Harus Kurangi Produksi Biodiesel, Emisi CO2 yang Dihasilkan Lebih Besar Dari BBM

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Pikiran-Rakyat.com | Minggu, 4 Oktober 2020

Harus Kurangi Produksi Biodiesel, Emisi CO2 yang Dihasilkan Lebih Besar Dari BBM

Emisi karbon dioksida (CO2) dari proses produksi biodiesel yang berasal dari kelapa sawit lebih besar ketimbang bahan bakar minyak (BBM) dari fosil. Hal ini disampaikan Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik. Dalam Forum Editorial the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) membahas “Build Back Better: Bangkit dari Krisis dengan Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Kehutanan” secara daring di Jakarta, Sabtu 3 Oktober 2020. Kiki Taufik mengatakan kebijakan reduksi emisi yang sedang dijalankan pemerintah saat ini belum tepat, contohnya saja pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang memakai biofuel. Ia menyebut nilai emisi karbon dioksida dari pembakaran satu liter biodiesel 38 persen lebih kecil dibandingkan dengan nilai emisi dari pembakaran minyak solar. Berdasarkan data Kementerian Energi Sumbe Daya Mineral (ESDM) tahun 2018, implementasi program B20 di tahun 2017 dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) senilai 3,84 juta ton CO2, atau setara penggunaan biofuel 13.392 bus kecil. Namun, menurut dia, nilai emisi jejak karbon atau carbon footprint yang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit ke biodiesel di Indonesia lebih besar dibandingkan bahan bakar fosil, selain koneksi dengan isu HAM di industri sawit.

Untuk memenuhi produksi B100, ia mengatakan membutuhkan produksi 10,58 juta ton crude palm oil (CPO), dan penambahan sekitar 3,78 juta hektare (ha) luas lahan. Taufik mengatakan kebijakan reduksi emisi karbon di Indonesia masih belum tepat. Untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Bekelanjutan (SDG) dan Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah memang mengacu kepada dua titik untuk merendahkan emisi, yakni hutan dan transportasi. Namun, menurut dia, tidaklah tepat untuk memilih biofuel yang berasal dari minyak sawit, juga masih termasuk komoditas yang ekstraktif untuk mendefinisikan apa yang disebut EBT. Dari data Kementerian ESDM tahun 2019, Indonesia memiliki potensi EBT dari tenaga surya sebesar 207,9 Gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru mencapai 0,9 GW. Untuk energi dari tenaga angin, Indonesia memiliki potensi sebesar 60,6 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,076 GW. Diakuinya komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon memanglah bagus namun pengimplementasiannya yang masih harus menjadi perhatian, tutup Kiki Taufik.

https://cirebon.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-04798170/harus-kurangi-produksi-biodiesel-emisi-co2-yang-dihasilkan-lebih-besar-dari-bbm

