Harga Solar Jatuh, Mandatori B30 Tetap Jalan

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Investor Daily Indonesia | Rabu, 6 Mei 2020

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan mandatori pencampuran biodiesel 30% (B30) tetap berjalan meski harga solar jatuh menyusul anjloknya harga minyak mentah akibat pandemi Covid-19 dan perang harga minyak. Turunnya harga solar memperlebar selisih harga dengan biodiesel. Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Andriah Feby Misnah mengungkapkan, pemerintah tetap berkomitmen menerapakan mandatori B30. Walaupun diakuinya, dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang digunakan untuk menutup selisih harga solar dan biodiesel ada indikasi tidak mencukupi. “Pemerintah masih berkomitmen Program B30 tetap berjalan. Pemerintah sedang berupaya untuk mencari sumber pendanaan lainnya,” kata dia di Jakarta, Selasa (5/5). Dalam menerapkan mandatori B30, pemerintah menyediakan dana untuk menutup seluruh selisih harga solar dan biodiesel. Pasalnya, harga biodiesel cenderung lebih mahal dari solar.

Pada April lalu, Harga Indeks Pasar (HIP) sesuai ketetapan pemerintah yakni sebesar Rp 8.019 per liter belum termasuk ongkos angkut. Sementara rata-rata harga solar sesuai Means of Platts Singapore (MOPS) pada April lalu tercatat turun menjadi US$ 28,33 per barel. Dengan asumsi kurs tengah Bank Indonesia Rp 15.157, harga solar tersebut setara dengan Rp 2.701,13perliter. Sehingga selisih harga keduanya mencapai Rp 5.317,87 per liter. Padahal, di Januari kemarin, selisih harga biodiesel dan solar belum sebesar itu. Harga rata-rata solar pada awal tahun ini sesuai MOPS tercatat masih mencapai US$ 64,03 per barel atau setara Rp 6.104,94 per liter dengan kurs tengah Bank Indonesia di 30 April Rp 15.157. Sementara harga biodiesel relatif stabil, yakni Rp 8.706 per liter. Selisih harga solar dan biodiesel ini hanya sekitar Rp 2.601,06 per liter. Menurut Feby, pemerintah tidak mematok selisih harga yang diganti pemerintah. ‘Tidak ada dipatok selisih harga solar dan biodiesel yang diganti,” ujar dia. Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan relaksana mandatori B30 kepada Kementerian ESDM. Usulan ini diajukan lantaran stok solar perseroan berlebih menyusul turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai dampak pandemi Covid-19 dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tetapi, pemerintah belum menyetujui usulan tersebut. “Kami mengusulkan untuk kami dapat menjual ke pemegang INU (izin usaha niaga umum BBM) adalah BO. Tetapi barangkali ada pertimbangan lain di ESDM, mungkin mekanisme blending dan sebagainya. Namun, kami serahkan kepada ESDM,” kata dia.

Jika pemerintah memberikan relaksasi untuk menjual BO atau solar murni, Nicke menegaskan, pihaknya siap menjalankan mengingat stok solar perseroan cukup banyak. Mengacu data Pertamina, stok solar saat ini mencapai 2,05 juta KL atau cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga 33 hari. Terkait hal ini, Feby mengakui adanya kelebihan stok solar Pertamina tersebut. Karenanya, pemerintah mendorong agar badan usaha membeli solar dari Pertamina. “Kami dorong badan usaha BBM yang mengimpor untuk bisa beli solar Pertamina,” tutur dia.

Serapan Terganggu

Akibat penyebaran Covid-19, pemanfaatan biodiesel di kuartal I tahun ini tidak maksimal. Kementerian ESDM mencatat realisasi volume penyaluran biodiesel pada periode tersebut sebesar 2,17 juta kilo liter (KL) atau 90,4% dari permintaan pembelian (purchase order/PO) 2,4 juta KL. Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Hariyanto mengungkapkan, penurunan permintaan dari penggunaan B30 menjadi penyebab utama melesetnya target realisasi biodiesel yang sudah dicanangkan. “Terjadi penurunan demand dari penggunaan B30 yang secara langsung akan mengurangi penggunaan biodiesel,” ujarnya. Pada Januari, rinci Hariyanto, volume penyaluran biodiesel tercatat sebesar 699,5 ribu KL atau 87,53% dari PO 789,64 ribu KL. Pada Februari, realisasi serapa sempat tumbuh menjadi 756,96 ribu KL atau 94,72% dari PO sebesar 799,3 ribu KL. Berikutnya pada Maret, pemanfaatan biodiesel kembali turun menjadi 713,86 ribu KL atau 89,32% dari PO sebesar 809,95 ribu KL.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, tahun ini serapan biodiesel ditargetkan sebesar 10 juta kiloliter (KL). Tahun depan, serapan biodiesel masih akan stabil yakni sebesar 10,2 juta KL. Selanjutnya, serapan biodiesel mulai naik signifikan menjadi 14,2 juta KL di 2022, 14,6 juta KL di 2023, dan mencapai 17,4 juta KL di 2024. Konsumsi biodiesel terus naik sejak 2017 lalu. Pada 2018, konsumsi biodiesel tercatat sebesar 3,55 juta KL atau meningkat 49% dibandingkan realisasi 2017 sebesar 2,37 juta KL. Peningkatan konsumsi lantaran adanya perluasan insentif biodiesel ke sektor nonsubsidi. Selanjutnya, konsumsi biodiesel melejit menjadi 6,37 juta KL pada tahun lalu,