BIAYA MELAR PROGRAM BIOSOLAR

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Majalah.Tempo.co | Senin, 11 Mei 2020

Penurunan harga minyak mentah mengancam program biodiesel. Lebarnya selisih harga bahan bakarnabati dan solar membuat kebutuhan dana untuk pembayaran insentif kepada produsen biodiesel melonjak. BELUM kelar merumuskan aturan organisasi dan tata kerja Dewan Pengarah Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), Kementerian Koordinator Perekonomian ketiban pekerjaan baru yang tak jauh dari urusan persawitan. Anjloknya harga minyak mentah dunia membuat program pencampuran minyak nabati ke dalam solar (biodiesel) yang tengah digalakkan pemerintah menjadi tak lagi ekonomis. “Ini sedang dibahas terus, strategi apa yang harus diambil,” kata Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Selasa, 5 Mei lalu. Pembahasan yang dimaksud Andriah intensif digelar di Kementerian Koordinator Perekonomian sejak akhir April lalu. Sebelumnya, seusai rapat kabinet terbatas pada 21 April lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah terus mencermati pergerakan harga minyak jenis Brent ataupun West Texas Intermediate (WTI). Harga minyak mentah anjlok sejak awal tahun. Pandemi Covid-19 membuat permintaan terhadap minyak makin merosot. Pasokan pun berlimpah hingga tangki-tangki perusahaan minyak tak mampu lagi menyimpan tambahan minyak. Walhasil, harga minyak WTI untuk pengiriman Mei sempat terjun bebas ke angka minus US$ 37,63 per barel dalam perdagangan bursa komoditas berjangka NYMEX pada 20 April lalu.

Hinggajumat, 8 Mei lalu, Bloomberg mencatat minyak mentah Brent diperdagangkan US$ 29,80 per barel untuk pengiriman Juli. Adapun minyak WTI dibanderol US$ 23,91 per barel untuk pengapalanjuni. Tren penurunan harga minyak mentah itu tak hanya berpengaruh terhadap harga minyak dalam negeri, tapi juga pada produk B30 alias bahan bakar campuran 30 persen minyak nabati dan 70 persen solar. “Kami memonitor karena terkait dengan biodiesel 30,” tutur Airlangga. Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi) menilai harga minyak mentah yang nyungsep itu di luar dugaan. Ketua Umum APROBI Master Parulian Tumanggor mengatakan APROBI bersama pemerintah sedang membahas imbasnya, terutama soal aspek pendanaan untuk menutup selisih harga antara solar dan biodiesel fatty acid methyl ester yang terbuat dari minyak sawit. “Ini situasi yangtidak normal,” ujarnya. Pelemahan harga minyak mentah memicu penurunan harga indeks pasar (HIP) solar. Sederhananya, bila harga minyak merosot, harga produk solar akan ikut turun. Padahal harga biofuel belum tentu turun. Berlanjutnya penurunan harga minyak mentah dapat memperbesar selisih harga tersebut. Apalagi jika rupiah terus tekor terhadap dolar Amerika Serikat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan HIP bahan bakar nabati jenis biodiesel April 2020 sebesar Rp 8.019 per liter, turun dari bulan sebelumnya yang senilai Rp 8.933. Penurunan didorong pelemahan harga minyak sawit mentah (CPO). Tapi nilai tersebut belum mencakup ongkos angkut yang diatur tersendiri dalam keputusan Menteri Energi.

Adapun harga gasoil atau minyak diesel rendah sulfur pada Senin, 4 Mei, misalnya, berada di kisaran US$ 0,19 per liter. Dengan asumsi kurs tengah Bank Indonesia Rp 15.009 per dolar Amerika, harga solar setara dengan Rp 2.894 per liter. Ada selisih harga lebih dari Rp 5.000 per liter dari HIP bahan bakar nabati. Selama ini, selisih antara harga solar dan biodiesel tersebut harus ditutup menggunakan dana yang terhimpun di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPD-PKS). Dana ini berasal dari setoran para pelaku usaha perkebunan. Hingga Desember 2019, total penerimaan dana yang dikelola BPDPKS dari pungutan ekspor sawit dan produk turunannya ini mencapai Rp 47,23 triliun. Realisasi penyalurannya mencapai Rp 33,6 triliun, sebesar Rp 29,2 triliun di antaranya untuk insentif biodiesel. Insentif tersebut digulirkan pemerintah untuk mendukung program pencampuran biofuel dengan solar (biosolar). Sebab, harga biodiesel jauh lebih tinggi ketimbang solar. Artinya, makin besar selisih harga, insentif yang dibutuhkan makin banyak. Nah, tren penurunan harga minyak mentah dunia dan solar belakangan dikhawatirkan memperlebar selisih harga tersebut. Kondisi ini memicu kekhawatiran bakal mengancam kecukupan dana di BPDPKS.

Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerindra, Harry Poernomo, menyatakan kondisi sekarang bakal lebih hemat jika program biodiesel dihentikan sementara. “Supaya tidak makin merugi,” ujarnya. Kementerian Energi mencatat, realisasi penyaluran biodiesel pada 2020 berada di bawah target. Pada Januari, misalnya, dari pesanan (purchasing order) sebanyak 789.640 kiloliter, yang terealisasi baru 699.500 kiloliter. Realisasi lebih rendah ketimbang pesanan itu juga terjadi pada Februari dan Maret lalu. Menurut juru bicara PT Pertamina (Persero), Fajriyah Usman, penurunan permintaan biosolar terjadi akibat pandemi Covid-19. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar membuat penggunaan bahan bakar oleh masyarakat turun drastis. Begitu pula konsumsi industri, yang anjlok karena banyak pabrik tidak beroperasi atau beroperasi secara terbatas. Fajriyah mengatakan Pertamina tetap berkomitmen melanjutkan program biodiesel untuk mendorong penggunaan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan. 

Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan menambahkan, saat ini para produsen juga sedang menyesuaikan usaha seiring dengan penurunan volume penjualan solar Pertamina. Penyesuaian yang dimaksud meliputi pengadaan bahan baku, waktu proses, tenaga kerja, hingga transportasi (tanker). Pengusaha berharap kapasitas tersisa bisa diekspor. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Sutijastoto meyakinkan bahwa pelemahan harga minyak mentah dan penurunan permintaan merupakan kondisi sesaat. Ke depan, jika perekonomian kembali normal, ia optimistis pasar minyak meningkat kembali. “Sekarang, dengan dimulainya komitmen penurunan produksi OPEC, harga minyak sudah merangkak ke sekitar US$ 30 per barel,” ucapnya. Sejauh ini, belum ada keputusan dari kantor Kementerian Koordinator Perekonomian mengenai program biodiesel, terutama soal alternatif pendanaan untuk menutup selisih harga. “Masih dalam pembahasan, tapi kuranglebih tidak berubah,” kata Sutijastoto. Adapun APROBI tetap bersemangat kendati pemerintah belum memutuskan nasib pengembangan program biodiesel. Menurut Tumanggor, uji coba skala laboratorium (road test) untuk produk B40 campuran minyak nabati sebanyak 40 persensedang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Pengujian sejak Januari lalu tersebut diharapkan kelar pada pertengahan Juli nanti. Setelah itu, tahap uji jalan sejauh 50 ribu kilometer bakal dimulai dengan target rampung pada akhir Oktober mendatang. “Pandemi Covid-19 membuat road test terganggu. Kami berharap paling lambat September sudah ada hasil,” tuturnya.

https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/160409/penyebab-biaya-program-biodiesel-berpotensi-melonjak