Gatra.com | Minggu, 4 Oktober 2020

Ekonomi Ramah Lingkungan, Suburkan Investasi, Tren Global

Iklim investasi dan bisnis di Indonesia dinilai belum ramah lingkungan. Pembabatan hutan masih marak terjadi dan penggunaan energi fosil semakin merajalela. Celakanya, kebijakan biodiesel yang selama ini diklaim pemerintah ramah lingkungan, justru berpotensi menggunduli hutan Indonesia. Jika pemerintah menggenjot kebijakan biofuel B-100, maka tambahan Crude Palm Oil (CPO) yang dibutuhkan mencapai 10,58 juta ton. Artinya lahan sawit baru semakin meluas dan hutan semakin menyempit. Dari sisi regulasi, aspek lingkungan malah dianggap menghambat investasi. Hal itu terlihat dari keinginan Pemerintah menghapus beragam peraturan terkait ancaman pengrusakan lingkungan lewat RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam UU tersebut, terlihat ada keingin mengkebiri izin lingkungan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam berusaha. Aturan sapu jagat itu, oleh banyak kalangan, dianggap berpotensi meningkatkan emisi karbon dan perubahan iklim. Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik mengatakan bahwa Omnibus Law dapat melemahkan pengelolaan lingkungan, menghambat pembangunan rendah karbon hingga meningkatkan kebakaran hutan. Bahkan di tengah upaya negara maju menerapkan energi bersih, pemerintah menurutnya malah memberi keleluasaan bagi perusahaan batu bara mengeksploitasi dengan masif hasil tambangnya. “Tidak ada lagi tools yang bisa menjaga supaya perusahaan tidak semena-semana membuka lahan,” kata Kiki dalam temu editor virtual, yang diselenggarakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan World Resources Institute (WRI) Indonesia, pada Sabtu (3/10). Kontradiktif dengan di Indonesia, tren bisnis dan investasi di luar negeri justru semakin ramah lingkungan. Para pemangku kebijakan dan penentu keputusan menyadari risiko terbesar yang dihadapi global saat ini yakni dampak kerusakan lingkungan. Berdasarkan laporan World Economic Forum 2020, persoalan lingkungan menjadi aspek paling penting yang harus diatasi. Tingkat urgensinya lebih tinggi dibandingkan persoalan teknologi, politik dan ekonomi. Senior Manager Forests and Commodities, WRI Indonesia, Andika Putraditama menyatakan semakin banyak perusahaan global yang mengeliminasi kerusakan lingkungan dan deforestasi di dalam bisnisnya. Di 2012 terdapat 135 perusahaan global yang berkomitmen menghilangkan kerusakan lingkungan. Jumlah perusahaan tersebut meningkat di 2018 menjadi 473 perusahaan. Di antaranya adalah perusahaan sawit, kayu dan kertas, kedelai hingga perusahaan peternakan. “Jumlah perusahaan yang berkomitmen di lingkungan hidup, naik,” ujar Andika. Ia mengatakan, meski belum ada implementasi, tetapi keinginan pemerintah menjalankan ekonomi ramah lingkungan sebenarnya sudah terlihat.

Misalnya membuat moratorium izin pembukaan lahan di hutan secara permanen. Selanjutnya ada moratorium izin sawit, Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan dan kebijakan satu peta. Sayangnya, komitmen itu nihil implementasi. Menurut Andika beberapa faktor sulitnya pemerintah menjalankan ekonomi berbasis ramah lingkungan disebabkan sikap di internal kabinet yang terbelah. Program low carbon development and green economy yang diusung Bappenas, ternyata tidak sejalan dengan kebijakan Kementerian Koordinator Perekonomian. Kemenko Ekonomi, terangnya, malah gencar membuka lahan sawah di Kalimantan Tengah hingga Food Estate di Papua. “Pemerintah kita terkenal tidak mempunyai konsekuensi terhadap komitmen lingkungan hidup. Itu yang jadi satu masalah besar,” sambungnya. Di ksempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, CESGA mengatakan investasi ke depan akan memperhitungkan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola usaha. Para investor, trennya, akan memilih perusahaan yang bisnisnya tidak merusak lingkungan. “Perspektif para investor dan para fund manager, kalau saya mau investasi, mau taruh uang, saya harus memperhatikan isu-isu lingkungan,” katanya. Pasalnya investor, terang Riki, mulai menciptakan portofolio investasi yang memperhitungkan risiko perubahan iklim. Banyak lembaga pembiayaan dan perbankan saat ini mulai mempertimbangkan ancaman kerusakan lingkungan dalam pemberian modal investasi. “Sekarang pembiayaan lihat apakah portofolio ini sudah sesuai dengan Paris Agreement,” ujarnya. Sementara Indonesia, menurut Riki, belum beradaptasi dengan investasi berkelanjutan. Padahal untuk jangka panjang, perusahaan yang tidak peduli dengan aspek lingkungan maka akan kesulitan mendapat pendanaan investasi. “Bisa jadi 10-15 tahun lagi, kita justru kesulitan mendapat investasi. Karena tidak memenuhi syarat yang diinginkan oleh para investor tersebut,” katanya. Ia mencontohkan Storebrand Asset Management ASA, investor swasta terbesar Norwegia, sempat membatalkan kucuran dana investasi ke Brasil karena melakukan deforestasi di hutan Amazon. Swiss Bank juga membatalkan pendanaan ke dua negara bagian di Australia karena tidak memenuhi prinsip perubahan iklim. Riki memprediksi, investasi yang berkelanjutan atau green investment akan menjadi tren global. Jika Indonesia tidak ingin kesulitan menggaet investor, sudah saatnya pemerintah dan industri di Indonesia meninggalkan bisnis yang merusak lingkungan. “Kita jangan sampai ketinggalan. Kita jangan lagi kebanyakan mengadu-ngadu antara ekonomi dengan ekologi, investsi dengan lingkungan,” tutupnya.

https://www.gatra.com/detail/news/492019/ekonomi/ekonomi-ramah-lingkungan-suburkan-investasi-tren-global

Pikiran-Rakyat.com | Sabtu, 3 Oktober 2020

Jangan Dibuang! Pertamina dan Pegadaian Buka Peluang Minyak Jelatah Ditukar Emas

Salah satu sampah rumah tangga yaitu minyak jelantah, sekarang bisa ditukarkan dengan tabungan emas. Inovasi ini merupakan hasil kerjasama PT Pertamina (Persero) dan PT Pegadaian (Persero) yang diharapkan bisa menanggulangi permasalahan sampah dan lingkungan, sekaligus juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mendapatkan nilai keekonomian lebih tinggi. Kedua Persero tersebut berkolaborasi dalam program TJSL pengelolaan sampah, yaitu Bank Sampah Pertamina yang merubah minyak jelantah menjadi biodiesel dikombinasikan dengan Bank Sampah Pegadaian yang mengusung program Memilah Sampah Menabung Emas. Corporate Secretary Pertamina Tajudin Noor mengatakan, kerja sama dalam hal pengelolaan Bank Sampah merupakan sinergi antar BUMN yang mengedepankan aspek inklusif dan kolaboratif untuk membangun kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Ia berharap, melalui program ini Pertamina dan Pegadaian dapat berkontribusi mendukung pemerintah pada pencapaian energi bersih dan terjangkau, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab serta pencapaian revitalisasi kemitraan global. “Diharapkan kedepan selain lebih peduli terhadap lingkungan, masyarakat juga semakin sadar bahwa sampah juga memiliki nilai ekonomi, sekaligus kami ingin mengedukasi masyarakat untuk bisa lebih ramah lingkungan dengan mengelola sampah,” kata Tajudin yang dilansir dari laman Pertamina, pada Jumat, 2 Oktober 2020. Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan Bank Sampah yang menjadi binaan Pertamina, telah berhasil mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar biodiesel bahkan telah mendapatkan sertifikasi. Menurutnya, hal ini menjadi peluang untuk mendukung gerakan energi baru terbarukan. “Kolaborasi ini diharapkan akan menarik minat masyarakat untuk mengumpulkan minyak jelantah, terutama ibu-ibu rumah tangga, untuk ditukar dengan tabungan emas,” ujar Fajriyah.

SVP Kemitraan Bina Lingkungan PT Pegadaian Hertin Maulida menyampaikan kerja sama ini diharapkan bisa semakin memaksimalkan potensi pengelolaan Bank Sampah yang dikelola Pertamina maupun PT Pegadaian. “Indonesia adalah negara nomor dua penyumbang sampah terbesar di dunia, karena itu Kita perlu meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat akan sampah. Selain itu sampah juga ternyata bisa bermanfaat secara ekonomi terhadap mereka,” bebernya. Asisten Deputi Bidang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Kementerian BUMN Agus Suharyono mengapresasi kerja sama kedua BUMN ini sebagai bagian pemberdayaan masyarakat. “Sebuah kerja sama yang memang Kami tunggu yang bisa berdampak pada penghasilan masyarakat kecil. Terima kasih banyak kepada Pertamina dan Pegadaian, mudah-mudahan kolaborasi bisa menjadi contoh bagi yang lain untuk sama-sama mengembangkan pola-pola kerjasama seperti ini,” ujarnya. Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Capacity Building Penerima Manfaat Pengelolaan Sampah oleh Masyarakat antara Pertamina dan Pegadaian dilakukan di Hotel Alana Sentul, pada Selasa, 29 September 2020. Penandatangan ini dilakukan VP CSR & SMEPP PT Pertamina Arya Dwi Paramita dan SVP Kemitraan Bina Lingkungan PT Pegadaian Hertin Maulida dan disaksikan, Asisten Deputi Bidang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Kementerian BUMN Agus Suharyono, Corporate Secretary PT Pertamina Tajudin Noor serta Direktur Jaringan Operasi dan Penjualan PT Pegadaian Damar Lastri Setiawan. Selain itu, setelah penandatangan perjanjian kerja sama ini, langkah selanjutnya adalah melakukan Pilot Project di Area Operasi kedua BUMN yaitu di Kota Tarakan dan Yogyakarta.

https://lensapurbalingga.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-21795617/jangan-dibuang-pertamina-dan-pegadaian-buka-peluang-minyak-jelatah-ditukar-emas

Wartaekonomi.co.id | Minggu, 4 Oktober 2020

FSPPB Tuntut Konsistensi Pemerintah untuk Pengembangan EBT

Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menegaskan siap mendukung program pemerintah dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagaimana yang menjadi tugas PT Pertamina (Persero) selaku BUMN energi. Menurut Presiden FSPPB, Arie Gumelar secara teknikal dan infrastruktur, Pertamina mampu melakukan produksi biodiesel yang berkualitas tinggi hingga memasarkannya kepada konsumen.  “Pada prinsipnya kita siap secara teknikal dan infrastruktur untuk mendukung B30 hingga B100 yang dicanangkan pemerintah,” kata Arie pada diskusi Energi Kita yang diselenggarakan oleh Yayasan Ruang Anak Muda secara Virtual, Sabtu (3/10/2020). Pada saat yang sama, Aktivis Energi Muda, Khanif Nasuha meminta konsistensi pemerintah dalam mendorong EBT. Pasalnya Khanif menilai program menggalakkan biodiesel tidak terlepas dari aksi boikot Uni Eropa terhadap CPO nasional. “Jangan sampai program B30 hingga B100 motifnya hanya untuk menyelamatkan para cukong pengusaha industri kelapa sawit,” tutur Khanif. Menurut Khanif, harusnya pemerintah memilki visi yang jauh ke depan atas EBT. Ia menyatakan, EBT bukan hanya sebagai energi yang ramah lingkungan, namun EBT merupakan sumber energi yang cukup banyak dimiliki oleh Indonesia. Sehingga potensi EBT nasional dapat dimanfaatkan secara maksimal hingga mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang notabene sebagian besar didapati dari suplai impor. “Kalau EBT dimaksimalkan, tentu ada multiplier efek atas ekonomi kerakyatan, terutama di sektor pertanian. Yang tak kalah penting, akan ada pengurangan impor BBM dan crude oil,” tutur Khanif.  Karenanya Kanif mendorong sektor EBT dilonggarkan secara regulasi agar potensi yang ada dapat segera dikembangkan untuk mendukung terciptanya kemandirian energi nasional. “Demi kepentingan jangka panjang, perlu stimulus dari pemerintah agat potensi EBT di setiap daerah dapat dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal,” pungkasnya.

https://www.wartaekonomi.co.id/read307227/fsppb-tuntut-konsistensi-pemerintah-untuk-pengembangan-ebt/0

Kompas.com | Minggu, 4 Oktober 2020

Pastikan Program Strategis Berjalan Lancar, Pertamina Bersinergi dengan KPK

Guna memastikan setiap program dan proyek strategis berjalan lancar sesuai koridor hukum, PT Pertamina (Persero) menjalin kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku institusi penegak hukum. Menindaklanjuti kerja sama tersebut, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengunjungi Gedung KPK, Jakarta, pada Jumat (2/10/2020). Ia didampingi Direktur Penunjang Bisnis M. Haryo Yunianto, CEO Commercial & Trading Subholding Mas’ud Khamid, dan CEO Upstream Subholding Budiman Parhusip. Kunjungan diterima langsung oleh Ketua KPK Firli Bahuri beserta jajaran pejabat KPK, di antaranya Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dan Deputi Bidang Pencegahan Pahala Nainggolan. “Kami telah memaparkan seluruh issue strategis yang dihadapi Pertamina, (mulai dari) program strategis dan solusinya hingga dukungan yang kami perlukan dari KPK, agar seluruh program-program strategis ini dapat kami jalankan dengan baik dan sesuai dengan target yang telah dicanangkan oleh Pemerintah,” ujar Nicke. Lebih lanjut, Nicke menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal yang telah disampaikan langsung kepada pihak KPK. Salah satu di antaranya adalah penugasan dan tanggung jawab Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sekaligus sebagai perusahaan minyak dan gas (migas) nasional yang bertanggung jawab dalam penyediaan energi di Indonesia. “Kami menyampaikan issue strategis di bidang hulu migas dan upaya strategis dan berkelanjutan yang dilakukan Pertamina untuk meningkatkan cadangan atau produksi migas,” lanjut Nicke pada sesi konferensi pers. Dalam kesempatan ini, Pertamina juga membahas proyek kilang yang berada dalam proses penambahan kapasitas kilang agar kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi. Nicke menjelaskan bahwa salah satu upaya Pertamina dalam menyiapkan energi baru dan terbarukan untuk menggantikan fossil fuel adalah dengan menjalankan program Biodiesel 30 persen (B30) dan Biodiesel 100 persen (B100).

Selain itu, ada pula kebijakan Domestik Market Obligation terkait volume dan harga batubara. Tujuannya adalah untuk mengembangkan dimetil eter (DME) dan mengurangi impor liquified petroleum gas (LPG). “Ini sangat strategis karena Indonesia memiliki sumber sawit melimpah, sehingga kita harus gunakan dan menjadi salah satu sumber energi andalan bagi Indonesia. Dengan begitu, kami dapat meningkatkan ketahanan energy supply dari Biodiesel secara berkelanjutan dan ekonomis,” kata Nicke. Tidak lupa Nicke menyinggung upaya Pertamina dalam peningkatan distribusi BBM agar dapat menjangkau 77.000 desa di seluruh Indonesia. “Oleh karena itu, kita harus membangun lebih banyak outlet di seluruh desa di Indonesia agar masyarakat bisa menikmati aksesibilitas energi dan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan energi yang terjangkau,” katanya. Terkait sinergi dengan KPK, Nicke menjelaskan bahwa selama ini komunikasi dan koordinasi dengan KPK sudah berjalan baik. Ia mengambil contoh kerja sama dengan Deputi Bidang Pencegahan dalam rangka penyelamatan aset negara yang dikelola Pertamina di seluruh daerah. Sinergi ini selanjutnya akan dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat dan negara. Melalui sinergi ini, Pertamina juga berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara atas aset senilai Rp 9,5 Triliun yang berlokasi di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Kedua aset ini, kata Nicke, akan dimanfaatkan untuk menambah pendapatan daerah dan menyerap tenaga kerja lokal. “Apa yang kami paparkan tadi, Alhamdullilah mendapat respon baik dari jajaran KPK. Kami berharap langkah selanjutnya masuk ke perjanjian yang dapat dikerjasamakan antara Pertamina dan KPK,” tutup Nicke. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, menyambut baik rencana sinergi tersebut. Sebab, baik KPK maupun Pertamina sama-sama mempunyai tugas mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. “Kerja sama ini nanti akan dibahas lebih detail di bawah naungan Deputi Pencegahan. Target kita adalah memastikan bahwa BUMN ini bekerja dengan baik dan tugas KPK juga bisa berjalan,” pungkas Lili.

https://biz.kompas.com/read/2020/10/04/165016228/pastikan-program-strategis-berjalan-lancar-pertamina-bersinergi-dengan-kpk

Infosawit.com | Sabtu, 3 Oktober 2020

Green energy target unlikely to be achieved: IESR (Mandatory use ofB4O biodiesel mix to start next year)

If progress continues as it has, renewable sources will provide 15 percent of the country’s energy mix by 2025, well below the nation’s 23 percent target for that year, according to the Institute for Essential Services Reform (IESR). A recent study by the institute predicted that in such a business-as-usual situation, renewable energy would make up only 23 percent of the country’s energy consumption by 2050. The National General Energy Planning (RUEN) road map stipulates that green energy should make up 31 percent of the mix by that year. The IESR has urged the government to revise the RUEN’s “disproportional” targets. IESR researcher Agus Tampubolon said they were based on incorrect economic assumptions in a statement on Wednesday. The study adds to agrowingbody of evidence that Indonesia’s energy transition is moving too slowly and that without major policy changes, the country will miss its long-term green energy commitments. Regulations stipulate that Indonesia should have reached 17.5 percent renewable energy by 2019, but only 12.36 percent of the country’s energy use that year came from renewable sources. The forecasts highlight the country’s reliance on conventional fossil fuels, reflected in a number of government policies, such as caps on fossil fuel prices and purchase guarantees for coal plants. The National Energy Board (DEN), wruch oversees the RUEN, estimates that Indonesia’s green energy mix, expressed in million tons of oil equivalent (mtoe), was 9.15 percent last year, markedly higher than the 4.4 percent in 2015, when the road map was instated. However, the DEN forecasts that only 21 percent of the country’s energy consumption will be from renewables by 2025. The Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) predicts just 13 percent. “We have many scenarios, but we can’t just put out a new vision,” said DEN policy head Sugeng Mu-jiyanto on Tuesday in defense of the existing targets. The government policy emphasizes the use of bioenergy, particularly palm oil-mixed biodiesel, to meet RUEN targets. This year, the government escalated Indonesia’s mandatory biodiesel blend from 20 percent to 30 percent.

Mandating the use of pure biodiesel (B100) starting in 2030, replacing half of all cars with electric cars by 2050 and connecting half of all urban homes to gas pipes by 2050 would cause renewable sources to make up 40 percent of the country’s energy mix by 2050, exceeding the RUEN target, the IESR study foundr President Joko “Jokowi” Widodo and his ministers have announced grand plans to that effect, starting with the mandatory use of B40 next year, but associations and experts have raised concerns over mounting hurdles. “I think B40 can only start from 2022 onwards because Pertamina and other businessmen have said they need more time to build refineries,” said Indonesian Palm Oil Association (Gapki) secretary-general Togar Sitanggang on Monday at a webinar hosted by Bimasena. The Energy and Mineral Resources Ministry was making “extraordinary efforts” to push renewables in the power industry, said Sutijastoto, the ministry’s renewable energy director general, during Monday’s webinar. He mentioned the drafting of a regulation on green electricity prices and a green energy law that would “level.the playing field” between renewable and nonrenew-able energy industries. In August, the International Energy Agency (IEA) urged the government to make key regulatory reforms to open access to investment in renewables, including by issuing a Presidential Regulation on green energy pricing to enable more privately owned renewable energy companies to enter the domestic market. The IESR study offered a best-case scenario where the government phased out coal-fired power plants, causing the renewables mix to rise to 69 percent by 2050. Under such a scenario, the government would ban the construction of new coal plants starting in 2025, would decommission those over 30 years old and would successfully execute a plan to swap out fossil-fuel power plants with green energy plants. However, the energy ministry unveiled a four-year road map last month to set aside increasing amounts of locally mined coal for coal plants until 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *