkebunan kelapa sawit bahkan bisa diubah menjadi bioethanol yang bisa dicampur dengan bensin, dan pula mampu diubah menjadi greendiesel. Diungkapkan peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT), Tenny Kristiana, sejak 2016 di Indonesia tercatat tidak ada produksi dan konsumsi bahan bakar bioetanol, walaupun pemerintah telah mendorong pemanfaatan bioetanol dengan target pencampuran sebesar 2% (E2) di beberapa kota di Indonesia. Dalam perkembangannya menunjukkan, justru konsumsi bensin di Indonesia selama periode tahun 2010-2019 terus meningkat hingga melebihi konsumsi solar di tahun 2015 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 48%. Untuk memenuhi permintaan bahan bakar bensin, Indonesia diprediksi akan terus meningkatkan impor BBM dan dalam penelitian yang dilakukan ICCT, memproyeksikan bahwa permintaan BBM dan impor akan terus mengalami peningkatan kedepannya.  “Padahal sebenarnya Indonesia memiliki bahan baku yang melimpah untuk Cellulosic Ethanol yang bisa di campur (blanding) dengan bensin dan bisa mengurangi impor bensin nasional,” katanya dalam sebuah webinar yang dihadiri InfoSAWIT, akhir Maret 2021 lalu. Tenny menjelaskan, bahan bakar nabati generansi kedua ini tercatat menggunakan teknologi maju dibanding proses etanol konvensional, dimana bahan baku yang biasa digunakan adalah biomasa selulosa seperti residu pertanian, termasuk perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Dengan luasnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia, industri cellulosic ethanol diharapkan bisa memanfaatkan kelebihan residu sawit yang diproduksi dari industri minyak sawit di Indonesia. Dalam studi ICCT, tutur Tenny, sebelumnya mengevaluasi residu dari proses pengolahan kelapa sawit dan residu di kebun kelapa sawit serta penggunaannya di Indonesia.

 

https://www.infosawit.com/news/11041/mengenal-biofuel-generasi-kedua-dari-limbah-sawit

 

CNBCIndonesia.com | Senin, 12 Juli 2021

Exxon, BP, Shell Cs Ngerem Investasi, Pertamina Ngegas!

Ketidakpastian permintaan pada energi akibat pandemi Covid-19 dan arah transisi energi dunia ke Energi Baru Terbarukan membuat perusahaan minyak dan gas (migas) dunia seperti Exxon Mobil, Shell, dan BP menahan pengeluaran investasinya meski harga minyak terkerek naik. Belanja modal (capital expenditure/ capex) perusahaan migas kemungkinan akan meningkat mulai tahun depan karena perusahaan membayar utang dan pemulihan pasca pandemi. Namun demikian, capex akan banyak dialokasikan untuk sektor energi baru terbarukan (EBT), bukan pada hulu migas. “Akan ada lebih banyak capex pada tahun depan, tetapi tidak banyak peningkatan masuk ke hulu migas (produksi migas), melainkan akan masuk ke energi terbarukan,” kata Joyner, analis dari Redburn, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (12/07/2021). Produsen shale oil di Amerika Serikat juga telah berjanji kepada investor bahwa mereka akan mengendalikan pengeluaran dengan ketat pada 2021. Seperti diketahui, harga minyak dalam beberapa pekan terakhir mendekati US$ 78 per barel, menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir karena organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan produsen migas besar lainnya gagal mencapai kesepakatan menaikkan produksi. Kenaikan harga minyak ini diiringi dengan kenaikan harga gas global karena masalah pasokan. Ini akan menjadi pemasukan yang besar bagi perusahaan migas setelah mereka memangkas investasi di tengah pandemi tahun lalu. Berbeda dengan perusahaan migas dunia tersebut, PT Pertamina (Persero), perusahaan migas terbesar RI, justru berani menggenjot investasinya pada tahun ini. Menanggapi dinamika global yang terjadi, Pjs Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman pun angkat bicara. Dia mengatakan, sampai saat ini Pertamina tetap berkomitmen untuk menjalankan investasi dalam rangka pengembangan usaha, serta merealisasikan proyek strategis nasional. “Pertamina tetap berkomitmen untuk menjalankan investasi dalam rangka pengembangan usaha dan juga merealisasikan proyek strategis nasional,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (12/07/2021).

Meski demikian, imbuhnya, monitoring akan terus dilakukan secara ketat melihat dinamika situasi yang tengah terjadi sampai akhir tahun ini. Hal ini dilakukan supaya prioritas investasi bisa mencapai sasaran jangka pendek dan panjang. “Pertamina terus melakukan monitoring ketat terhadap dinamika situasi yang tengah terjadi sampai akhir tahun ini agar prioritas investasi dapat tetap mencapai sasaran jangka pendek dan jangka panjang perusahaan di tengah era transisi energi yang sedang berlangsung,” jelasnya. PT Pertamina (Persero) menargetkan investasi pada 2021 naik dua kali lipat dibandingkan 2020 menjadi US$ 10,7 miliar atau sekitar Rp 153 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) dari US$ 4,7 miliar atau sekitar Rp 67,2 triliun pada 2020 lalu. Fajriyah mengatakan, Pertamina terus berupaya mengoptimalkan perannya sebagai pengelola energi nasional melalui strategi investasi yang tepat di seluruh lini bisnis perusahaan. Di sektor hulu, sejak 2017 Pertamina mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengambil alih 11 Wilayah Kerja Migas terminasi yang sebelumnya dikelola operator lain. Pada Agustus 2021, ketika Blok Rokan resmi dikelola melalui Pertamina Hulu Rokan, maka kontribusi Pertamina Group akan meningkat signifikan terhadap produksi migas nasional. “Langkah ini merupakan upaya perseroan untuk menjaga kedaulatan energi nasional dengan meningkatkan produksi minyak dan gas serta mendukung pemerintah mewujudkan produksi 1 juta barel (per hari),” ungkap Fajriyah, dalam keterangan resmi Pertamina, Rabu (16/06/2021). Di sektor pengolahan, kata Fajriyah, anggaran investasi Pertamina juga ditujukan untuk membangun infrastruktur pengolahan empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan satu Grass Root Refinery (GRR) yang akan terintegrasi dengan kilang petrokimia. Sebagai kelanjutan dari implementasi program biodiesel yang dijalankan sejak 2006, Pertamina juga berkomitmen mengembangkan biofuel atau biodiesel 100% dengan mempercepat penyelesaian proyek biorefinery di tiga lokasi, yakni kilang Cilacap, Dumai dan Plaju untuk memenuhi kebutuhan biodiesel dengan mengolah sumber energi dari kelapa sawit yang melimpah di dalam negeri. Lalu di sektor hilir, Fajriyah menuturkan, Pertamina juga terus mengembangkan infrastruktur penyaluran BBM, LPG, dan Gas. Saat ini, Pertamina sedang menuntaskan 14 lokasi terminal BBM dan empat lokasi terminal LPG di Indonesia Timur.

Untuk mendorong upaya konversi energi bagi pembangkit listrik PLN, Pertamina juga membangun infrastruktur LNG di 56 titik. “Mengantisipasi era transisi energi, Pertamina terus mengembangkan PLTP, PLTS atau PLTGU untuk ketahanan energi nasional,” imbuhnya. Di tengah kerugian yang dialami pada perusahaan migas dunia pada 2020, Pertamina justru mencetak laba bersih sebesar US$ 1,05 miliar atau sekitar Rp 15,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.572 per US$). Pertamina pun akan membagikan dividen sebesar Rp 4 triliun pada tahun ini dari capaian laba bersih 2020 tersebut, sesuai persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Senin, 14 Juni 2021 lalu. Kinerja keuangan positif juga ditunjukkan dengan EBITDA sebesar US$ 7,6 miliar dengan EBITDA Margin 18,3%. Hal ini menunjukkan kondisi keuangan Pertamina aman dan mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global.  “Kinerja 2020 Pertamina tersebut telah mendapatkan persetujuan pemegang saham yang disampaikan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Senin 14 Juni 2021,” ungkap Fajriyah, Senin (14/06/2021). Sementara itu, BP, perusahaan migas asal Inggris, membukukan rugi bersih sebesar US$ 5,7 miliar selama 2020, anjlok signifikan dibandingkan dengan capaian laba bersih sebesar US$ 10 miliar pada 2019, seperti dikutip dari CNBC International, Selasa (02/02/2021). Begitu pun Exxon Mobil, mencatatkan kerugian sebesar US$ 20,1 miliar selama kuartal keempat 2020, menandai kerugian empat kuartal berturut-turut karena raksasa energi itu bergulat dengan dampak pandemi. Chevron pun membukukan kerugian US$ 11 juta pada kuartal keempat 2020, membuat total kerugian selama 12 bulan sepanjang 2020 mencapai US$ 5,54 miliar, dibandingkan pencapaian laba sebesar US$ 2,92 miliar pada 2019.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210712192925-4-260261/exxon-bp-shell-cs-ngerem-investasi-pertamina-ngegas