Kontan.co.id | Kamis, 17 Juni 2021

Punya potensi untuk biodiesel, minyak jelantah justru kerap dioplos di dalam negeri

Indonesia memiliki kekayaan berupa minyak goreng bekas pemakaian atau minyak jelantah yang cukup melimpah. Sayang, minyak jelantah belum bisa dimanfaatkan dengan baik di tanah air. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga menyebut, berdasarkan perkiraan GIMNI, jumlah minyak jelantah di Indonesia saat ini berkisar 18%–22% dari total pemakaian minyak goreng biasa. Jadi, jika pemakaian minyak goreng biasa berkisar 5,8 juta ton per tahun, maka volume minyak jelantah berkisar 1,1 juta ton per tahun. Sumber minyak jelantah sebenarnya bermacam-macam. Ada yang dari bekas pemakaian rumah tangga, hotel, restoran, warung pinggir jalan, hingga pabrik. Banyak orang di Indonesia yang melakukan pembersihan minyak jelantah yang berwarna campuran hitam dan cokelat hingga menjadi berwarna bening. Celakanya, tak sedikit pihak yang mengembalikan minyak jelantah kepada pedagang eceran dan pasar tradisional untuk dijual lagi ke masyarakat. Maklum, konsumsi minyak goreng di Indonesia cukup tinggi, terlebih banyak masyarakat yang gemar makan gorengan. “Minyak ini dipakai oleh pedagang-pedagang makanan pinggir jalan dan juga rumah tangga,” imbuh Sahat, Kamis (17/6). Padahal, minyak jelantah mengandung sejumlah racun yang dapat mengancam keselamatan jiwa seseorang ketika dikonsumsi atau dipakai untuk menggoreng makanan. Alhasil, minyak jelantah jelas-jelas tak layak dijual sebagai produk konsumsi layaknya minyak goreng biasa.

Sahat berujar, tahun 2016 lalu GIMNI sudah membeberkan masalah ini kepada pemerintah. Bahkan, GIMNI juga sempat heran dengan pihak LSM dan Kementerian terkait kesehatan masyarakat yang belum menetapkan sikap dan posisinya terhadap minyak jelantah yang ternyata dikonsumsi sebagian masyarakat Indonesia. “Selain kurang berkenan ditinjau dari segi kesehatan, tidak ada yang menjamin kehalalan produk minyak jelantah ini,” ungkap Sahat. Beruntung, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah melarang peredaran minyak goreng curah eceran di pasar sejak awal tahun 2020. Minyak goreng curah ini rawan disalahgunakan lantaran bahannya bisa saja berasal dari minyak jelantah. Sahat pun menilai, perlu dibuat regulasi yang jelas dan hukuman yang tegas bagi penjual minyak jelantah untuk keperluan konsumsi. Di sisi lain, sebagian minyak jelantah ternyata juga diekspor ke luar negeri. Meski tidak memiliki data resmi, GIMNI menyebut bahwa ekspor minyak jelantah dilakukan dalam volume yang besar. Yang terang, ekspor minyak jelantah tersebut dilakukan oleh eksportir yang bukan berasal dari perusahaan minyak kelapa sawit. Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang menyebut, dalam beberapa tahun terakhir ekspor minyak jelantah dilakukan ke berbagai negara, salah satunya kawasan Eropa yang ternyata punya minat tinggi terhadap komoditas tersebut. “Tujuan penggunaan minyak jelantah oleh mereka adalah untuk bahan baku biodiesel,” tutur dia, kemarin (16/6). Fakta ini cukup mengejutkan. Sebab, di satu sisi Eropa menentang produk minyak kelapa sawit Indonesia sampai memboikotnya. Namun, di sisi lain Eropa justru mengimpor minyak jelantah dari Indonesia yang notabene produk tersebut adalah hasil pemakaian minyak kelapa sawit. Sayangnya, di Indonesia sendiri minyak jelantah belum dimanfaatkan dengan baik, justru malah disalahgunakan oleh sebagian pihak. “Kebanyakan minyak jelantah Indonesia dipakai untuk dioplos dengan minyak goreng dan dijual ke masyarakat, bukan untuk keperluan biodiesel,” tandas Togar.

 

https://industri.kontan.co.id/news/punya-potensi-untuk-biodiesel-minyak-jelantah-justru-kerap-dioplos-di-dalam-negeri

 

Kontan.co.id | Kamis, 17 Juni 2021

Begini kata pengamat soal potensi ekspor minyak jelantah asal Indonesia

Indonesia punya peluang untuk mengoptimalkan ekspor minyak jelantah atau minyak goreng bekas ke luar negeri, khususnya Eropa. Hal ini seiring tingginya minat Eropa terhadap produk tersebut sebagai bahan baku biodiesel. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut, berdasarkan perkiraan GIMNI, jumlah minyak jelantah di Indonesia saat ini berkisar 18%–22% dari total pemakaian minyak goreng biasa. Jadi, jika pemakaian minyak goreng biasa berkisar 5,8 juta ton per tahun, maka volume minyak jelantah berkisar 1,1 juta ton per tahun. Sebagian minyak jelantah tersebut diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa. Sayangnya, GIMNI tidak memiliki data jumlah ekspor minyak jelantah Indonesia. Yang terang, ekspor tersebut dilakukan dalam volume yang besar. Adapun ekspor minyak jelantah dilakukan untuk kebutuhan bahan baku biodiesel, khususnya di Eropa. Minyak jelantah sendiri dipandang sebagai subtitusi dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk bahan baku biodiesel. Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menyampaikan, selain untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, minyak jelantah telah teruji untuk dipakai sebagai bahan bakar biodiesel. Ia pun mencontohkan, tahun 2008 lalu publik Amerika Serikat pernah dikejutkan oleh bus St. Cloud yang bahan bakarnya berasal dari sisa minyak goreng alias minyak jelantah. “Kalau Indonesia bisa ekspor minyak jelantah siap pakai untuk transportasi tentu sangat bagus. Teknologinya sudah memungkinkan untuk mesin yang menggunakan biodiesel dari minyak jelantah,” ungkap dia, Kamis (17/6). Dia menambahkan, sebisa mungkin minyak jelantah asal Indonesia bisa masuk ke negeri tujuan ekspor di luar Uni Eropa dan AS. Beberapa negara seperti India, Pakistan, dan China bisa dilirik mengingat mereka tidak memiliki hambatan dagang setinggi Uni Eropa.

Sementara itu, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berpendapat, apabila memang ekspor minyak jelantah Indonesia ke Eropa benar adanya, maka hal ini menunjukkan sikap mendua negara-negara di Benua Biru tersebut. Pasalnya, di saat yang sama Eropa juga memboikot CPO Indonesia dengan berbagai alasan terkait isu keberlanjutan lingkungan dan sosial. “Tampak sekali bahwa alasan boikot itu bukan benar-benar seperti yang mereka tuduhkan selama ini,” ujar dia, Kamis (17/6). Di sisi lain, dia juga mengaku bahwa peluang ekspor minyak jelantah memang ada. Sebab, harga CPO yang merupakan asal dari minyak jelantah tengah dalam tren menanjak sepanjang tahun 2021. Khudori juga menyebut, ada baiknya dijajaki pula peluang penggunaan minyak jelantah untuk kebutuhan biodiesel di dalam negeri. Hanya saja, hal seperti itu harus benar-benar dikaji secara matang. Ini mengingat suplai CPO di dalam negeri sebagai bahan baku biodiesel masih melimpah. Ditambah lagi, patut dipertimbangkan juga apakah pabrik-pabrik biodiesel yang ada perlu memodifikasi mesin atau tidak agar bisa memproses minyak jelantah. Bhima sepakat bahwa minyak jelantah juga bisa dioptimalkan di dalam negeri untuk diolah menjadi biodiesel. Tak hanya untuk kebutuhan transportasi, melainkan juga pembangkit listrik. Namun, hal ini tentu membutuhkan insentif yang berkaitan dengan konversi teknologi pembuatan biodiesel dari minyak jelantah. “Kalau untuk makanan tidak direkomendasikan karena polemik soal dampak kesehatan, tapi untuk biodiesel tentu minyak jelantah ini sangat cocok,” pungkas dia.

 

https://industri.kontan.co.id/news/begini-kata-pengamat-soal-potensi-ekspor-minyak-jelantah-asal-indonesia