Produksi Biofuel Naik di Masa Pandemi, Aprobi : Kami Juga Heran

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Bisnis.com | Jum’at, 30 Oktober 2020

Produksi Biofuel Naik di Masa Pandemi, Aprobi : Kami Juga Heran

Pandemi Covid-19 tidak menghalangi industri biodiesel untuk meningkatkan performa produksi pada tahun ini. Walaupun diramalkan tidak akan mencapai target awal 2020, pabrikan optimistis volume produksi akan lebih tinggi dari tahun lalu. Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mendata volume produksi hingga akhir kuartal III/2020 mencapai 6,4 juta kiloliter. Adapun, realisasi volume produksi per September 2020 merupakan yang terbesar selama pandemi berlangsung atau mencapai 740.295 kiloliter. “Kecil pengurangan [volume produksi akibat pandemi], kami juga heran. Kami kira dengan adanya pandemi itu turun drastis. Paling terjadi penurunan [target produksi] 10 persen,” kata Ketua Umum Aprobi M. P. Tumanggor kepada Bisnis, Jumat (30/10/2020). Aprobi menargetkan volume produksi biodiesel sepanjang 2020 dapat mencapai 9,5 juta kiloliter atau tumbuh sekitar 14 persen secara tahunan. Seperti diketahui, realisasi produksi pada 2019 mencapai 8,3 juta kiloliter. Dengan kata lain, Tumanggor meramalkan produksi biodiesel hingga akhir 2020 hanya akan tumbuh 1,9 persen secara tahunan menjadi sekitar 8,5 juta kiloliter. Adapun produksi biodiesel pada 2021 diramalkan menembus level 10 juta kiloliter. Artinya, Aprobi menilai performa industri biodiesel tahun depan setidaknya dapat tumbuh 16 persen secara tahunan. Tumanggor menilai hal tersebut disebabkan oleh implementasi campuran fatty acid methyl ether (FAME) sebesar 30 persen pada bahan bakar solar atau B30. Selain itu, pemerintah juga akan menguji coba penggunaan B40. “[Target produksi 2021] masih proses perhitungan karena setelah putus [formula B40] ada kebijakan kebijakan dan peraturan baru yang harus ditetapkan,” ucapnya. Tumanggor menyampaikan saat ini pemangku kepentingan sedang menguji formula pencampuran 30 persen FAME dan 10 persen green diesel untuk mencapai campuran bahan nabati 40 persen. Menurutnya, pemerintah akan mencapai konsensus terkait formula B40 pada medio Desember 2020. “Jadi, serapan sawit [oleh] kebutuhan dalam negeri akan meningkat tahun depan,” katanya.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201030/257/1311596/produksi-biofuel-naik-di-masa-pandemi-aprobi-kami-juga-heran

Kontan.co.id | Jum’at, 30 Oktober 2020

Pemerintah berencana terapkan pajak progresif untuk tarif bea keluar CPO

Pemerintah berencana untuk meningkatkan tarif bea keluar minyak sawit atawa crude palm oil (CPO) tahun depan. Ini menjadi peluang pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara saat harga komoditas andalan Indonesia melejit ditambah ekspor yang menggeliat. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tarif bea keluar CPO tahun depan akan menggunakan skema pajak progresif yakni tarif pungutan pajak dengan persentase yang didasarkan pada jumlah atau kuantitas objek pajak dan berdasarkan harga atau nilai objek pajak. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan tarif pajak akan semakin meningkat apabila jumlah objek pajak semakin banyak dan nilai objek pajak mengalami kenaikan. Airlangga menyampaikan, tarif bea keluar secara progresif untuk CPO sekitar US$ 12,5 setiap kenaikan harga US$ 25. Sementara untuk produk turunan CPO yang berbentuk liquid dikenakan US$ 10 per US$ 25 kenaikannya. Menurut Airlangga, CPO masih menjadi mesin ekspor Indonesia. Apalagi pemulihan ekonomi global digadang-gadang sudah berlangsung di 2021. Dus, dia memprediksi nilai ekspor minyak sawit 2021 sebesar US$ 20 miliar. Adapun, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2019 mencapai 36,17 juta ton dengan nilai sebesar US$ 19 miliar. “Di tengah pandemi kita punya komoditas yang punya daya tahan sekaligus daya ungkit. Sektor pertanian ini pertumbuhannya selalu positif, sehingga ini adalah pengungkit pertama untuk memulihkan perekonomian nasional dan ini menjadi komoditas yang hilirisasinya sudah berjalan,” kata Airlangga dalam dialog virtual, Selasa (27/10) lalu.

Namun demikian, rencana kebijakan tersebut belum dibahas oleh otoritas fiskal, sebab masih dikaji di tingkat Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. “Belum dengan kabar itu, dan belum ada pembahasan,” kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat kepada Kontan.co.id, Jumat (30/10). Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan pihaknya setuju dengan rencana pajak progresif CPO. Namun pemerintah harus mempertimbangan secara matang soal dampak kebijakan fiskal tersebut. Sebab, tahun depan ketidakpastian global akibat dampak pandemi masih berlangsung. Sehingga, demand CPO terutama dari China boleh jadi menyusut. “Pengusaha sudah diajak bertemu, tinggal tunggu keputusan dari Kemenkeu. Kalau sudah berjalan, yang jelas harus ada evaluasi berkala dengan pertimbangan dinamika ekonomi,” kata Paulus kepada Kontan.co.id. Di sisi lain, Paulus berharap program biodiesel 30% atau B30 yang digagas oleh pemerintah dapat komitmen berjalan dan terus ditingkatkan. Cara ini bisa menyokong demand CPO dari dalam negeri, alhasil menahan harga minyak kelapa sawit agar tidak jatuh. “Tapi dari sisi pembiayaan harus juga dilihat ketercukupan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar program-program dari pemerintah itu bisa jalan,” ujar Paulus.

https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-berencana-terapkan-pajak-progresif-untuk-tarif-bea-keluar-cpo

Kontan.co.id | Sabtu, 31 Oktober 2020

Mesin ekspor, CPO bakal dikenakan pajak progresif untuk tarif bea keluar tahun depan

Pemerintah berencana untuk meningkatkan tarif bea keluar minyak sawit atawa crude palm oil (CPO) tahun depan. Ini menjadi peluang pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara saat harga komoditas andalan Indonesia melejit ditambah ekspor yang menggeliat. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan tarif bea keluar CPO tahun depan akan menggunakan skema pajak progresif yakni tarif pungutan pajak dengan persentase yang didasarkan pada jumlah atau kuantitas objek pajak dan berdasarkan harga atau nilai objek pajak. Dengan demikian, hal tersebut menyebabkan tarif pajak akan semakin meningkat apabila jumlah objek pajak semakin banyak dan nilai objek pajak mengalami kenaikan. Airlangga menyampaikan, tarif bea keluar secara progresif untuk CPO sekitar US$ 12,5 setiap kenaikan harga US$ 25. Sementara untuk produk turunan CPO yang berbentuk liquid dikenakan US$ 10 per US$ 25 kenaikannya. Menurut Airlangga, CPO masih menjadi mesin ekspor Indonesia. Apalagi pemulihan ekonomi global digadang-gadang sudah berlangsung di 2021. Dus, dia memprediksi nilai ekspor minyak sawit 2021 sebesar US$ 20 miliar. Adapun, data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2019 mencapai 36,17 juta ton dengan nilai sebesar US$ 19 miliar. “Di tengah pandemi kita punya komoditas yang punya daya tahan sekaligus daya ungkit. Sektor pertanian ini pertumbuhannya selalu positif, sehingga ini adalah pengungkit pertama untuk memulihkan perekonomian nasional dan ini menjadi komoditas yang hilirisasinya sudah berjalan,” kata Airlangga dalam dialog virtual, Selasa (27/10) lalu.

Namun demikian, rencana kebijakan tersebut belum dibahas oleh otoritas fiskal, sebab masih dikaji di tingkat Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian. “Belum dengan kabar itu, dan belum ada pembahasan,” kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Syarif Hidayat kepada Kontan.co.id, Jumat (30/10). Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan pihaknya setuju dengan rencana pajak progresif CPO. Namun pemerintah harus mempertimbangan secara matang soal dampak kebijakan fiskal tersebut. Sebab, tahun depan ketidakpastian global akibat dampak pandemi masih berlangsung. Sehingga, demand CPO terutama dari China boleh jadi menyusut. “Pengusaha sudah diajak bertemu, tinggal tunggu keputusan dari Kemenkeu. Kalau sudah berjalan, yang jelas harus ada evaluasi berkala dengan pertimbangan dinamika ekonomi,” kata Paulus kepada Kontan.co.id. Di sisi lain, Paulus berharap program biodiesel 30% atau B30 yang digagas oleh pemerintah dapat komitmen berjalan dan terus ditingkatkan. Cara ini bisa menyokong demand CPO dari dalam negeri, alhasil menahan harga minyak kelapa sawit agar tidak jatuh. “Tapi dari sisi pembiayaan harus juga dilihat ketercukupan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar program-program dari pemerintah itu bisa jalan,” ujar Paulus.

https://newssetup.kontan.co.id/news/mesin-ekspor-cpo-bakal-dikenakan-pajak-progresif-untuk-tarif-bea-keluar-tahun-depan

Banjarmasin Post | Sabtu, 31 Oktober 2020

Pertimbangan Dinamika Ekonomi

KETUA Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aproto), Paulus Tjakfawan mengatakan, pihaknya setuju dengan rencana pajak progresif CPO. Namun pemerintah harus mempeitimbangan secara matang soal dampak kebijakan fiskal tersebut. Sebab, tahun depan ketidakpastian global akibat dampak pandemi masih berlangsung. Sehingga, demand CPO terutama dari Cina boleh jadi menyusut. “Pengusaha sudah diajak bertemu, tinggal tunggu keputusan dari Kemenkeu. Kalau sudah berjalan, yang jelas harus ada evaluasi berkala dengan pertimbangan dinamika ekonomi.” kata Paulus. Di sisi lain, Paulus berharap, program biodiesel 30 persen atau B30 yang digagas oleh pemerintah dapat komitmen berjalan dan terus ditingkatkan. Cara ini bisa menyokong demand CPO dari dalam negeri, alhasil menahan harga minyak kelapa sawit agar tidak jatuh. “Tapi dari sisi pembiayaan harus juga dilihat ketercukupan dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar program-program dari pemerintah itu bisa jalan,” ujar Paulus,

BERITA BIOFUEL

Infosawit.com | Rabu, 28 Oktober 2020

Pemerintah Komit Lanjutkan Program Campuran Biodiesel Sawit 30% (B30)

Pemerintah berkomitmen terus mendukung keberlanjutan pelaksanaan program mandatori biodiesel (B30). Hal ini ditunjukkan dengan penyesuaian pungutan ekspor minyak sawit mentah/crude palm oil (CPO) dan produk turunannya untuk menyokong keberlanjutan program B30 tersebut. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, program B30 harus terus dijalankan dengan tujuan menjaga stabilisasi harga CPO pada level harga minimal US$ 600 per ton untuk menjaga harga tandan buah segar (TBS) petani sawit. “Selain itu juga untuk mempertahankan surplus neraca perdagangan non migas yang sekitar 12%-nya berasal dari ekspor produk sawit dan turunannya,” ujar Menko Airlangga dalam Rapat Koordinasi Komite Pengarah Badan Pelaksana Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), di Jakarta, Selasa (27/10) dalam keterangan tertulis diterima InfoSAWIT. Kemudian, pemerintah juga terus berupaya meningkatkan produksi perkebunan kelapa sawit rakyat dengan mengalokasikan Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk 180 ribu hektare (ha) lahan di 2021. “Target luasan lahan tersebut diikuti kenaikan alokasi dana untuk tiap hektare lahan yang ditetapkan, yaitu Rp 30 juta per ha atau naik Rp 5 juta per ha dari sebelumnya sebesar Rp 25 juta per ha,” ungkap Menko Airlangga. Turut hadir dalam rapat tersebut adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, serta perwakilan dari Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Kementerian ATR/BPN, Kementerian PPN/Bappenas, serta pelaku usaha utama industri kelapa sawit nasional.

https://www.infosawit.com/news/10329/pemerintah-komit-lanjutkan-program-campuran-biodiesel-sawit-30—b30-

Kontan.co.id | Selasa, 27 Oktober 2020

Masih ada tantangan di tengah mencuatnya wacana DMO kelapa sawit

Wacana penerapan domestic market obligation (DMO) kelapa sawit untuk mendukung pengembangan Green Diesel terus mencuat. Namun, masih ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan agar kebijakan tersebut benar-benar membawa manfaat, terutama bagi pelaku usaha. Senior Executive Vice President Business Support PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Arif Budiman mengatakan, isu perlunya kebijakan DMO kelapa sawit berawal dari masalah rantai pasok kelapa sawit itu sendiri. Ia menjelaskan, sebagian produksi biodiesel masih bergantung kepada pasokan minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dari berbagai sumber dengan kualitas yang seringkali tidak memenuhi standar. Karena permintaan dunia atas biodiesel cenderung meningkat, penting untuk memastikan bahwa biodiesel dihasilkan melalui proses yang dapat terlacak dan menggunakan konsep berkelanjutan. “Kalau aturan DMO diterapkan, sebenarnya dapat membantu kepastian penyerapan CPO di dalam negeri, apalagi prospeknya produksi CPO akan meningkat,” ungkap dia dalam webinar, Selasa (27/10). Hanya saja, DMO kelapa sawit jelas bukan kebijakan yang mudah dilaksanakan. Salah satu potensi masalahnya adalah dirugikannya salah satu pihak karena selisih harga antara harga DMO dan harga pasar. Arif bilang, sampai saat ini belum ada regulasi yang memungkinkan produsen kelapa sawit maupun Pertamina untuk memanfaatkan dana pungutan di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ia juga memaparkan, apabila DMO kelapa sawit diterapkan dalam waktu dekat, maka penggunaan dana BPDPKS akan dimasukkan sebagai APBN. Pencatatan penggunaan dana APBN dapat menimbulkan masalah politis dan memakan waktu yang berlarut-larut. “Alhasil diperlukan regulasi baru yang dapat menyederhanakan dan menghindarkan politisasi penggunaan dana BPDPKS untuk keperluan DMO,” jelasnya.

https://industri.kontan.co.id/news/masih-ada-tantangan-di-tengah-mencuatnya-wacana-dmo-kelapa-sawit

Kontan.co.id | Kamis, 29 Oktober 2020

Masih dalam kajian, penerapan B40 ditargetkan terwujud di tahun 2022 mendatang

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan dapat mengimplementasikan B40 atau pencampuran biodiesel dalam bahan bakar solar pada tahun 2022 mendatang. Kasubdit Keteknikan Lingkungan DItjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung mengatakan, salah satu tantangan program B40 yaitu belum tersedianya aturan yang mendukung hal tersebut. Sejauh ini, peta jalan mandatori biodiesel mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015 yang hanya mengatur pencampuran B30 sampai tahun 2025. Kendati demikian, pengembangan B40 terus dilakukan oleh pemerintah. Sepanjang tahun 2020, pemerintah melakukan kajian awal B40 dengan ruang lingkup uji karakteristik bahan baku, uji stabilitas penyimpanan, uji filter bahan bakar, uji presipitasi, dan uji kinerja. “Kajian terhadap insentif B40 juga dilakukan,” kata Effendi saat webinar, Selasa (27/10) lalu. Pemerintah pun mendapat rekomendasi awal hasil kajian untuk campuran B40 dengan menggunakan beberapa opsi. Di antaranya pencampuran Fatty Acid Mehtyl Ester (FAME) 40%, pencampuran FAME 30% + Distillate Palm Methyl Ester (DPME) 10%, dan pencampuran FAME 30% + Green Diesel 10%. Tak hanya itu, pemerintah juga menyusun parameter B100 yang digunakan untuk pencampuran B40.

Di tahun 2021 nanti, lanjut Effendi, pemerintah hendak melakukan uji jalan penggunaan B40. Di samping itu, peningkatan kapasitas industri Bahan Bakar Nabati (BBN) serta konstruksi pembangunan Green Diesel juga dilakukan. “Kami juga mulai menyesuaikan regulasi mandatori biodiesel dan penetapan regulasi B40,” ungkap dia. Nah, baru lah di tahun 2022 nanti diharapkan B40 dapat diberlakukan di seluruh Indonesia. Tentunya hal itu diperlukan kesiapan produsen, infrastruktur, manufaktur, dan pendanaan untuk insentif program B40. Sejauh ini, pemerintah sudah menjalankan program B30. Khusus di tahun 2020, target pemanfaatan B30 tercatat sebesar 9,5 juta kiloliter. Namun, terjadi penyesuaian target menjadi 8,3 juta kiloliter. “Sejauh ini realisasinya sudah sekitar 6 juta kiloliter,” imbuh Effendi. Adapun pada tahun 2021 nanti, target pemanfaatan BBN ditetapkan sebesar 8,9 juta kiloliter dan terus meningkat menjadi 13,9 juta kiloliter di tahun 2025.

https://industri.kontan.co.id/news/masih-dalam-kajian-penerapan-b40-ditargetkan-terwujud-di-tahun-2022-mendatang

Infosawit.com | Sabtu, 31 Oktober 2020

Kemerdekaan Biodiesel Sawit

Hegemoni asing yang begitu melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, tak bisa dianggap sebelah mata. Berbagai propaganda asing yang selama ratusan tahun berkuasa, secara nyata telah berhasil menguasai kehidupan bangsa Indonesia dalam tirani kekuasaan penjajahan. Devide et ampera (Memecah belah dan menguasai) adalah strategi jitu yang selalu digunakan bangsa asing menguasai kekayaan dan sumber daya alam hingga dewasa ini. Dahulu, bangsa penjajah berhasil membawa benih kelapa sawit sebagai cikal bakal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kesesuaian lahan dan cuaca wilayah tropis, menjadi acuan Belanda memilih Indonesia sebagai tempat pengembangan perkebunan kelapa sawit. Lantaran wilayah tropis selalu cukup memiliki curah hujan dan terik sinar matahari yang dibutuhkan kelapa sawit untuk bertumbuh. Selain kesesuaian agroklimat, perkebunan kelapa sawit juga membutuhkan tenaga kerja manusia yang lumayan besar, untuk mengelola perkebunan kelapa sawit. Jaman penjajahan itulah, banyak intimidasi dan penyiksaan bagi pekerja perkebunan kelapa sawit. Sifat penjajah yang rakus dan tamak tersebut, telah banyak merampas kehidupan dan nyawa rakyat Indonesia. Namun, perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan selama 75 tahun, telah banyak membawa perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia. Kini perkebunan kelapa sawit telah memiliki pesona tersendiri bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Dari terbukanya lapangan pekerjaan di pedesaan, membangun daerah pelosok, hingga kontribusi besar bagi pendapatan devisa negara.

Selama 75 Tahun merdeka, bangsa Indonesia melakukan banyak pembangunan, termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan ini, berpijak kepada prinsip dan kriteria berkelanjutan yang berlaku universal. Dimana, perkebunan kelapa sawit nasional selalu berdasarkan pro people, pro profit dan pro planet. Keberpihakan kepada pembangunan manusia, lingkungan dan usaha yang menguntungkan inila, yang kemudian menjadi pilar pembangunan perkebunan kelapa sawit nasional sehingga kian membesar. Lantaran, manusia yang hidup di planet bumi, selalu membutuhkan minyak makan yang efektif dan efisien guna kehidupan sehari-hari. Sebagai minyak makanan yang sehari-hari digunakan memasak, minyak goreng sawit menjadi primadona minyak makanan dunia. Lantaran, harga jual minyak goreng sawit paling kompetitif dibandingkan minyak goreng yang berasal dari minyak nabati lainnya. Keunggulan ini, merupakan bagian dari keunggulan perkebunan kelapa sawit yang memiliki produktivitas hasil panen, jauh lebih unggul dibandingkan minyak nabati dari perkebunan lainnya. Secara komparatif advantage, produktivitas tinggi hasil panen dan harga paling kompetitif, telah menjadikan minyak sawit sebagai primadona minyak nabati dunia. Berbagai persaingan bisnis yang terjadi di dunia, secara bertanggung jawab, telah mampu dijawab minyak sawit sebagai satu-satunya minyak nabati yang memiliki komparatif advantage paling tinggi. Keunggulan minyak sawit juga menyisakan persaingan yang terus terjadi, lantaran tak mampu bersaing secara sehat, maka berbagai isu-isu negatif terus berhembus dari negara-negara produsen minyak nabati lainnya. Terutama negara tujuan ekspor dari minyak sawit, yang juga sebagai produsen dari minyak nabati lainnya seperti minyak soybean (kacang kedelai) dan minyak rapak (rapeseed).

https://www.infosawit.com/news/10344/kemerdekaan-biodiesel-sawit

Kontan.co.id | Jum’at, 30 Oktober 2020

Penerapan B40 ditargetkan bisa terwujud di tahun 2022 nanti

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan dapat mengimplementasikan B40 atau pencampuran biodiesel dalam bahan bakar solar pada tahun 2022 mendatang. Kasubdit Keteknikan Lingkungan DItjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung mengatakan, salah satu tantangan program B40 yaitu belum tersedianya aturan yang mendukung hal tersebut. Sejauh ini, peta jalan mandatori biodiesel mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015 yang hanya mengatur pencampuran B30 sampai tahun 2025. Kendati demikian, pengembangan B40 terus dilakukan oleh pemerintah. Sepanjang tahun 2020, pemerintah melakukan kajian awal B40 dengan ruang lingkup uji karakteristik bahan baku, uji stabilitas penyimpanan, uji filter bahan bakar, uji presipitasi, dan uji kinerja. “Kajian terhadap insentif B40 juga dilakukan,” kata Effendi saat webinar, Selasa (27/10) lalu. Pemerintah pun mendapat rekomendasi awal hasil kajian untuk campuran B40 dengan menggunakan beberapa opsi. Di antaranya pencampuran Fatty Acid Mehtyl Ester (FAME) 40%, pencampuran FAME 30% + Distillate Palm Methyl Ester (DPME) 10%, dan pencampuran FAME 30% + Green Diesel 10%. Tak hanya itu, pemerintah juga menyusun parameter B100 yang digunakan untuk pencampuran B40.

Di tahun 2021 nanti, lanjut Effendi, pemerintah hendak melakukan uji jalan penggunaan B40. Di samping itu, peningkatan kapasitas industri Bahan Bakar Nabati (BBN) serta konstruksi pembangunan Green Diesel juga dilakukan. “Kami juga mulai menyesuaikan regulasi mandatori biodiesel dan penetapan regulasi B40,” ungkap dia. Nah, baru lah di tahun 2022 nanti diharapkan B40 dapat diberlakukan di seluruh Indonesia. Tentunya hal itu diperlukan kesiapan produsen, infrastruktur, manufaktur, dan pendanaan untuk insentif program B40. Sejauh ini, pemerintah sudah menjalankan program B30. Khusus di tahun 2020, target pemanfaatan B30 tercatat sebesar 9,5 juta kiloliter. Namun, terjadi penyesuaian target menjadi 8,3 juta kiloliter. “Sejauh ini realisasinya sudah sekitar 6 juta kiloliter,” imbuh Effendi. Adapun pada tahun 2021 nanti, target pemanfaatan BBN ditetapkan sebesar 8,9 juta kiloliter dan terus meningkat menjadi 13,9 juta kiloliter di tahun 2025.

https://industri.kontan.co.id/news/penerapan-b40-ditargetkan-bisa-terwujud-di-tahun-2022-nanti-1

Infosawit.com | Sabtu, 31 Oktober 2020

Dampak Program B30 Dan B100 Siapa Menikmati?

Program percepatan biodiesel juga dimaksudkan untuk memberi sinyal kepada Uni Eropa dan negara negara lain bahwa industri minyak sawit Indonesia akan lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor seiring berjalannya waktu dengan cara memacu permintaan CPO domestik, yang didukung oleh 250 juta populasi dan 16,5 juta kendaraan  penumpang roda 4 pada akhir tahun 2018, diantaranya adalah bermesin diesel. Mobil bus sekitar 2,5 juta dan mobil barang 7,5 juta kendaraan yang mayoritas bermesin diesel, ditambah mesin-mesin PLN, Pabrik dan berbagai genset. Seluruhnya memerlukan sekitar 17-18 juta ton minyak biodiesel/tahun. Program ini sangat baik, apalagi tujuannya antara lain menjaga kestabilan harga CPO, artinya petani sawit ikut menikmatinya, akan tetapi sejauh mana secara ekonomi menguntungkan rakyat dan petani? Siapa sebenarnya yang menikmatinya lebih besar? mari kita bahas lebih detil. Harga biosolar disubsidi oleh APBN sampai tingkat 20% dan BPDP-KS 10%. Sumber dana BPDP-KS adalah pajak ekspor minyak kelapa sawit, yang berasal dari para pengusaha dan petani kelapa sawit, akan tetapi yang menikmatinya adalah para pemilik kendaraan bermesin diesel. Artinya para petani kelapa sawit rakyat ikut mensubsidi para pemilik kendaraan tersebut. Siapa saja pemasok CPO untuk B30 bersubsidi ini berasal ? Ternyata ada 10 perusahaan minyak kelapa sawit perusahaan besar diantaranya merupakan perusahaan asing yakni PT Sinarmas Bioenergi, PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Kutai Refinery Nusantara, PT Cemerlang Energi Perkasa, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT SMART Tbk, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Tunas Baru Lampung, PT Batara Elok Semesta Terpadu, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Dari 10 perusahaan diatas tidak ada 1 perusahaan BUMN pun yang masuk, padahal jika perusahaan PTPN yang dijadikan partner “seluruh uang” dibayarkan akan beredar di dalam negeri. Perusahaan perkebunan Nasional (pribumi) juga tidak terlihat, padahal jika perusahaan swasta milik pribumi semua uangnya akan tetap berada di dalam negeri.

https://www.infosawit.com/news/10338/-tulisan-2–dampak-program-b30-dan-b100-siapa-menikmati-

CNBCIndonesia.com | Sabtu, 31 Oktober 2020

Inovasi Green Energy, Pertamina Jawab Tantangan Masa Depan

PT Pertamina (Persero) terus memastikan pengembangan program Green Energy berjalan sesuai visi pemerintah untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian energi nasional sekaligus menjawab tantangan transisi energi ke depan. Berbagai inovasi dengan memanfaatkan teknologi terkini dilakukan Pertamina dalam pemanfaatan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang berlimpah di Indonesia. Pada Juli 2020, Pertamina sukses melakukan uji coba produksi Green Diesel (D100) di Kilang Dumai sebesar 1.000 barel. Sebelumnya di Maret 2020, juga telah dilakukan ujicoba co-processing Green Gasoline di Kilang Cilacap. Uji coba juga akan berlanjut untuk co-processing Green Avtur yang ditargetkan pada akhir 2020. Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, produk Green Diesel D100 yang 100% dan Green Gasoline/Green Avtur diolah dari bahan dasar kelapa sawit. Produk ini pun direaksikan menggunakan katalis Merah Putih yang diproduksi Research & Technology Center (RTC) Pertamina bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). “Setelah uji coba produk Green Diesel D100 di kilang Dumai berikut Green Fuel atau Green Avtur di Kilang Cilacap, Pertamina juga bersinergi dengan BUMN lain dan juga juga Perguruan Tinggi akan membangun pabrik katalis yang akan mendorong TKDN di industri migas dan kimia sehingga akan mengurangi defisit transaksi negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasiona,” ungkapnya.

Hal ini pun dijalankan pararel dengan project pembangunan Standalone Biorefinery di Cilacap maupun di Plaju. “Pertamina tetap berkomitmen untuk selalu berinovasi dalam mencipatakan produk yang lebih berkualitas dan ramah lingkungan,” ujarnya. Tak hanya itu, Subholding Power and New & Renewable Energy Pertamina yaitu PT Pertamina Power Indonesia (PPI) juga memiliki portofolio proyek Energi Bersih yang beragam. Salah satunya yang sedang dalam proses konstruksi adalah Proyek Independent Power Producer (IPP) LNG-to-Power Jawa-1 dengan kapasitas 1760 Mega Watt (MW), yang berlokasi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Sampai dengan Januari 2020, progress proyek telah mencapai 87,5% dan ditargetkan mencapai COD pada tahun 2021. Selain IPP Jawa-1, beberapa proyek yang telah dioperasikan PPI antara lain Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 4 MW, berlokasi di area Kilang LNG Badak, Kalimantan Timur, kemudian Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), yang berasal dari pengolahan limbah kelapa sawit dengan kapasitas 2.4 MW yang merupakan hasil kerjasama antara PPI dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, serta Proyek Pengoperasian dan Perawatan (O&M) PLTBg milik PTPN II di area Kwala Sawit dan Pagar Merbau, Sumatera Utara, dengan total kapasitas 2 MW. PPI juga melakukan pengembangan PLTS di SPBU-SPBU Pertamina sebagai bagian dari optimalisasi bauran energi di wilayah operasi Pertamina. Untuk tahun 2020 ini masih ditargetkan sebanyak 50 SPBU dan akan bertambah ke depannya. “Sampai saat ini, PPI telah membuktikan kompetensi dan kapabilitasnya sebagai penyedia Energi Bersih. Ke depan, perusahaan akan terus memperluas komitmen pengembangan Energi Bersih, baik untuk kebutuhan di luar Pertamina, maupun di internal di lingkungan Pertamina sendiri,” ujar Fajriyah. Dalam mengantisipasi trend energi masa depan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sendiri mendukung sepenuhnya langkah Pertamina untuk melakukan transformasi ke Green Energy. Menurutnya, transformasi energi sudah diimplementasikan Pertamina melalui program B30, serta percepatan program gasifikasi batu bara menjadi metanol dan dimethyl ether (DME) yang bisa mengurangi impor LPG yang sudah mencapai enam juta metrik. Selain itu, Erick Thohir dan Kementerian BUMN terus mendorong transformasi BUMN bidang energi, termasuk mendorong terwujudnya kerja sama Pertamina dengan beberapa BUMN dalam pengembangan bisnis baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang dipercaya sebagai sumber energi di masa depan.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20201031205059-4-198368/inovasi-green-energy-pertamina-jawab-tantangan-masa-depan

Kontan.co.id | Rabu, 28 Oktober 2020

Kementerian ESDM: Kebutuhan kelapa sawit sebagai bahan baku green diesel terus naik

Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) masih melakukan kajian terhadap potensi penerapan Domestic Market Obligation (DMO) kelapa sawit. Kajian ini juga dibarengi dengan upaya pengembangan Green Diesel D100 yang terus digencarkan pemerintah. Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Effendi Manurung mengatakan, kebutuhan akan kelapa sawit sebagai bahan baku green diesel akan terus meningkat di masa mendatang. Ditambah lagi, pemerintah juga telah menjalankan mandatori biodiesel 30% atau B30 yang akan berkembang menjadi B40 maupun B50 dalam waktu dekat sehingga butuh lebih banyak kelapa sawit untuk dimanfaatkan. “Maka diperlukan kebijakan DMO kelapa sawit untuk memenuhi konsumsi dalam negeri,” ujar dia dalam webinar, Selasa (27/10). Pemerintah pun masih terus melakukan kajian terhadap peluang penerapan DMO tersebut. Ini mengingat kebijakan DMO kelapa sawit harus diperhitungkan dengan tepat karena dampaknya akan mengurangi devisa negara dari ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Effendi juga menekankan pentingnya proyeksi kebutuhan CPO untuk ketahanan energi. Dalam hal ini, pemerintah berkeinginan agar upaya-upaya pemenuhan kewajiban DMO kelapa sawit harus tetap meminimalisasi potensi pembukaan lahan baru yang tentu akan mempengaruhi lingkungan hidup. Pemerintah juga masih membutuhkan analisis rantai pasok untuk menjaga kestabilan harga CPO sebelum kebijakan DMO kelapa sawit diberlakukan. “Diperlukan perhitungan agar tidak ada pihak yang dirugikan melalui penerapan DMO,” imbuh Effendi.

Untuk itu, harus ada penetapan range harga DMO kelapa sawit batas bawah dan batas atas yang dapat diterima oleh semua pihak, baik itu produsen green diesel, produsen kelapa sawit, bahkan hingga ke level petani kelapa sawit. Effendi tidak menjelaskan secara pasti kapan kebijakan DMO kelapa sawit ini akan dilaksanakan oleh pemerintah. Di saat bersamaan, pihak Kementerian ESDM sendiri saat ini juga masih gencar melakukan kajian terhadap pengembangan Green Diesel atau D100 di Indonesia. Salah satunya melalui pengembangan infrastruktur pengolahan green diesel atau proyek Green Refinery yang dijalankan PT Pertamina (Persero) dan pembangunan Katalis Merah Putih. “Kami juga sedang mengkaji pengembangan mandatori biodiesel beyond B30 dengan memanfaatakan D100,” tukas Effendi. Kementerian ESDM pun telah melaksanakan uji jalan B30D10 melalui badan litbang dengan jarak 10.000 kilometer yang ditargetkan selesai pada Desember 2020. Uji jalan ini turut melibatkan stakeholder terkait di bidang otomotif atau kendaraan bermotor. Effendi mengaku, bahwa penerapan D100 secara komprehensif tidak mudah dilakukan dalam waktu dekat. Selain belum ada dukungan regulasi terkait rencana implementasi Green Diesel, nilai investasi untuk membangun infrastruktur seperti Green Refinery pun tergolong tinggi. Insentif di sektor Green Diesel juga masih terbatas. Sejauh ini, insentif yang ada masih sangat bergantung pada ekspor produk CPO dan turunannya. Di samping itu, dibutuhkan pula penyesuaian dan peningkatan fasilitas produksi dan penyaluran Green Diesel. “Keterlibatan swasta untuk membangun Green Refinery dengan kapasitas besar perlu didorong,” tandas dia.

https://industri.kontan.co.id/news/kementerian-esdm-kebutuhan-kelapa-sawit-sebagai-bahan-baku-green-diesel-terus-naik

Banjarmasin Post | Selasa, 27 Oktober 2020

Program Target Nasional

MESKI nilai ekpor year of year (yoy) produk sawit mengalami penurunan akibat pandemi, peran pemerintah dalam menetapkan bauran energi melalui program B30 (biodisel 30 persen blended solar) mampu meningkatkan konsumsi dalam negeri iebih dari 3 persen dari tahun sebelumnya. Dikatakannya, dukungan nyata bagi petani mandiri sangat diharapkan melalui program-program pemerintah melalui Dinas Perkebunan dalam rangka meningkatkan produktivitas tanaman Kelapa Sawit di tingkat petani yang saat ini hanya mencapai di kisaran 15 ton per hektare per tahun. Target nasional yang ditetapkan pemerintah agar sawit rakyat mampu mencapai 24 ton per hektare per tahun perlu diupayakan agar kesejahteraan petani meningat dan perekonomian daerah juga akan menerima dampak positif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *