Aprobi Soroti Keseimbangan Harga DMO Sawit untuk Energi

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Senin, 20 Juli 2020

Aprobi Soroti Keseimbangan Harga DMO Sawit untuk Energi

Adanya usulan regulasi kewajiban pasar lokal (domestic market obligation/DMO) pada minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk kebutuhan energi mendapat respons pelaku usaha. Industri biodiesel menyatakan setuju atas wacana tersebut jika pengaturan harga DMO tersebut sesuai. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menyatakan perlu ada keseimbangan antara petani, pabrik CPO, pabrik biodiesel, dan Pertamina jika DMO tersebu mau dijalankan. Pasalnya, penerapan DMO tersebut secara langsung akan mengurangi penerimaan devisa negara dari pengurangan volume ekspor CPO nasional. “Sekarang produksi nasional [CPO] kita 48 juta ton. [Konsumsi] di dalam negeri 18 juta ton, sisanya ekspor. Katakanlah kebutuhan program B100 menjadi 15 juta kiloliter, saya kira tidak masalah sepanjang harga DMO-nya harga pasar internasional,” ujar Ketua Umum Aprobi M.P. Tumanggor kepada Bisnis, Senin (20/7/2020). Tumanggor menilai DMO tersebut akan diterima jika harga yang ditentukan berada dalam kisaran US$600-US$625 per ton. Dengan kata lain, parikan dapat menerima DMO tersebut jika harga yang ditetapkan berkisar antara RM2.557,5-RM2.664,06 per ton. Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (20/7/2020) hingga pukul 9.41 WIB harga CPO untuk kontrak Oktober 2020 di bursa Malaysia masih melanjutkan penguatannya dari perdagangan sebelumnya, naik 1,49 persen ke level 2.653 ringgit per ton. Level itu merupakan posisi tertinggi harga CPO dalam lima bulan terakhir. Adapun, pada pekan lalu harga CPO berhasil membukukan kinerja mingguan terbaik dalam lebih dari tiga tahun.

Harga CPO berhasil naik hingga 8,4 persen pada pekan lalu, kenaikan terbesar sejak November 2016. Reli bertahap itu telah membantu CPO mengurangi kerugian pada tahun ini menjadi hanya terkoreksi 12,85 persen sepanjang tahun berjalan 2020. Di sisi lain, Tumanggor mengusulkan dua solusi lain untuk mengamankan volume CPO untuk kebutuhan Pertamina selain DMO. Pertama, hanya menerapkan DMO tersebut untuk hasil produksi holding perkebunan PT Perkebunan Negara (Persero) atau PTPN. Adapun, saat ini PTPN memiliki kapasitas produksi 2,4 juta ton CPO pertahunnya. Selain itu, PTPN belum memiliki sertifikasi roundtable sustainable palm oil (RSPO). Dengan kata lain, PTPN belum dapat mengekspor hasil produksinya. “BUMN untuk BUMN, swasta untuk swasta. Swasta ini [fokus] cari devisa tugasnya.” Di samping itu, ujarnya, penerapan DMO eksklusif antara PTPN dan Pertamina dapat memudahkan fungsi kontrol. Artinya, pemeriksaan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lebih mudah. Kedua, melimpahkan sebagian biaya produksi kepada konsumen dengan mengenakan pajak konsumsi biodiesel kepada konsumen. Tumanggor berujar penggunaan bahan akar hijau (green diesel) seharusnya lebih mahal karena penggunaan green diesel lebih baik bagi kesehatan masyarakat. Namun demikian, lanjutnya, pengenaan pajak konsumsi biodiesel tersebut diikuti dengan adanya insentif atau subsidi oleh pemerintah terhadap konsumen biodiesel. “Di Eropa umumnya green diesel dibeli lebih mahal oleh konsumen. Karena, konsumen sadar dengan menggunakan green energy, negara makin sehat, sehingga konsumen makin sehat,” ucapnya.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20200720/257/1268512/aprobi-soroti-keseimbangan-harga-dmo-sawit-untuk-energi

Kontan.co.id | Senin, 20 Juli 2020

Ada corona, investasi penambahan kapasitas produksi biodiesel berpotensi terhambat

Realisasi investasi penambahan kapasitas produksi sebanyak 3,5 juta kiloliter dari sejumlah produsen biodiesel eksisting dan pemain baru berpotensi terhambat. Tantangan utama berasal dari terganggunya lalu lintas manusia di tengah situasi pandemi corona (covid-19). Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, instalasi mesin produksi tambahan membutuhkan peran serta tenaga asing dari beberapa negara seperti Malaysia dan negara-negara Eropa. Oleh karenanya, mobilitas tenaga asing yang terganggu di tengah pandemi turut menghambat realisasi penambahan kapasitas produksi. “Jadi banyak pabrik yang sudah siap untuk dibangun, tapi mesinnya tidak bisa dipasang karena kesulitan tenaga ahli dari asing,” kata Paulus ketika dihubungi Kontan.co.id pada Senin (20/7). Sedikit informasi, investasi penambahan kapasitas produksi biodiesel sebesar 3,5 juta kiloliter berasal dari 4 pelaku industri yang terdiri dari produsen biodiesel lama serta pemain baru yang ingin melakukan investasi baru. Penambahan kapasitas produksi tersebut mulanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel yang diperkirakan naik sekitar 3,2 juta kiloliter setelah program bauran bahan bakar biodiesel sebanyak 40% (B40) semula rencananya diterapkan tahun depan. Maklum, kemampuan produksi produsen biodiesel sudah mendekati batas maksimal.

Dari total kapasitas produksi terpasang sebesar 11,6 juta kiloliter biodiesel per tahun, utilisasi produksi produsen biodiesel sudah mencapai 10 jutaan kilolliter per tahun.  Sementara itu, sisa kapasitas yang belum terpakai tidak bisa diutilisasi sepenuhnya lantaran adanya  kebutuhan untuk penghentian produksi untuk keperluan perawatan mesin, pencucian mesin, dan sebagainya. Saat ini, pelaku Aprobi tengah melakukan pendekatan kepada sejumlah instansi berwenang seperti misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Badan Koordinasi Penanaman Modal serta sejumlah instansi lainnya untuk mengupayakan agar tenaga asing yang dibutuhkan untuk keperluan instalasi mesin bisa masuk ke Indonesia. Sembari hal tersebut dilakukan, proses uji lab dan uji keekonomian bahan bakar B40 terus dilakukan dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. “Saya belum tahu berapa target penambahan kapasitas produksi yang bisa terealisasi sampai akhir tahun, karena saat ini sedang diupayakan tidak terhambat,” ujar Paulus.

https://industri.kontan.co.id/news/ada-corona-investasi-penambahan-kapasitas-produksi-biodiesel-berpotensi-terhambat

Bisnis Indonesia | Selasa, 21 Juli 2020

GAGASAN DMO PICU POLEMIK (KELANGSUNGAN INDUSTRI SAWIT)

Gagasan mengenai perlunya penerapan aturan kewajiban pasar lokal atau domestic market obligation (DMO) pada minyak sawit mentah masih menimbulkan polemik tajam di kalangan pelaku usaha. Di satu sisi aturan DMO tersebut diyakini dapat menjamin pasokan bagi kebutuhan di dalam negeri serta menjaga harga yang lebih ekonomis. Namun di lain pihak, aturan tersebut dinilai akan merugikan pihak lain dengan adanya selisih harga antara harga DMO dan harga pasar. Bahkan ada pula yang menilai aturan DMO untuk kebutuhan energi akan mengulang memori buruk sekitar satu dasawarsa silam. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) saat itu mengusulkan adanya DMO untuk produk minyak goreng. Namun, masifnya jumlah pelaku industri oleopangan di dalam negeri membuat pengawasan DMO minyak goreng runyam. “[Saat itu] Ditjen Perpajakan menganggap bahwa [ada praktik] tipu-tipu sebab penerimaan pajak turun karena harga minyak goreng menjadi rendah. Siapa yang mau tanggung jawab [kalau hal yang sama terjadi]? Pertamina? Jangan asal cuap, tanya ke pelaku,” ujar Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga kepada Bisnis, Senin (20/7). Organisasi itu menilai DMO tidak bisa diterapkan pada industri kelapa sawit lantaran jumlahnya yang banyak. Seperti diketahui, salah satu industri yang memiliki DMO untuk bidang energi adalah industri batu bara. Adapun, jumlah pemain industri batu bara hanya sekitar 10 pabrikan, sedangkan pembelinya langsung ke satu entitas, yakni PT Pertamina (Persero). Berbeda di industri kelapa sawit yang pemainnya sangat banyak. Dari data GIMNI saat ini ada sekitar 860 industri perkebunan kelapa sawit, 87 pabrikan refinery, dan 21 pabrikan fatty acid methyl ether (FAME). “Kalau dilihat, kemungkinan [kerja samanya] sudah ribuan. Siapa yang mau mengawasi? Tidak bisa itu diawasi,” kata Sahat. Saat ini pemerintah memiliki badan usaha milik negara (BUMN) di industri perkebunan sawit, yakni holding perkebunan, PT Perkebunan Negara (Persero) atau PTPN. Sahat berpendapat PTPN tidak akan mau mengikuti DMO meski dimiliki negara. Alhasil dia menyarankan agar pemangku kepentingan saat ini menunggu harga minyak bumi kembali naik. Dalam empat bulan terakhir harga komoditas ini telah naik 27,64% ke level US$43,4 per barel. “Tunggu saja, sebentar lagi harga [minyak bumi] akan tetap naik. Tren harga pada Mei-Juli sudah naik. Tunggu saja [dinamika pasar].”

KESEIMBANGAN

Di lain pihak, Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) justru menyatakan perlu ada keseimbangan antara petani, pabrik CPO, pabrik biodiesel, dan Pertamina jika DMO tersebut mau dijalankan. Pasalnya, penerapan DMO akan mengurangi penerimaan devisa negara dari pengurangan volume ekspor CPO nasional. “Sekarang produksi nasional [CPO] kita 48 juta ton. [Konsumsi] di dalam negeri 18 juta ton, sisanya ekspor,” ujar Ketua Umum Aprobi M.P. Tumanggor kepada Bisnis. DMO sawit akan diterima jika harga yang ditentukan berada di kisaran US$600-US$625 per ton. Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin pagi (20/7) harga CPO untuk kontrak Oktober 2020 di bursa Malaysia masih melanjutkan penguatannya dari perdagangan sebelumnya, naik 1,49% ke level 2.653 ringgit per ton. Level itu merupakan posisi tertinggi harga CPO dalam 5 bulan terakhir. Harga CPO berhasil naik hingga 8,4% pada pekan lalu, kenaikan terbesar sejak November 2016. Adapun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) berpendapat DMO pada CPO dapat menimbulkan masalah baru jika dilakukan dalam waktu dekat. Intinya, terjadi selisih harga antara harga DMO dan harga pasar. “Bicara fixed quota itu jangan hanya kuota harga, karena harga ini mekanisme [pasar] komoditas. Kalau ada [harga] yang dikunci, pada sisi yang lain ada yang dalam tanda petik berkorban,” tegas Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakshmi Sidarta. Berdasarkan catatan Gapki, konsumsi CPO di dalam negeri selama Januari-Mei 2020 naik 3,6% secara tahunan menjadi 7,3 juta ton. Namun, volume ekspor anjlok 13,7% menjadi 12,7 juta ton. Alokasi produksi industri kelapa sawit nasional ke pasar global mendominasi sekitar 62,5% dari total produksi per tahunnya.

DEMI SAWIT DOMESTIK

Perlunya mekanisme dan aturan domestic market obligation (DMO) untuk sawit mulai disuarakan berbagai kalangan asosiasi. Termasuk penetapan harga komoditas itu di dalam negeri.

BERITA BIOFUEL

Kompas.com | Senin, 20 Juli 2020

Jajal Mobil Berbahan Bakar Green Diesel D-100, Menperin: Suara Mesin Halus

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui penggunaan bahan bakar green diesel 100 persen atau D-100 bagi kendaraan dapat menghasilkan performa mesin yang baik dan ramah lingkungan. Hal ini dibuktikan ketika menguji coba mobil jenis MPV yang telah mengonsumsi D-100 dari Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) produksi PT Pertamina (Persero). Saat itu, Menperin dan Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjajal ruas jalan Kota Dumai. Setiba di Bandara Pinang Kampai Dumai, rombongan menuju Kilang Minyak Pertamina RU II Dumai. “Ketika saya melakukan kunjungan kerja ke DHDT Refinery Unit (RU) II milik Pertamina di Dumai, saya bersama Bu Dirut menaiki mobil yang sudah diuji dengan bahan bakar D-100, dan hasilnya suara mesin halus. Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen,” kata Agus melalui keterangan tertulisnya, Senin (20/7/2020).

RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Pertamina juga mampu menghasilkan produk RBDPO 100 persen mencapai 1.000 barel per hari di fasilitas existing Kilang Dumai. Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengawal implementasi program bahan bakar nabati (BBN) dalam rangka mengoptimalkan sumber daya alam yang berlimpah di Indonesia, khususnya kelapa sawit, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan para petani. Menperin juga mengapresiasi kepada tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) di bawah pimpinan Prof. Dr. Soebagjo yang telah kerja keras bersama tim Pertamina dengan melakukan rekayasa co-processing minyak sawit, yang membuat Indonesia menjadi salah satu referensi teknologi produksi biofuel dunia. “Keberhasilan ini mewujudkan teknologi produksi green diesel secara stand alone, dengan Katalis Merah Putih made in Indonesia,” ujarnya. Menurut Agus, inovasi tersebut menjadi momen tepat untuk menyampaikan pesan bahwa Indonesia akan mandiri dalam penyediaan energi nasional di tengah maraknya kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan negara importir lainnya. “Indonesia akan mengurangi impor BBM dan menggantinya dengan bahan bakar hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” katanya. Sejalan upaya tersebut, Kementerian Perindustrian akan siap memberikan dukungan berupa kemudahan perizinan industri, penyusunan rancangan SNI Katalis, hingga fasilitasi insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance, dan super deduction tax.

https://money.kompas.com/read/2020/07/20/114648126/jajal-mobil-berbahan-bakar-green-diesel-d-100-menperin-suara-mesin-halus

Liputan6.com | Senin, 20 Juli 2020

Solar D-100 Minyak Sawit Mulai Diuji Coba, Bagaimana Hasilnya?

Pertamina mulai menguji solar Green Diesel atau D-100. Toyota Kijang Innova Reborn menjadi unit yang digunakan untuk menguji solar 100 persen Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) tersebut.  Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengklaim, penggunaan bagi kendaraan dapat menghasilkan performa mesin baik. Bahkan secara subjektif menyebut suara mesin halus, tanpa menyodorkan peringkat kebisingan (DB Meter). “Ketika kami melakukan kunjungan kerja ke DHDT Refinery Unit (RU) II milik Pertamina di Dumai. Kami bersama Dirut Pertamina menaiki mobil yang sudah diuji dengan bahan bakar D-100. Dan hasilnya suara mesin halus. Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen,” terang Agus di Jakarta (18/7). Adapun rute yang dilalui dari Bandara Pinang Kampai Dumai, menuju kilang minyak Pertamina RU II. Untuk diketahui, RBDPO merupakan minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Pertamina mengaku mampu menghasilkan produk itu mencapai 1.000 barel saban hari di fasilitas existing Kilang Dumai. Implementasi program bahan bakar nabati (BBN) menurut pemerintah, sebagai upaya mengoptimalkan sumber daya alam berlimpah di Indonesia. Khususnya kelapa sawit. “Kami ucapkan selamat kepada Pertamina, khususnya Kilang Dumai yang telah membuktikan bahwa kita mampu bikin BBN. Dengan proses riset dimulai sejak 2019, kita sama-sama kerja keras untuk meningkatkan kemampuan anak negeri dan pemerintah bakal selalu mengawal Pertamina,”akunya. D-100 merupakan hasil formulasi tim peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) di bawah pimpinan Prof. Dr. Soebagjo. Mereka kerja bareng tim Pertamina dalam melakukan rekayasa co-processing minyak sawit. Racikan ini membuat Indonesia menjadi salah satu referensi teknologi produksi biofuel dunia. Bahkan ini mewujudkan teknologi produksi green diesel secara stand alone, dengan katalis merah putih.

Berpeluang Jadi Basis Produksi

Hal ini, ungkap Agus, menjadi momen tepat untuk menyampaikan pesan kalau negara bisa mandiri dalam penyediaan energi nasional. Apalagi di tengah maraknya kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia oleh Uni Eropa dan negara importir lain. Bahkan pemerintah berencana mengurangi impor BBM dan menggantinya dengan bahan bakar hijau yang konon lebih ramah lingkungan. Nah, di samping itu, penguasaan lisensi teknologi produksi katalis di dalam negeri dinilai menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Juga mengurangi ketergantungan impor. “Kami sangat mendukung rencana pembangunan pabrik katalis skala besar atau komersial. Apalagi, hampir seluruh produksi bahan kimia membutuhkan bahan itu sebagai jantung proses produksi. Sehingga pasar katalis dalam negeri menjadi sangat potensial,” tandasnya.

Janji Insentif

Selazimnya dukungan Kementerian Perindustrian dalam kegiatan manufaktur. Mereka berjanji memberikan dukungan berupa kemudahan perizinan industri. Lalu penyusunan rancangan SNI katalis. Juga fasilitasi insentif perpajakan seperti tax holiday, tax allowance dan super deduction tax. Menperin mengaku terus berpartisipasi aktif dalam penyusunan kebijakan dan pengembangan teknologi produksi bahan bakar hijau. Termasuk green diesel 100 persen. Untuk diketahui, Pertamina telah menggunakan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) dalam program biodiesel sejak 2006 sampai 2017. Selama 11 tahun, penyerapan pengganti minyak bumi itu mencapai 9,2 juta KL. Pada 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dengan penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada 2019 penyerapan metil ester asam lemak meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL. Dan pada 2020 dipatok meroket menjadi 8,38 juta KL.

https://www.liputan6.com/otomotif/read/4310317/solar-d-100-minyak-sawit-mulai-diuji-coba-bagaimana-hasilnya

Merdeka.com | Senin, 20 Juli 2020

Pemerintah Gandeng Pertamina Kebut Pengembangan Green Fuel

Pemerintah terus mendorong penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Selain mengimplementasikan penggunaan bahan bakar yang berasal dari campuran solar dan Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebanyak 30 persen, Pemerintah juga mendorong pengembangan green fuel berbasis sawit. Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan bahwa, pemerintah saat ini terus mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati. Saat ini sedang dilakukan uji coba untuk B40 dan pengembangan green fuel yang nantinya diharapkan dapat menghasilkan Green Diesel (D100), Green Gasoline (G100) dan Green Jet Avtur (J100) yang berbasis Crude Palm Oil (CPO). “Pemerintah tengah menggandeng PT Pertamina untuk melakukan pengembangan green fuel di kilang-kilang Pertamina yang berada di sentra produksi sawit, baik secara co-processing di kilang-kilang existing, maupun ke depannya dengan pembangunan kilang baru (stand alone) yang didedikasikan u green fuel. Produk green fuel ini mempunyai karakterisitik yang mirip dengan bahan bakar yang berbasis fosil, bahkan untuk beberapa parameter kualitasnya jauh lebih baik dari bahan bakar berbasis fosil fuel,” kata Feby di Jakarta, Senin (20/7). Green diesel atau Diesel Biohydrokarbon, memiliki keunggulan dibanding diesel yang berbasis fosil maupun biodiesel berbasis FAME, di antaranya cetane number yang relatif lebih tinggi, sulfur content yang lebih rendah, oxidation stabilitynya juga lebih baik serta warna yang lebih jernih. Co-processing merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk memproduksi greenfuel melalui proses pengolahan bahan baku minyak nabati dengan minyak bumi secara bersamaan. “Saat ini Pertamina telah berhasil menginjeksikan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) pada unit Distillate Hydrotreating Refinery Unit (DHDT) di beberapa kilang eksisting dengan menggunakan katalis Merah-Putih hasil karya anak bangsa, Tim ITB,” ungkap Feby.

Uji Coba Bertahap

Untuk Refinery Unit II, Dumai, lanjut Feby, Pertamina juga uji coba secara bertahap yang dimulai dari campuran 7,5 persen, 12,5 persen hingga 100 persen. “Kita patut memberikan apresiasi atas keberhasilan Pertamina memproduksi green diesel dengan bahan baku 100 persen CPO,” ujarnya. Harapannya uji coba ini bisa dilanjutkan di RU-RU lainnya dan diimplementasikan secara kontinyu sehingga benar-benar bisa mandiri dalam menghasilkan bahan bakar minyak yang ramah lingkungan dengan bahan baku dari dalam negeri. Dia menambahkan, dalam rangka menyamakan persepsi terhadap produk-produk bahan bakar nabati, saat ini Pemerintah sedang menyusun usulan nomenklatur untuk bahan bakar nabati, yaitu Biodiesel dengan kode B100, Bioetanol (E100), Bensin biohidrokarbon (G100), Diesel biohidrokarbon (D100), avtur biohidrokarbon (J100).

https://m.merdeka.com/uang/pemerintah-gandeng-pertamina-kebut-pengembangan-green-fuel.html

Kontan.co.id | Senin, 20 Juli 2020

Inilah hasil pengujian bahan bakar 100% sawit buatan kilang Dumai Pertamina

Selain mengembangkan biodiesel, PT Pertamina juga berhasil menciptakan bahan bakar 100% nabati / D-100.  Bahan bakar 100% nabati ini menggunakan olahan minyak kelapa sawit.  Bahkan, bahan bakar 100% nabati /D-100 yang dibuat di kilang Pertamina di Dumai ini sudah diujicobakan. “Hasilnya memuaskan,” tulis siaran pers PT Pertamina. Pertamina menyebut bahan bakar 100% nabati /D-100 D-100 memiliki spesifikasi Cetane Number yang sangat tinggi, yaitu hingga 79 sehingga diyakini dapat menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar. Hal ini pun dibuktikan dengan hasil uji performa (road test) yang menunjukkan penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan performa kendaraan dan mengurangi emisi gas buang.  Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif menjelaskan, dalam uji performa tersebut,  bahan bakar yang digunakan adalah campuran D-100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME sebanyak 30%. “Menurut hasil uji lab kami, terukur bahwa angka Cetane Number bahan bakar campuran D-100 pada Dexlite dan FAME yang digunakan tersebut mencapai angka minimal 60 atau lebih tinggi dari bahan bakar diesel yang ada saat ini. Demikian juga hasil uji emisi kendaraan menunjukkan Opacity (kepekatan asap gas buang) turun menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100,” ujarnya.

Uji Performa ini dilakukan pada 14 Juli 2020 sepanjang 200 km menggunakan kendaraan jenis MPV berbahan bakar diesel keluaran 2017. Selain hasil uji kuantitatif yang bagus, pengguna kendaraan pun tetap merasa nyaman selama menggunakan kendaraannya. Diantaranya, tidak ada excessive noise selama berkendara, tarikan mesin lebih bertenaga dan asap buang knalpot tetap bersih meski pada RPM tinggi. Dengan performa yang lebih baik tersebut, akan lebih hemat dari sisi penggunaan BBM maupun perawatan mesin.  Budi menambahkan, hasil Uji Performa yang bagus ini juga membuktikan bahwa D-100 yang diproduksi Perdana di Kilang Dumai Pertamina dapat menjawab kebutuhan green energy di Indonesia. Hal ini karena D-100 dibuat dari 100% bahan nabati turunan dari CPO atau kelapa sawit yang banyak terdapat di Indonesia.  “Ini adalah yang pertama di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang dapat melakukannya. Kami membuktikan bahwa Pertamina berhasil melakukannya di Kilang Dumai, dengan dibantu oleh Katalis Merah Putih yang merupakan kerjasama Research & Technology Center Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Suatu kebanggaan bagi kami dapat menciptakan solusi untuk Indonesia,” tambah Budi. Bahan bakar nabati merupakan salah satu program unggulan Presiden Jokowi. Mulai tahun 2015, pemerintah sudah menggalakkan penggunaan biodiesel, yakni campuran bahan bakar nabati dengan bahan bakar minyak. Tahun 2015, berlaku penerapan biodiesel 15% atau B15 yang menggunakan campuran bahan bakar nabati sebesar 15%. Lalu tahun 2016 digunakan B20. Sedangkan tahun ini sudah berlaku B30. Presiden Jokowi menargetkan Indonesia bisa menghasilkan B100% agar bisa mengurangi impor minyak dan mengoptimalkan industri kelapa sawit domestik.

https://industri.kontan.co.id/news/inilah-hasil-pengujian-bahan-bakar-100-sawit-buatan-kilang-dumai-pertamina?page=all

Thejakartapost.com | Senin, 20 Juli 2020

Pertamina pilots palm oil-based ‘green diesel’ production

State-owned oil giant Pertamina has produced its first-ever batch of palm oil-based “green diesel” in its refinery in Dumai, Riau. Trial production hit 1,000 barrels per day (bpd) from July 2 to 9, said Pertamina in a statement on July 15. The test proves the Dumai oil refinery is technically capable of producing such a biodiesel. “Next, we need to look into an economics study,” said Pertamina president director Nicke Widyawati from Riau via a separate statement on July 16. The green diesel, also known as D100, differs from the commercially available B30 biodiesel in that the former biofuel can be used in conventional vehicles at 100 percent purity.  In comparison, B30 is a mix of 30 percent palm-oil derived Fatty Acid Methyl Ester (FAME) and 70 percent fossil fuel diesel. Conventional vehicles cannot run on pure FAME and industries have complained about machine damages when using B30. Thus, D100 could become a lower emission biodiesel option, Djoko Siswanto, secretary-general of the National Energy Board (DEN), told The Jakarta Post over the weekend. “Both are much better than fossil fuels in terms of emissions,” he noted.

Experimenting with biofuel production is one of Indonesia’s many strategies to cut oil imports, which is a leading contributor to the country’s gaping trade deficit, a key vulnerability for Southeast Asia’s largest economy. Indonesia recorded a US$3.55 billion oil and gas trade deficit during the January-June period this year while non-oil and gas trade booked a surplus of $9.05 billion in the same period, Statistics Indonesia (BPS) data show. Palm oil is the choice crop for the strategy as Indonesia is the world’s top palm oil producer and Riau is the country’s palm oil heartland. Government officials and palm oil players have also touted switching to palm-oil based biofuel as a solution to reduce Indonesia’s carbon emissions in fulfilling the country’s obligation toward the 2016 Paris Climate Agreement. However, the palm oil industry behind Indonesia’s biofuel program has also been linked to deforestation and raging forest fires that environmentalists warn may offset carbon emission reductions from reducing oil consumption. “If the biodiesel industry ends up clearing more forest or peatland, they are basically deceiving us,” said Dwi Saung, a clean energy campaigner with the Indonesian Forum for the Environment (Walhi), on Friday. Pertamina has also tested production of a palm oil-based biogasoline at its Cilacap refinery in Central Java but with limited success, said Budi Santoso Syarif, deputy president director of Pertamina’s refinery subsidiary, PT Kilang Pertamina Internasional. “Processing palm oil into green gasoline has never before been done in the world and Pertamina is the first,” he said on July 16. Pertamina, he continued, was planning to test production of palm oil-based jet fuel (avtur) in its Cilacap refinery later this year.

https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/20/pertamina-pilots-palm-oil-based-green-diesel-production.html

Investor.id | Senin, 20 Juli 2020

Pengembangan D-100 Perlu Dukungan Insentif Pemerintah

Pengembangan bahan bakar nabati D100 yang berhasil diuji coba oleh Pertamina di Kilang Dumai, perlu mendapat dukungan berupa insentif dari pemerintah serta kepastian pasokan bahan bakar CPO melalui kebijakan mekanisme Domestik Market Obligation (DMO). Hal ini agar bahan bakar tersebut memiliki nilai jual yang bisa diterima masyarakat selaku konsumen dan di sisi lain tidak merugikan Pertamina sebagai produsen. Demikian benang merah dari diskusi Hot Economy bertema D100 Jadi Kenyataan yang tayang di Berita Satu TV. Diskusi menghadirkan Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif, Guru Besar ITB Prof Subagyo dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Senin (20/7). “Ke depan, untuk komersialisasi harus ada dukungan stakeholder dan regulator, karena bahan baku sawit bukan dari Pertamina dan ada komoditas yang menggunakan sawit sebagai bahan baku,” kata Budi. Menurut Budi, yang dibutuhkan Pertamina adalah insentif harga bahan baku dan juga kelangsungan pasokan bahan baku berupa CPO. “Mungkin mekanisme nya seperti batubara, yakni ada DMO yang diminta dari produsen CPO,” ujar Budi. Sementara itu, Komaidi juga mengatakan bahwa tanpa insentif maka mustahil D100 ini bisa dikembangkan secara komersial. Menurut perhitungannya, harga CPO lebih mahal Rp 1.500 -2000 per liter dibanding crude, belum lagi katalis dan lainnya dalam proses produksi . “Secara teknis, Pertamina sudah berhasil mengembangkan ini. Itu merukan hal yang luar biasa. Masalah harga adalah kewenangan pemerintah selaku regulator. Pertamina hanya pelaksana saja. Tanpa ada perlakuan pemberian insentif dari pemerintah, kalau diserahka ke mekanisme pasar arau bisnis murni sampai kapanpun D100 tidak akan berkembang,” kata Komaidi

Karena itu,menurut Komaidi, Pemerintah perlu mencari formula sehingga harga bisa diterima pasar, tidak merugikan pelaku usaha dalam hal ini Pertamina dan konsumen tidak perlu membayar terlalu mahal. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah yakni mengurangi komponen pajak. Dia menyebut pada bahan bakar minyak (BBM) terdapat pajak yakni PPN dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Mengingat produk ini ramah lingkungan, maka PBBKB ini bisa dihilangkan bahkan PPN . “Jadi, satu sisi pemerintah berkorban penerimaan pajaknya berkurang tapi di sisi lain mendorong energi lebih ramah lingkungan, karena biar bagaimanapun di negara lain penggunaan energi ramah lingkungan sudah beberapa langkah lebih maju,” paparnya. Sementara itu, Prof Subagyo mengatakan, Indonesia memiliki semua bahan baku yang dibutuhkan untuk menghasilkan green energy. Katalis yang digunakan merupakan hasil penelitian kerja sama antara Pertamina dan ITB yang dilakukan sejak tahun 2010. Bahan baku katalis adalah alumina yang juga banyak terdapat di Indonesia. “Tapi, katalis hanyalah komponen kecil dari pembentukan produk ini,” ujarnya. Pengembangan D100 ini ditaksir akan menyerap 30 juta ton minyak sawit yang diharakan mampu menurunkan impor migas. Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menggunakan FAME untuk program biodiesel sejak tahun 2006 dan hingga tahun 2017, selama 11 tahun, penyerapan FAME mencapai 9,2 juta KL. Pada tahun 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dimana penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada tahun 2019, penyerapan FAME meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL dan tahun 2020 ditargetkan meningkat menjadi 8,38 juta KL. Implementasi program B20 dan B30 di tahun 2019 telah menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun dan tahun 2020, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.

https://investor.id/business/pengembangan-d100-perlu-dukungan-insentif-pemerintah

CNBCIndonesia.com | Senin, 20 Juli 2020

Biar Gak Salah, Ini Bedanya B30 & D100 yang Diuji Pertamina

PT Pertamina (Persero) baru saja melakukan uji performa (road test) menggunakan D-100. Lalu apa beda antara B30 dan D100? Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif mencoba menerangkan perbedaan dua jenis produk ini. Ia menjelaskan D100 adalah singkatan dari diesel solar yang berasal dari 100% bahan nabati. Sementara B30 adalah biosolar yang merupakan campuran antara 30% fatty acid methyl ester (FAME) dan 70% solar. Bedanya pada penerapannya, yang sekarang ini ada di SPBU, B30 itu dicampur dahulu di terminal-terminal BBM Pertamina. Sementara D100 adalah sawit yang sudah dibersihkan dari getah, bau, dan lainnya menghasilkan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) diolah di kilang sehingga menghasilkan D100. “Jadi itu bedanya pada penerapannya,” ungkap Syarif dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (Senin, 20/07/2020). Lebih lanjut ia menerangkan berbedaan dari B100 dan D100. Menurutnya keduanya sama-sama dari sawit, namun utuk B100 menggunakan FAME. D100 berbahan minyak sawit, namun dioperasikan di kilang minyak Pertamina. “FAME mengandung oksigen dan ikatannya rangkap sehingga masih mengandung air, kemampuan 30% di industri mobil,” paparnya. Sementara untuk D100 ini lebih ramah lingkungan dan kandungan oksigennya kecil, sehingga tidak menimbulkan air. “Ramah lingkungan karena gas karbondioksida yang dilepaskan lebih sedikit dari B100 tau FAME,” jelasnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional, untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia. Langkah ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan mendayagunakan sumber daya alam domestik untuk membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional. “Pertamina menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah dan semua pihak agar Pertamina terus mengembangkan green energy seperti B30 dan B50 serta D-100. Pertamina telah menyelesaikan penyiapan kilang dan katalis merah putih, yang nantinya akan dilanjutkan dengan kajian keekonomian” ujar Nicke di sela-sela kunjungan ke fasilitas pengolahan RBDPO di Kilang Dumai, Rabu (15/07/2020) dikutip dari keterangan resmi.

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200720164220-37-174073/biar-gak-salah-ini-bedanya-b30-d100-yang-diuji-pertamina

Detik.com | Senin, 20 Juli 2020

Solar D-100 dari Sawit Diklaim Punya Performa dan Emisi Lebih Baik

Pertamina telah menguji bahan bakar nabati dalam bentuk D-100, bahan bakar solar yang menggunakan 100% bahan nabati. Setelah diuji, bahan bakar solar dengan 100% bahan nabati itu menghasilkan performa yang baik untuk kendaraan. Bahan bakar D-100 yang diproduksi Pertamina memiliki spesifikasi Cetane Number yang sangat tinggi, yaitu hingga 79. Hal itu diyakini dapat menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar. Angka tersebut didapatkan dari pengujian dengan hasil uji performa (road test). Hasilnya menunjukkan, penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan performa kendaraan dan mengurangi emisi gas buang. Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif menjelaskan, dalam uji performa tersebut, bahan bakar yang digunakan adalah campuran D-100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME sebanyak 30%. “Menurut hasil uji lab kami, terukur bahwa angka Cetane Number bahan bakar campuran D-100 pada Dexlite dan FAME yang digunakan tersebut mencapai angka minimal 60 atau lebih tinggi dari bahan bakar diesel yang ada saat ini. Demikian juga hasil uji emisi kendaraan menunjukkan Opacity (kepekatan asap gas buang) turun menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100,” ujarnya seperti tertulis dalam siaran persnya.

Uji coba performa bahan bakar itu dilakukan pada 14 Juli 2020 lalu dengan menggunakan MPV diesel keluaran 2017. Uji coba dilakukan sepanjang 200 km. Saat pengujian, pengguna kendaraan disebut tetap merasa nyaman. Di antaranya, tidak ada excessive noise selama berkendara, tarikan mesin lebih bertenaga dan asap buang knalpot tetap bersih meski pada RPM tinggi. Budi menambahkan, hasil Uji Performa yang bagus ini juga membuktikan bahwa D-100 yang diproduksi Perdana di Kilang Dumai Pertamina dapat menjawab kebutuhan green energy di Indonesia. Hal ini karena D-100 dibuat dari 100% bahan nabati turunan dari CPO atau kelapa sawit yang banyak terdapat di Indonesia. Dengan demikian, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo, maka Indonesia dapat mengoptimalkan sumber daya alamnya untuk menciptakan kedaulatan energinya sendiri. “Ini adalah yang pertama di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang dapat melakukannya. Kami membuktikan bahwa Pertamina berhasil melakukannya di Kilang Dumai, dengan dibantu oleh Katalis Merah Putih yang merupakan kerjasama Research & Technology Center Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Suatu kebanggaan bagi kami dapat menciptakan solusi untuk Indonesia,” katanya.

https://oto.detik.com/berita/d-5100731/solar-d-100-dari-sawit-diklaim-punya-performa-dan-emisi-lebih-baik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *