Proses Pembuatan Biodiesel Potensi Ciptakan Emisi Tinggi

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Merdeka.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Proses Pembuatan Biodiesel Potensi Ciptakan Emisi Tinggi

Pemerintah mengklaim penerapan kebijakan Biodiesel 30 persen atau B30 akan meningkatkan kualitas lingkungan. Penggunaan B30 juga disebut ramah terhadap mesin kendaraan dan bisa menekan emisi yang dilepaskan. Faktanya, penggunaan B30 sebagai bahan bakar malah bisa melepaskan emisi lebih banyak ketimbang penggunaan bahan bakar fosil. Tingginya emisi terjadi pada saat pengelolaan kelapa sawit menjadi bahan bakar. “Ada beberapa skenario yang banyak bikin b30 ini malah tidak ramah lingkungan,” kata Manager Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti dalam Media Brefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8). Skenario pertama pada penggunaan lahan untuk kelapa sawit. Jika lahan yang digunakan kebun baru, maka jenis lahan bisa menyebabkan banyaknya emisi yang bakal dihasilkan, seperti penggunaan lahan gambut dan merusak hutan. Sebab, jika terjadi kebakaran hutan akan menghasilkan emisi yang tinggi. “Resiko lebih tinggi kalau buka di lahan gambut dan hutan. Ini bisa menimbulkan emisi yang tinggi,” kata Ricky.

Skenario kedua dari penggunaan kendaraan sebagai alat transportasi dari lokasi perkebunan menuju pabrik pengolahan. Maka dari itu untuk menekan emisi yang dikeluarkan kendaraan diperlukan jalan usaha tani agar bisa memangkas jarak tempuh. Potensi merusak lingkungan lainnya yakni limbah yang dihasilkan dari pengelolaan kelapa sawit. Di pabrik kelapa sakit terdapat bahan berbahaya bernama pome atau limbah cair kelapa sawit. Jika limbah ini tidak diolah menggunakan metan, maka emisi yang dihasilkan pabrik akan tinggi. “Sehingga ini bisa menjadikan biodiesel ini menghasilkan emisi tinggi,” kata dia. Maka dari itu, kata Ricky, pemerintah harus melakukan perhitungan detil dalam membuat kebijakan. Sejauh ini dia menilai pemerintah hanya fokus pada hasil akhir produk. “Kalau cuma hitung di end produk ya memang aman, tapi ini harus dilihat dari hulu dan hilir. Emisi ini juga besar bukan dari kendaraannya,” kata dia mengakhiri.

https://www.merdeka.com/uang/proses-pembuatan-biodiesel-potensi-ciptakan-emisi-tinggi.html

Merdeka.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Petani Kelapa Sawit Diharapkan Bisa Ikut dalam Rantai Pasok Biodiesel

Manager program dan kemitraan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Tirza Pandelaki mengharapkan petani kelapa sawit diikutsertakan dalam rantai pasok biodiesel. Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani itu sendiri. Ini juga diperlukan karena keuntungan petani sawit saat ini masih belum bisa diperhitungkan dengan jelas. Ini tergambar pada alokasi dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp30,2 T yang lebih diarahkan untuk kantong perusahaan kelapa sawit, ketimbang ke petani, Menurut Tirza, sebenarnya dana ini bisa dipakai untuk mendukung sarana dan prasarana dalam meningkatkan produktivitas petani dan pengembangan sumber daya manusia. “Bahkan, petani di Kalimantan yang saya temui cerita kalau pendapatan mereka kecil dan tidak sesuai dengan perjanjian dengan perusahaan di awal,” jelas Tirza. Dia menambahkan, saat ini belum ada kontrak kerja kelembagaan antara petani dan industri biodiesel. Sehingga, belum ada regulasi secara nyata yang mengatur rantai pasok petani ke industri biodiesel. Selain itu, sumber bahan baku tidak diterima langsung dari para petani, melainkan langsung dari kebun perusahaan. Alhasil, kebijakan kewajiban perusahaan dalam menerima pasokan bahan baku dari masyarakat tidak terlaksana. Terlebih, belum ada patokan harga untuk melindungi petani saat fluktuasi rendah. “Sampai saat ini, petani masih menjual hasil ke tengkulak. Jika B30 menerima pasokan langsung dari petani, maka akan ada peningkatan pendapatan untuk petani sebesar 30% daripada saat ini,” simpul Tirza.

Tingkatkan Kesejahteraan Petani

Pernyataan ini didukung oleh Manajer Riset Traction Energy Asia yang memaparkan bahwa dengan melibatkan petani di rantai pasok biodiesel, kesejahteraan bakal meningkat diikuti dengan pemberantasan kemiskinan. Terlebih, lahan petani atau pekebun sawit mandiri menguasai 41 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Para petani atau pekebun sawit mandiri membutuhkan naungan hukum untuk melindungi serta menjamin pasar mereka. Supaya pemerintah ataupun perusahaan juga bisa membantu petani yang terhambat dalam laju produksi, “Daya tawar petani itu cenderung rendah karena kebalikan dari monopoli, mereka monopsoni. Petani hanya memiliki satu pembeli dan hal ini tidak memungkinkan mereka melakukan negosiasi,” papar Ricky.

https://www.merdeka.com/uang/petani-kelapa-sawit-diharapkan-bisa-ikut-dalam-rantai-pasok-biodiesel.html

Liputan6.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Peta Jalan Program B100 Dipertanyakan

Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Research and Technology Centre (RTC) Pertamina mampu mengembangkan produk B100. Produk ini merupakan bahan bakar alternatif yang 100 persen dari minyak nabati. Sayangnya, produk yang cukup inovatif ini ternyata mendapat kritik karena tidak memiliki kerangka acuan jangka panjang. Oleh sebab itu pengembangan bahan bakar nabati tersebut sia-sia.  “Kami pernah melakukan audiensi dengan pemerintah untuk mengetahui roadmap program B100 ini, tapi jawabannya mereka masih belum ada,” kata Manager Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8/2020). Dia menyadari program yang dibuat pemerintah kerap berubah dalam satu atau dua tahun tergantung kondisi dan kebutuhan. Namun dia menyayangkan program mencari alternatif bahan bakar ini tidak memiliki kerangka acuan dalam penerapannya nanti. “Ini program B100 yang beradaptasi dengan keadaan. belum ada roadmap yang jelas,” kata dia.

Program B30 Potensi Defisit CPO di Indonesia

Sebaliknya, Ricky menilai produk ini berpotensi akan membuka keran impor kelapa sawit karena Indonesia kekurangan bahan dasarnya. Sebab dalam merealisasikan program B30 saja, pemerintah berpotensi mengalami defisit bahan baku kelapa sawit pada tahun 2023. “Pakai B30 saja kita defisit apalagi pakai D100,” kata Ricky. Dalam perhitungannya, pada skenario program B30 direalisasikan pada tahun 2020 maka akan terjadi defisit pada tahun 2023 dengan kebutuhan 34,9 juta ton CPO. Skenario berikutnya , jika realisasi program B30D20 dilakukan pada tahun 2023 maka pada tahun yang sama defisitnya mencapai 92,98 juta ton CPO. Kemudian pada skenario penerapan B30D20 pada tahun 2021 maka, defisit yang terjadi diperkirakan 119,1 juta ton CPO. Di skenario terakhir jika B30D20 dan A20 pada dilakukan pada tahun 2021 maka defisit di tahun tersebut yakni 122,68 juta ton CPO. Dari hasil hitungan tersebut, Ricky menilai sebaiknya program D100 sebaiknya ditunda dan dilakukan evaluasi lebih dulu. Sebab masih banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan sebelum memproduksi dan diterapkan secara massal. “Masih banyak PR-nya, dari ekonomi, lingkungan dan sosial. Baiknya pemerintah rem dulu,” kata dia. Apalagi program ini tidak terlihat keberlanjutannya. Dari sisi ekonomi pun program ini belum menghasilkan keuntungan. “Agak aneh kalau mau dibilang program keberlanjutan, ini harus dilihat lagi,” singkatnya.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4328266/peta-jalan-program-b100-dipertanyakan

Merdeka.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Program B30 Potensi Timbulkan Ketergantungan Impor Kelapa Sawit

Pertamina Research & Technology Center (RTC-ITB) meluncurkan produk B100. Produk bahan bakar alternatif ini berasal dari 100 persen nabati. Manager Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, menilai produk ini berpotensi membuka keran impor kelapa sawit karena Indonesia kekurangan bahan dasarnya. Sebab, dalam merealisasikan program B30 saja, pemerintah berpotensi mengalami defisit bahan baku kelapa sawit pada 2023. “Pakai B30 saja kita defisit apalagi pakai B100,” kata Ricky dalam Media Briefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8). Dalam perhitungannya, pada skenario program B30 direalisasikan pada 2020 maka akan terjadi defisit pada 2023 dengan kebutuhan 34,9 juta ton CPO. Skenario berikutnya, jika realisasi program B30D20 dilakukan pada 2023 maka pada tahun yang sama defisitnya mencapai 92,98 juta ton CPO. Kemudian pada skenario penerapan B30d20 pada 2021 maka, defisit yang terjadi diperkirakan 119,1 juta ton CPO. Di skenario terakhir jika B30D20 dan A20 pada dilakukan pada 2021 maka defisit di tahun tersebut yakni 122,68 juta ton CPO. Dari hasil hitungan tersebut, Ricky menilai sebaiknya program D100 ditunda dan dilakukan evaluasi lebih dulu. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus diselesaikan sebelum memproduksi dan diterapkan secara massal. “Masih banyak PR-nya, dari ekonomi, lingkungan dan sosial. Baiknya pemerintah rem dulu,” kata dia. Apalagi program ini tidak terlihat keberlanjutannya. Dari sisi ekonomi pun program ini belum menghasilkan keuntungan. “Agak aneh kalau mau dibilang program keberlanjutan, ini harus dilihat lagi,” singkatnya.

Pemerintah Disebut Belum Memiliki Peta Jalan Pengembangan Biodiesel

Namun siapa sangka produk ini disebut tidak memiliki kerangka acuan dalam jangka panjang. “Kami pernah melakukan audiensi dengan pemerintah untuk mengetahui roadmap program B100 ini, tapi jawabannya mereka masih belum ada,” kata Ricky. Dia menyadari program yang dibuat pemerintah kerap berubah setiap satu atau dua tahun tergantung kondisi dan kebutuhan. Namun dia menyayangkan program mencari alternatif bahan bakar ini tidak memiliki kerangka acuan dalam penerapannya nanti. “Ini program yang beradaptasi dengan keadaan. Belum ada roadmap yang jelas,” kata dia.

https://www.merdeka.com/uang/program-b30-potensi-timbulkan-ketergantungan-impor-kelapa-sawit.html

Liputan6.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Diklaim Ramah Lingkungan, Penggunaan B30 Justru Tinggi Emisi Gas Buang?

Sejak tahun lalu pemerintah telah menyiapkan rencana pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar. Pemerintah mengklaim penerapan kebijakan B30 dinilai akan meningkatkan kualitas lingkungan karena beralih menggunakan bahan dasar tumbuh-tumbuhan. Penggunaan B30 juga ramah terhadap mesin kendaraan dan bisa menekan emisi yang dilepaskan. Faktanya, penggunaan B30 sebagai bahan bakar malah bisa melepaskan emisi lebih banyak ketimbang penggunaan bahan bakar fosil. Tingginya emisi terjadi pada saat pengelolaan kelapa sawit menjadi bahan bakar. “Ada beberapa skenario yang banyak bikin B30 ini malah tidak ramah lingkungan,” kata Manager Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti dalam Media Brefing bertajuk Suntikan Dana ke Perusahaan Bukan Solusi untuk Biodiesel, Jakarta, Selasa (11/8). Skenario pertama pada penggunaan lahan untuk kelapa sawit. Jika lahan yang digunakan kebun baru, maka jenis lahan bisa menyebabkan banyaknya emisi yang bakal dihasilkan, seperti penggunaan lahan gambut dan merusak hutan. Sebab jika terjadi kebakaran hutan akan menghasilkan emisi yang tinggi. “Resiko lebih tinggi kalau buka di lahan gambut dan hutan. ini bisa menimbulkan emisi yang tinggi,” kata Ricky. Skenario kedua dari penggunaan kendaraan sebagai alat transportasi dari lokasi perkebunan menuju pabrik pengolahan. Sehingga untuk menekan emisi yang dikeluarkan kendaraan diperlukan jalan usaha tani agar bisa memangkas jarak tempuh. Potensi merusak lingkungan lainnya yakni limbah yang dihasilkan dari pengelolaan kelapa sawit. Di Pabrik kelapa sakit terdapat bahan berbahaya bernama pome atau limbah cair kelapa sawit. Jika limbah ini tidak diolah menggunakan metan, maka emisi yang dihasilkan pabrik akan tinggi. “Sehingga ini bisa menjadikan biodiesel ini menghasilkan emisi tinggi,” kata dia. Untuk itu kata Ricky, pemerintah harus melakukan perhitungan detil dalam membuat kebijakan. Sejauh ini dia menilai pemerintah hanya fokus pada hasil akhir produk seperti B30. “Kalau cuma hitung di end produk ya memang aman, tapi ini harus dilihat dari hulu dan hilir. Emisi ini juga besar bukan dari kendaraannya,” kata dia mengakhiri.

Tingginya Harga FAME Hambat Realisasi Program B30 hingga 2021

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, saat ini terdapat sejumlah kendala dalam penerapan program Biodiesel 30 persen (B30) yang tengah digenjot pada 2020 ini. Salah satunya lantaran harga Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan campuran B30 yang melejit naik. Sementara harga minyak bumi sempat turun beberapa waktu lalu. Menurut dia, selisih harga tinggi antara solar dan FAME sebagai campuran B30 bisa membuat realisasi program tersebut terkendala hingga 2021 mendatang. “Sehingga selisih antara harga FAME dengan harga solarnya itu jadi lebih besar. Inilah yang membuat bisnis FAME atau bahan bakar nabati agak terganggu tahun ini, dan juga mungkin tahun depan,” kata Febrio dalam sesi teleconference, Kamis (6/8/2020). Febrio menyatakan, pemerintah saat ini tengah mengkaji bagaimana mengatur mekanisme terkait hal tersebut untuk rentang waktu 2020-2021. Itu dilakukan untuk memudahkan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam program B30 pada tahun ini, yakni bentuk hilirisasi pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) guna mendapatkan nilai tambah lebih besar daripada mengekspor CPO dalam bentuk raw material.

Dorong Hilirisasi

Terlebih, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit. Kebijakan tersebut mendorong hilirisasi dengan mengenakan pungutan lebih besar kepada ekspor raw material CPO ketimbang produk turunan CPO lainnya. “Jadi kalau industri itu ingin mengekspor CPO alias raw material, dimana produknya belum terlalu hilir jika dibandingkan dengan produk turunan CPO seperti misalnya RBD (refined, bleached, deodorized), maka harga pungutan ekspornya memang lebih mahal,” tuturnya. “Karena sebenarnya hal itu konteksnya adalah untuk mendorong hilirisasi tersebut,” ujar Febrio.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4328167/diklaim-ramah-lingkungan-penggunaan-b30-justru-tinggi-emisi-gas-buang

Wartaekonomi.co.id | Selasa, 11 Agustus 2020

Green Energy, Kementerian ESDM: Uji Kelayakan CPO untuk PLTD

Pemerintah Indonesia terus berinovasi dalam pemanfaatan kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan (green energy). Sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina telah berhasil melakukan uji coba green diesel (D100) pada bulan Juli lalu. Produk D100 ini berbahan baku RBDPO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil) yang dihasilkan di fasilitas existing Kilang Dumai, Riau. Tidak cukup sampai di situ, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (P3TKEBTKE) memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Mei 2020, di Indonesia terdapat sebanyak 4.984 unit PLTD dengan total kapasitas 4.780,8 megawatt (MW). Masih tingginya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk PLTD dan PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Minyak dan Gas) di Indonesia menjadi dasar dilakukannya kajian ini.

Mengacu pada data statistik tahun 2018, diketahui bahwa penggunaan BBM untuk PLTD di Indonesia mencapai sekitar empat juta kilo liter. Kepala P3TKEBTKE, Chrisnawan Anditya menjelaskan, “Pemakaian BBM tersebut diperkirakan akan meningkat 960 ribu kilo liter per tahun dengan tambahan PLTMG baru dengan total kapasitas sebesar 520 MW selama 2019 hingga 2028.” Penggunaan BBM pada PLTD ini berdampak cukup besar terhadap biaya operasional PLN. Data statistik PLN 2018 mencatat, biaya bahan bakar di PLTD mencapai Rp26 triliun atau sekitar 16 persen dari total biaya bahan bakar PLN. Sementara, listrik yang dihasilkan PLTD hanya 6 persen dari total listrik yang diproduksi PLN. Pemerintah mencoba mengurangi pemakaian BBM di PLTD tersebut dengan membangun pembangkit listrik EBT di beberapa PLTD, tetapi jumlahnya belum banyak. Penggunaan minyak nabati murni di PLTD ini diharapkan dapat mengurangi pemakaian BBM secara signifikan. Kementerian ESDM melakukan uji operasi pada dua genset berkapasitas 20 kW 4 silinder selama 500 jam. Terdapat lima jenis bahan bakar yang akan dianalisis, yaitu B30, CPO 100 persen, deminerallized CPO, industrial vegetable oil (IVO), dan degummed CPO. Kajian kelayakan ini akan melewati tiga tahap utama yang nantinya berguna untuk menentukan penyusunan kebijakan dan regulasi terhadap konversi bahan bakar PLTD.

https://www.wartaekonomi.co.id/read298987/green-energy-kementerian-esdm-uji-kelayakan-cpo-untuk-pltd

MediaIndonesia.com | Selasa, 11 Agustus 2020

Kebijakan Biodiesel Dinilai Rugikan Petani Sawit

PENERAPAN kebijakan biodiesel 30% (B30) dalam pengelolaan minyak kelapa sawit dinilai meningkatkan emisi. “B30 tidak ramah lingkungan. Bila diterapkan pada kebun baru, berpotensi emisi yang dihasilkan. Terlebih penggunaan lahan gambut dan perusakan hutan,” ujar Manajer Riset Traction Energy Asia, Ricky Amukti, dalam diskusi daring, Selasa (11/8). Selain itu, lingkungan juga menjadi rusak, jika limbah dari pengelolaan minyak kelapa sawit tidak diolah dengan baik “Karena ada bahan atau zat yang berbahaya, yakni pome atau limbah cair kelapa sawit. Jika tidak diolah dengan metan, emisi yang dikeluarkan akan tinggi juga,” jelas Ricky. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyoroti masalah lain dalam penerapan B30. Kebijakan itu disebut tidak mampu meningkatkan harga Tandan Buah Segar (TBS) yang menguntungkan petani sawit. “Harga sawit saat ini tidak ada ubahnya dengan harga TBS dari sebelum kebijakan biodiesel yang dilakukan,” kata anggota SPKS, Tirza. Kebijakan B30 juga dinilai merugikan petani sawit lantaran harga TBS cenderung rendah. Indikator harga TBS selama ini ditentukan pemerintah. Namun, lanjut Tirza, harga TBS di lapangan justru ditentukan pabrik dan tengkulak. Kondisi ini diperparah belum adanya kontrak kerja sama antara kelembagaan tani dan perusahaan biodiesel. Serta, tidak ada regulasi jelas terkait pengartuan rantai pasok dari petani ke industri. “Petani harus terlibat dalam rantai pasok B30 saat ini. Ini sangat penting untuk membantu petani swadaya yang berjumlah besar dan mengelola 5,5 juta hektare,” imbuhnya.

https://mediaindonesia.com/read/detail/335832-kebijakan-biodiesel-dinilai-rugikan-petani-sawit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *