IJB Net Temui Gubernur Olly, Tertarik Kembangkan Investasi Biofuel

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Tribunnews.com | Rabu, 22 Juli 2020

IJB Net Temui Gubernur Olly, Tertarik Kembangkan Investasi Biofuel

Indonesian-Japan Bussiness Network (IJB Net) menemui Gubernur Sulut, Olly Dondokambey di Kantor Gubernur Sulut, Selasa (21/7/2020) IJB Net adalah diaspora Indonesia di Jepang yang berpartisipasi membantu ekspor dan pengembangan produk-produk Indonesia untuk masuk ke pasar Jepang. Termasuk mengadopsi teknologi dan impor produk Jepang yang belum ada di Indonesia, juga membantu kolaborasi antar perusahaan kedua negara. ”Dan tentu IJB-NET siap bersinergi pemerintah Sulut dalam segala bidang,” kata Gubernur. Menurut Olly, Pemprov mengapresiasi dukungan IJB Net karena telah ada pihak investor yang tertarik dalam pengembangan kelapa menjadi biofuel yang kelanjutannya bisa menjadi bahan bakar. “Lokasi tahap awal akan dilaksanakan di Bitung untuk pembuatan Biofuel. Dan tim IJB Net bersama dinas perkebunan dan pihak akademisi sudah melakukan survey. Karena mereka akan mencari lahan 10 hektare, ” ungkapnya. Olly menjelaskan tak cuma itu IJB Net juga akan melihat semua potensi di Kabupaten/Kota di Sulut.

Misalnya Bolaang Mongondow Raya mereka akan melihat potensi yang ada di sana. Selanjutnya Mitra, potensi apa yang akan dikembangkan sehingga bisa mendatangkan investor. ”Bahkan Tomohon mereka akan hadirkan satu kampung Jepang. Jadi mulai dari rumah, makanan hingga orang-orang akan bicara bahasa Jepang, jadi betul-betul kampung Jepang. Kehadiran IJB Net karena mampu menfasilitasi datangnya investor di Sulut,” tutup Olly. Pemprov Sulut langsung bergerak cepat menindaklanjuti pertemuan tersebut dengan menggelar rapat di Ruang WOC Kantor Gubernur yang dipimpin Asisten II Praseno Hadi dengan mengumpulkan beberapa SKPD seperti dinas perkebunan, dinas pertanian dan peternakan, dinas perikanan, akademisi untuk membicarakan pengembangan potensi Sulut yang difasilitasi IJB Net.

https://manado.tribunnews.com/2020/07/22/ijb-net-temui-gubernur-olly-tertarik-kembangkan-investasi-biofuel

CNNIndonesia.com | Rabu, 22 Juli 2020

Produsen Mobil Diesel RI Sebut Tak Terlibat Uji D-100

Produsen mobil bermesin diesel di dalam negeri mengaku belum dilibatkan terlibat dalam pengembangan bahan bakar jenis baru racikan Pertamina yakni D-100. Para produsen mengatakan mesti mempelajari lebih dalam mengenai dampak D-100 bila akhirnya dijual umum di dalam negeri. D-100 merupakan bahan bakar nabati (BBN) yang dibuat Pertamina dari produksi Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO). RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diolah sehingga kehilangan getah, kotoran, dan bau. Pertamina mampu menghasilkan RBDPO 100 persen hingga 1.000 barel per hari di fasilitas kilang di Dumai, Riau. Berdasarkan keterangan Pertamina, D-100 dibuat dari campuran 20 persen D-100, 50 persen Dexlite, dan 30 persen FAME (fatty acid methyl ester). Pertamina telah pengujian D-100 pada Toyota Innova produksi 2017 bermesin diesel pada 14 Juli sejauh 300 km. Pertamina mengklaim Cetane Number pada D-100 minimal di angka 60, itu lebih tinggi dari Dexlite sebesar 51. Selain itu dikatakan juga dari hasil uji emisi kendaraan, kepekatan asap gas buang turun 1,7 persen. Dony Hermawan, Head of PR & CSR pemegang merek Mitsubishi Fuso, Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB), mengatakan pihaknya masih memantau pengujian D-100 hingga 100 persen. Sejauh ini KTB dikatakan belum terlibat. “Kalau ditanya pendapat KTB, secara internal kami memang belum ada diskusi lebih jauh me ngenai hal ini,” kata Dony melalui pesan singkat, Rabu (22/7). “Jadi update ya seperti apa, jadi kami akan monitor terus issue ini, kami kaji dulu, analisis di tim internal KTB, dari berbagai sisi juga akan dilihat termasuk bagaimana Gaikindo melihat hal ini misalnya,” kata dia.

Dony juga bilang pengujian pertamina baru pada tahap uji performa, sementara masih perlu kajian untuk skala industri. KTB dikatakan bakal mengikuti ketentuan pemerintah, sama seperti pengembangan biodiesel 20 persen (B20) dan 30 persen (B30). Pihak Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) juga belum bisa menarik kesimpulan dalam pandangan bisnis dan produk terkait pengujian D-100 oleh pertamina. Puti Annisa Moeloek dari divisi komunikasi pemasaran IAMI juga mengatakan perusahaannya belum dilibatkan dalam pengujian. “Jadi untuk yang D100 kami belum tahu, belum mempelajari apa-apa,” kata Puti.

Toyota

Kendati pengujian D-100 oleh Pertamina menggunakan Innova, produsen mobil Toyota, Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menjelaskan hal itu tidak melibatkan perusahaan. Direktur Administrasi, Korporasi, dan Hubungan Eksternal TMMIN Bob Azam mengatakan Innova yang digunakan Pertamina bukan hibah dari Toyota. Dia sebut kemungkinan itu mobil itu milik Pertamina sendiri. “Jadi kami tidak join, kami ikut yang B30,” kata Bob. Selain soal Cetane Number yang lebih baik dan asap knalpot lebih ramah lingkungan, Pertamina juga mengatakan pengemudi mobil dengan bahan bakar D-100 merasa nyaman selama berkendara karena tidak ada bising berlebihan. Selain itu, tarikan mesin disebut lebih bertenaga dan asap buangan knalpot tetap bersih meski mobil sedang digunakan dalam putaran mesin tinggi. Deputi CEO Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif melalui keterangan resmi menjelaskan D-100 dapat memenuhi kebutuhan green energy di Indonesia. Produk ini juga dikatakan sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang mau negara mengoptimalkan sumber daya alamnya sendiri untuk menciptakan kedaulatan energi. “Ini adalah yang pertama di Indonesia dan hanya sedikit perusahaan yang dapat melakukannya,” ucap Budi.

https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200708180750-384-522447/produsen-mobil-diesel-ri-sebut-tak-terlibat-uji-d-100

Kumparan.com | Rabu, 22 Juli 2020

BBM Diesel B30, B100 dan D100, Apa Saja Perbedaannya?

Pertamina berhasil memproduksi D100 atau green diesel di Kilang Dumai milinya, dengan sukses mengolah Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100 persen Kilang Dumai, sebanyak 1.000 barel per hari.  Uji coba sudah dilakukan pada unit Toyota Innova. Bahkan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, bersama Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati sudah menjajalnya langsung, menyusuri kota Dumai.  “Saya bersama Ibu Dirut menaiki mobil yang sudah diuji dengan bahan bakar D100, dan hasilnya suara mesin halus. Ini sekaligus sosisalisasi hasil uji coba pengolahan RBDPO 100 persen,” ucap Agus dalam keterangan resminya belum lama ini.  Ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo terkait program bahan bakar nabati (BBN). Produksi sawit kini mencapai 42-46 Juta Metric Ton, serapannya yang diolah memakai metanol atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel, sekitar 11,5 persen. Kilang Plaju Pertamina juga akan membangun unit green diesel, dengan kapasitas produksi sebesar 20.000 barel per hari. Sebelumnya, pemerintah baru saja menerapkan penggunaan Biodiesel 30 atau B30, dan berencana akan beranjak ke B100. Lalu, apa perbedaannya B30, B100 dan D100? Berikut beberapa rangkuman singkatnya.

B30

Biodesel 30 atau B30, terdiri dari pencampuran 30 persen biodiesel yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi, dengan 70 persen bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil jenis Solar.  Selain dari Minyak Sawit (CPO), tanaman lain yang berpotensi untuk bahan baku biodiesel antara lain tanaman jarak, jarak pagar, kemiri sunan, kemiri cina, nyamplung dan lain-lain. Diperuntukkan buat kendaraan diesel, B30 memiliki nilai cetane number yang sedikit lebih baik dibandingkan solar biasa, yang saat ini memiliki cetane number 48.  Terkait dengan harga B30 saat ini, dipasarkan Pertamina dengan harga sebesar Rp 5.150 per liternya. Program ini berlaku per Januari 2020 sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015, tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

B100

Sementara B100 merupakan istilah untuk biodiesel yang merupakan bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel FAME, yang juga melalui proses esterifikasi  Proses transesterifikasi adalah proses pemindahan alkohol dari ester. Namun yang digunakan sebagai katalis (suatu zat yang digunakan untuk mempercepat laju reaksi) adalah alkohol atau metanol. Jenis ini nampaknya tak memiliki campuran BBM solar berbasis fosil. Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin memperjelas, angka di belakang huruf B dimaksudkan buat menyatakan persentase Bio-Diesel, yang dicampur dengan Diesel Fuel (Minyak Solar).

D100

Sementara green diesel atau diesel biohidrokarbon (D100), merupakan hasil dari olahan Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100 persen.  RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO, yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya.  Pengolahan RBDPO menjadi D-100 di kilang Dumai, dapat direaksikan dengan bantuan katalis dan gas hidrogen untuk menghasilkan product Green Diesel. Katalis yang digunakan adalah Katalis Merah Putih, hasil kerjasama Pertamina Research and Technology Centre dengan Institut Teknologi Bandung.  Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif menyebut, D100 Pertamina punya cetane number hingga 79. Ini diyakini bisa menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar. Namun saat ini, D100 belum memiliki harga jual karena belum dijual resmi Pertamina.  “Belum ke arah komersialisasi, karena masih perlu banyak support dari berbagai pihak,” ungkap Manager Region Communication and CSR Kalimantan PT Pertamina (Persero), Heppy Wulansari.

https://kumparan.com/kumparanoto/bbm-diesel-b30-b100-dan-d100-apa-saja-perbedaannya-1tqxWyKcQwx/full

Katadata.co.id | Rabu, 22 Juli 2020

Menanti Ujian Terakhir Green Diesel D100 Pertamina di Pasar

PT Pertamina tengah gencar mengembangkan bahan bakar dari bahan nabati, khususnya minyak sawit. Yang terdepan adalah pengembangan bahan bakar diesel dari 100% minyak sawit alias D-100. Harapannya, penggunaan energgi fosil bisa ditekan dan menambah serapan sawit di dalam negeri. Namun, masih ada sejumlah ganjalan untuk mewujudkan keinginan tersebut. Uji produksi hingga tes jalan bahan bakar D100 dilakukan hanya dalam hitungan hari. Pada 2-9 Juli lalu, Pertamina melakukan uji coba produksi D100 di Kilang Dumai, Riau. Selanjutnya, pada 14 Juli lalu, tes jalan menggunakan Kijang Innova keluaran 2017 di jalur sepanjang 200 kilometer. Esok harinya, mobil yang sama digunakan menjemput rombongan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dari Bandara Pinang Kampai Dumai. Bersama Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati, Agus diantar ke Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina RU II Dumai.

Agus mengaku menikmati perjalanan sejauh 9 kilometer itu. “Suara mesin halus. Ini sekaligus sosialisasi hasil uji coba pengolahan refined, bleached and deodorized palm oil atau RBDPO 100%,” katanya, Minggu (19/7). RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Uji coba sudah tiga kali dilakukan. Namun, sebelumnya Pertamina baru mencoba mengolah RBDPO melalui co-processing dengan kadar 7,5% dan 12,5%. “Saya ucapkan selamat kepada Pertamina, khususnya Kilang Dumai yang telah membuktikan bahwa kita mampu, dengan proses sangat cepat dimulai sejak Tahun 2019,” ujarnya. Tak hanya Agus yang puas. Pertamina mengklaim hasil uji dan tes jalan kendaraan berbahan bakar D100 ini cukup menjanjikan. Penggunaan D-100 dalam campuran bahan bakar kendaraan dapat meningkatkan cetane number. Hasilnya, kepekatan asap yang dibuang berkurang. Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Budi Santoso Syarif menjelaskan, bahan bakar yang digunakan dalam tes jalan tersebut adalah campuran D100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME atau Fatty Acid Methyl Ester sebanyak 30%. Menurut hasil uji lab, terukur bahwa cetane number campuran D-100 dan Dexlite yang digunakan tersebut minimal 60. Angka itu lebih tinggi dari Dexlite yang memiliki cetane number 51. “Hasilnya, opacity atau kepekatan asap gas buang turun menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100,” ujarnya. Bahan bakar nabati yang 100% diekstrak dari minyak sawit ini merupakan yang pertama di Indonesia. Melalui hasil uji tersebut, Pertamina menyebut implementasinya bukan lagi angan-angan. Benarkah demikian?

Genjot Serapan Sawit

Program green diesel ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk implementasi Program Bahan Bakar Nabati (BBN) yang mengoptimalkan sumber daya di dalam negeri. Seperti diketahui, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Saat ini produksi minyak kelapa sawit di Indonesia berada di angka 42 juta hingga 46 juta metrik ton per tahun. Serapannya untuk minyak sawit yang diolah memakai metanol atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel sekitar 11,5%. Databoks berikut menunjukkan produksi sawit (minyak dan inti sawit) di Indonesia sejak 1980. Serapan sawit domestik dinilai lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Ketua Umum Apkasindo, Gulat ME Manurung berharap tambahan kebutuhan di dalam negeri akan membuat harga sawit meningkat. “Analisis saya itu, jika ekspor kita di bawah 50%, maka yang menentukan harga CPO dunia adalah Indonesia. Sekarang kita masih tergantung pada ekspor, nanti  kita yang menentukan harga,” kata dia. Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Gapki Joko Supriyono. Dia mengatakan, pengusaha menyambut positif program Pertamina tersebut. Dengan adanya D100, konsumsi solar dapat digantikan dengan produk nabati yang lebih menguntungkan produsen sawit dalam negeri. “Program D100 sudah pasti berdampak positif untuk industri sawit secara keseluruhan, hanya saja yang perlu didetailkan peta jalannya (roadmap) ke depan seperti,” kata dia. Diakuinya, saat ini perusahaan sawit Indonesia lebih banyak mengekspor CPO. Pasalnya, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal ini yang membuat capaian produksi bahan bakar nabati atau BBN Indonesia di 2019 hanya 75% dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter. Kapasitas produksi D100 Pertamina di Kilang Dumai saat ini baru mencapai 1.000 barel per hari. Namun, perusahaan pelat merah itu juga menyiapkan unit produksi green diesel dengan kapasitas 20 ribu barel per hari di Kilang Plaju, Sumatera Selatan. Jika kedua kilang tersebut beroperasi penuh, Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia Bayu Krisnamurthi memperkirakan, penyerapan minyak kelapa sawit atau CPO dari pabrik tersebut dapat mencapai 1,25 juta ton.

Menghitung Harga Keekonomian

Pengolahan RBDPO menjadi D100 di Kilang Dumai terwujud berkat katalis produksi Pertamina Research and Technology Centre bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung. “Dari sisi kilang dan katalis kita sudah siap. Selanjutnya kita perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Pertamina masih mencari celah membuat harga B100 menjadi kompetitif. Karena itu, perusahaan BUMN  ini meminta dukungan pemerintah agar ada kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Nicke mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. “Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ujarnya. Meski begitu, ada pula yang mempertanyakan biaya pokok produksi bahan bakar ini. Apakah ke depan dapat dijual dengan harga terjangkau ke masyarakat atau justru membebani negara karena perlu disubsidi.   Founder PT FSC Oleo Chemical Riza Mutiara menilai komponen biaya produksi penting diperhatikan. Menurut dia, bila spesifikasi D100 diasumsikan setara produk Pertamina Dex yang dibandrol seharga Rp 10.200 per liter di SPBU, maka biaya produksinya kemungkinan jauh di atas itu. Penyebabnya, harga bahan baku RBDPO dan katalis untuk produksi D100 lebih mahal. Proses produksinya pun lebih kompleks dengan menggunakan hidrogen. “Karena untuk memproduksi D100, CPO yang diproses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang,” ujarnya seperti dikutip berdasarkan keterangan tertulis, Minggu (19/20). Menurutnya, kilang CPO menghasilkan 94% RBDPO dan 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distilate), sehinga semakin besar kapasitasnya, maka akan semakin murah biaya produksinya. Namun untuk produksi D100 Petamina yang memakai katalis mp (merah putih) yang belum diketahui berapa rincian harganya. Jika rata-rata harga bahan baku CPO mencapai RM 2500 setara Rp 8,68 juta per ton dan harga RBDPO US$ 654.50 setara Rp 9,69 juta per ton, maka menurutnya harus dihitung betul biaya produksi D100. Saat harga sawit tinggi, sedangkan minyak dunia turun, bisa jadi produksi green diesel tak lagi menguntungkan. Menurutnya, program D100 juga perlu dibandingkan dengan B30. “Berapa harga jual supaya Pertamina tidak memerlukan subsidi dan berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D100 ke SPBU seluruh Indonesia,” ujarnya.

https://katadata.co.id/pingitfajrin/indepth/5f17c8cd342a1/menanti-ujian-terakhir-green-diesel-d100-pertamina-di-pasar?utm_source=Direct&utm_medium=Homepage&utm_campaign=Indeks

CNNIndonesia.com | Rabu, 22 Juli 2020

DMO Kelapa Sawit Bisa Buat Subsidi Biofuel Bengkak

Rencana pemerintah menerapkan kebijakan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) minyak sawit mentah untuk program B100 diprediksi bakal membuat anggaran untuk subsidi program biofuel membengkak. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan crude palm oil (CPO) untuk kebutuhan dalam negeri. “Kami tahu ada hambatannya, dari segi teknis hal ini sudah dibuktikan tapi dari ekonomis dibutuhkan subsidi lebih besar dibanding B30,” ujarnya dalam webinar, Rabu (22/7). Seperti diketahui, dana subsidi biofuel diperoleh dari pungutan ekspor CPO perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kemudian dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pungutan tersebut ditentukan pemerintah lewat Peraturan Menteri Keuangan. Menurut Derom bakal muncul masalah baru jika pemerintah tidak menyiapkan subsidi di luar dana yang dikelola BPDPKS. Pasalnya, selisih antara harga DMO dengan harga pasar menyebabkan keuntungan pengusaha tergerus besar-besaran. “Satu hal bahwa DMO harganya akan berbeda dengan harga pasar, dan DMO itu dapat mengakibatkan harga CPO juga menjadi terdistorsi,” ucap Derom.

Di samping itu, besaran DMO juga bisa mengganggu penetapan penentuan harga tandan buah segar (TBS) bagi petani karena akan ada perubahan harga dengan cepat. “Ini perlu diantisipasi kalau tidak petani yang dirugikan,” ungkapnya. Karena itu, menurut Derom pemerintah perlu berdiskusi lebih lanjut dengan para stakeholder di sektor perkebunan kelapa sawit agar dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut bisa berjalan dengan baik. Ia juga menyarankan pemerintah belajar dari pengalaman masa lalu, ketika pemerintah menjalankan program stabilisasi harga minyak goreng. Saat itu pengusaha yang ikut dalam program stabilisasi harga harus menjual CPO jauh lebih rendah dari harga di pasar internasional. Imbasnya banyak perusahaan yang kena audit Ditjen Pajak karena dianggap memperkecil keuntungan. Padahal hal tersebut merupakan imbas dari kebijakan yang diwajibkan pemerintah. “Kalaupun dilaksanakan akan bisa berjalan dengan baik. Timbul kekhawatiran dalam pelaksanaannya DMO itu kurang lancar dan rawan terhadap penyimpangan. Pengalaman masa lalu dengan upaya stabilitas harga minyak goreng saya juga sering ditunjuk sebagai ketua tim, ternyata dalam pelaksanaannya banyak sekali hambatan,” pungkasnya.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200722171622-85-527763/dmo-kelapa-sawit-bisa-buat-subsidi-biofuel-bengkak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *