Aprobi sebut beleid baru tarif badan layanan umum BPDPKS untuk pengembangan sawit

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Kamis, 10 Desember 2020

Aprobi sebut beleid baru tarif badan layanan umum BPDPKS untuk pengembangan sawit

Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor dalam siaran pers, Kamis (10/12).  Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas US$ 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor.

Ketua Harian Aprobi, Paulus Tjakrawan berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani. Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya,  Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

https://industri.kontan.co.id/news/aprobi-sebut-beleid-baru-tarif-badan-layanan-umum-bpdpks-untuk-pengembangan-sawit?page=all

Liputan6.com | Kamis, 10 Desember 2020

Pemerintah Ubah Tarif Pungutan Ekspor Sawit, Pengusaha Girang

Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan BPDPKS. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) MP Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor. Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas USD 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kg bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani.

Harga TBS

Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat Manurung menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4430109/pemerintah-ubah-tarif-pungutan-ekspor-sawit-pengusaha-girang

JPNN.com | Kamis, 10 Desember 2020

APROBI Sepakat PMK 191/2020 Bagi Pengembangan Industri Sawit

Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan BPDPKS. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) MP Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, kata dia, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor lewat keterangannya. Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas US$ 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan, pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor. Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi.

Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani. Sementara, Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat Manurung menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. “Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit,” katanya.

https://www.jpnn.com/news/aprobi-sepakat-pmk-1912020-bagi-pengembangan-industri-sawit?page=3

Antaranews.com | Kamis, 10 Desember 2020

Aprobi: PMK 191/2020 perkuat program hilirisasi industri sawit

Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) mendukung komitmen pemerintah dalam Program B30 melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/2020 sebab hal itu akan meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor di Jakarta, Kamis, menyatakan, di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan sehingga tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan,” katanya. Selain itu, tambahnya, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, kata dia, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021. Penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani yang dampaknya, harga CPO menjelang akhir tahun di atas 800 dolar AS per metrik ton, sedangkan harga TBS petani rerata di atas Rp1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram.

Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit, di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” katanya melalui keterangan tertulis. Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan,berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40 sehingga dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujarnya. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi.

https://www.antaranews.com/berita/1888228/aprobi-pmk-191-2020-perkuat-program-hilirisasi-industri-sawit

Jurnas.com | Kamis, 10 Desember 2020

APROBI Sepakat PMK 191/2020 Bagi Pengembangan Industri Sawit

Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), MP Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor. Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas US$ 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor. Ketua Harian APROBI, Paulus Tjakrawan,  berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan.

Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

http://www.jurnas.com/artikel/83651/APROBI-Sepakat-PMK-191-2020-Bagi-Pengembangan-Industri-Sawit/

Agrofarm.com | Kamis, 10 Desember 2020

Perkuat Program Hilir Sawit, APROBI Dukung PMK Nomor sawit191/2020

Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan BPDPKS. MP Tumanggor, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020. Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020. “Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor dalam keterangan resminya, Kamis (10/12/2020). Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas US$ 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kilogram bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram. Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit. “Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor. Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi. Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel. “Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus. Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” kata Gulat. Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi.

Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS. “Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO. Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik. Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor. Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit.

BERITA BIOFUEL

Neraca.co.id | Kamis, 10 Desember 2020

2026, Pertamina Targetkan 10 GW Pembangkit Energi Bersih

PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Power Indonesia, Subholding Power & New, Renewable Energy, menargetkan memiliki pembangkit listrik energi bersih dengan kapasitas terpasang 10 ribu megawatt (MW) atau 10 gigawatt (GW) pada 2026. Untuk mewujudkan targetnya tersebut, Pertamina mengidentifikasi tiga tantangan utama yang perlu dicarikan solusinya bersama-sama seluruh pihak, yaitu komersialisasi, lahan dan pembiayaan investasi. Ernie D Ginting, Director of Strategic Planning and Business Development PPI, mengatakan Pertamina berkomitmen untuk terus meningkatkan kontribusinya dalam mendukung Pemerintah mencapai target NRE dalam bauran energi. Pertama, pengembangan geothermal. Pertamina sebagai pengelola Wilayah Kerja Panas Bumi terbesar di Indonesia akan terus mengupayakan pengembangan geothermal melalui skema IPP (Independent Power Producer). Kedua, pengembangan PLTS. Pertamina juga akan membangun PLTS di area yang memiliki iradiasi matahari yang tinggi dan menjalin kemitraan untuk membangun solar cell manufacture. Menurut Ernie, salah satu isu dalam membangun PLTS adalah persyaratan TKDN sehingga rencana membangun solar cell manufacture, diharapkan akan menurunkan harga jual listrik dari PLTS dan meningkatkan TKDN tersebut. Ketiga, pengembangan biofuel. Pertamina juga mendukung pemerintah untuk memproduksi  biodiesel, bahkan lebih dari B30 dan menuju B100 melalui green refinery dan CPO processing. “Kami juga akan membangun battery manufacturing dengan partnership  bersama battery technology provider dan BUMN lain. Kami akan gunakan distribusi Pertamina yang sangat ekstensif ini untuk membangun battery swapping and charging infrastruktur mengingat ke depannya EV akan bertumbuh,” kata Ernie.  Ernie pun menjelaskan, Pertamina juga mengembangkan DME untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG, yang 70% di antaranya berasal dari impor. “Ini adalah beberapa inisiatif Pertamina untuk mendukung perkembangan NRE dan mencapai target bauran energi Pemerintah,” jelas Ernie.

Menurut Ernie, aksi strategis ini menunjukkan komitmen yang tinggi dari Pertamina, tidak hanya untuk mengambil bagian tetapi menjadi pemimpin dalam transisi energi di Indonesia.   “Visi kami adalah memimpin transisi energi di Indonesia melalui inovasi energi bersih. Geothermal akan tetap menjadi salah satu pilar dari bisnis kami,” ujar Ernie. Inisiatif yang dilakukan Pertamina dalam pengembangan NRE merupakan jawaban atas pergerakan energi sejak pandemi Covid-19.  Pada gelar Pertamina Energy Webinar 2020 tersebut, Hery Haerudin, Vice President Pertamina Energy Institute, memaparkan pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kebutuhan energi sebesar 16% pada 2020 dan 3% pada 2050 dibanding proyeksi sebelum pandemi dan recovery kebutuhan energi paling cepat terjadi pada 2022. Energi terbarukan menjadi energi primer dengan tingkat kebutuhan paling tinggi dengan porsi mencapai 29% di skenario market driven dan 47% pada skenario green transition pada 2050. Pemanfaatan gas juga meningkat dengan porsi relatif stabil. Di sisi lain, penggunaan batu bara dan minyak mengalami penurunan karena transisi energi, “Untuk mencapai penurunan emisi sesuai skenario diperlukan EBT paling sedikit 16% pada 2030 yang didukung oleh disrupsi energi lainnya, seperti EV, biofuel, dan peningkatan pemanfaatan gas,” ungkap Hery.  Mengingat salah satu tantangan pengembangan NRE adalah pembiayaan, dipandang perlu bagi perusahaan di sektor minyak dan gas bumi untuk melakukan transisi energi yang lebih memperhatikan dampak lingkungan, sosial dan tata kelola (Environment, Social and Governance/ESG). Sementara itu, di tengah meningkatnya tuntutan pasar keuangan terhadap credit rating terkait dengan ESG, Moody’s memasukkan penilaian ESG ke dalam profil perusahaan-perusahaan. Moody’s Investors Service, menilai perusahaan-perusahaan oil dan gas ke dalam peringkat moderate risk dalam Environment dan Social scorecard.  Moody’s melakukan penilaian credit rating terhadap 11 sektor yang terdampak oleh risiko lingkungan, di mana sektor batu bara menjadi sektor yang dianggap berisiko paling tinggi. Untuk sektor yang termasuk ke dalam profil risiko moderat untuk kategori lingkungan dan sosial, Moody’s menilai perusahaan perlu melakukan mitigasi risiko lingkungan dan sosial ini. Hui Ting Sim, Analyst Corporate Finance Group dari Moody’s Investors Service, mengatakan sektor migas terdampak dengan carbon transition risk. “Penting bagi perusahaan mengambil tindakan untuk memitigasi risiko dampak lingkungan agar memperbaiki credit rating score,” kata Hui Ting. Sehingga dalam hal ini, Hui Ting menyatakan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan perusahaan migas untuk memperbaiki credit rating score mereka, di antaranya adalah mendiversifikasi usaha dan menanggulangi risiko transisi energi. “Jika perusahaan tidak melakukan apa-apa, skor risiko lingkungan mereka akan menjadi negative,” pungkas Hui Ting.

https://www.neraca.co.id/article/140030/2026-pertamina-targetkan-10-gw-pembangkit-energi-bersih

Wartaekonomi.co.id | Kamis, 10 Desember 2020

Ketua Komunikasi Gapki: Sederet Alasan Pengembangan Program Biodiesel

Minyak kelapa sawit terus menjadi sumber devisa nonmigas terbesar nasional, bahkan lebih tinggi dari sumbangan devisa ekspor migas, batu bara, maupun sektor pariwisata, yakni mencapai US$19 miliar (atau sekitar Rp275 triliun). Data Gapki mencatat, pada tahun 2019, produksi minyak sawit nasional mencapai 51,8 juta ton dengan sekitar 70 persen dari total tersebut diserap pasar ekspor. Negara-negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia antara lain China, India, 27 negara anggota Uni Eropa, Pakistan, dan sejumlah negara di Afrika. Sisanya, sekitar 30 persen dialokasikan untuk konsumsi domestik baik untuk industri makanan, oleochemical, hingga program biodiesel. Melansir catatan Ketua Bidang Komunikasi Gapki, Tofan Mahdi, terdapat dua alasan utama pemerintah mengembangkan program mandatori biodiesel di Indonesia. Pertama, terkait komitmen negara-negara di dunia untuk mengembangkan energi yang ramah lingkungan. Kedua, memanfaatkan potensi sumber daya alam yang besar, yakni perkebunan kelapa sawit sebagai bahan baku energi terbarukan. Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia memiliki bahan baku yang cukup untuk mengembangkan program bahan bakar nabati. Secara ekonomi, program mandatori biodiesel memberikan manfaat ganda bagi negara. Pertama, mengurangi impor minyak mentah sehingga bisa menekan defisit neraca perdagangan. Kedua, meningkatkan daya serap komoditas minyak di pasar domestik. Program mandatori biodiesel di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 2006 dengan bauran 5 persen minyak sawit (B5) yang kemudian meningkat menjadi B10, B15, B20 mulai tahun 2016, dan menjadi B30 di sepanjang tahun 2020. Data Kementerian ESDM mencatat, implementasi program B20 di tahun 2019 memberikan penghematan anggaran negara mencapai US$3,54 miliar (atau sekitar Rp57,3 triliun), sedangkan melalui implementasi B30 di tahun 2020, penghematan devisa diperkirakan mencapai US$8 miliar (atau sekitar Rp116 triliun). “Dari aspek keberlanjutan, program mandatori biodiesel juga mendukung komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi 26 persen pada 2020 dan sebesar 29 persen pada 2030 sesuai komitmen dalam UNFCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim),” ungkap Tofan Mahdi dalam catatannya.

https://www.wartaekonomi.co.id/read317797/ketua-komunikasi-gapki-sederet-alasan-pengembangan-program-biodiesel

Medcom.id | Kamis, 10 Desember 2020

B-30 Diyakini Ampuh Tekan Defisit Perdagangan

Kelapa sawit telah menjadikan Indonesia sebagai produsen biodiesel atau energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Biodiesel merupakan pencampuran minyak sawit dengan minyak solar yang menghasilkan B-30. Pelaksana tugas Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo mengatakan sejak Januari 2020 Indonesia telah menjadi pionir dalam pemanfaatan campuran biodiesel dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) solar terbesar di dunia. “(B-30) menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pemanfaatan campuran biodiesel dalam BBM solar terbesar di dunia yang mengurangi ketergantungan negara kita pada impor minyak solar sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan sektor migas,” ujar Edi, dikutip dari Mediaindonesia.com, Kamis, 10 Desember 2020. Edi menambahkan, selain dijadikan biodesel, produk kelapa sawit dan turunannya telah diekspor ke seluruh penjuru dunia dan merupakan komoditas penghasil devisa ekspor terbesar Indonesia di luar nonmigas Rata-rata nilai ekspor kelapa sawit per tahun mencapai sebesar USD21,4 miliar. “Atau rata-rata 14,19 persen per tahun dari total ekspor nonmigas Indonesia,” ujar Edi. Edi menambahkan, di masa pandemi covid-19, sektor kelapa sawit terbukti mampu bertahan dan tetap menyumbangkan devisa ekspor yang cukup besar. Hingga Agustus 2020, devisa terkumpul dari ekspor sawit mencapai USD13 miliar di tengah lesunya sektor-sektor penghasil devisa lainnya. “Seperti migas, batu bara, dan pariwisata,” jelasnya. Meski memiliki potensi besar, Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apo­lin) Rapolo Hutabarat mengatakan industri minyak kelapa sawit Indonesia belum digarap dengan serius dalam arti bisnis. Dia mencontohkan, dalam sebuah kelapa sawit memiliki sumber bahan baku POME yang dapat menghasilkan listrik, gas, dan algae. Bahan baku tandan kosong pun bisa menghasilkan listrik dan etanol.

https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/JKRAGa8k-b-30-diyakini-ampuh-tekan-defisit-perdagangan

Kompas.com | Kamis, 10 Desember 2020

Setahun Uji Jalan, Pemerintah Targetkan B40 Terealisasi pada 2022

Pemerintah RI melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM) menargetkan dapat mengimplementasikan program pencampuran biodiesel 40 persen atau B40 pada tahun 2022. Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Andriah Feby Misnah menyatakan, hal ini sesuai dengan peta jalan mandatori biodiesel yang tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015. “Namun saat ini B40 masih dalam tahap pengujian. Rencana kita, realisasinya di 2022,” kata Andriah saat dihubungi Kompas.com belum lama ini. Kini, lanjut Andriah, pihaknya tengah melakukan kajian awal B40 dengan ruang lingkup uji karakteristik bahan baku, uji stabilitas penyimpanan, uji filter bahan bakar, uji presiptasi, dan uji kinerja. Adapun rekomendasi awal kajian untuk campuran B40 ada beberapa opsi, diantaranya mencampur Fatty Acid Methyl Ester (FAME) 40 persen, pencampuran FAME 30 persen dan Distillate Palm Methyl Ester (DPME) 10 persen, serta pencampuran FAME 30 persen dengan Green Diesel 10 persen. Setelah itu, Kasubdit Keteknikan Lingkungan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung mengatakan bahwa tahun depan program B40 bakal memasuki uji jalan jika segala proses awal berjalan lancar. “Kami juga mulai menyesuaikan regulasi mandatori biodiesel dan penetapan regulasi B40,” ucapnya.

https://otomotif.kompas.com/read/2020/12/10/080200115/setahun-uji-jalan-pemerintah-targetkan-b40-terealisasi-pada-2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *