Soal wacana DMO sawit, pelaku industri sarankan perlunya kajian terlebih dahulu

| Articles
Share Share on Facebook Share on Twitter Share on Whatsapp

Kontan.co.id | Kamis, 16 Juli 2020

Soal wacana DMO sawit, pelaku industri sarankan perlunya kajian terlebih dahulu

Wacana kewajiban pasokan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) minyak sawit mentah (CPO) mulai bergulir. Setelah dikabarkan Pertamina telah mampu memproduksi Biodiesel 100 atau B100 yang seratus persen bahan baku dari nabati. Pertamina meminta pemerintah dapat membuat aturan DMO seperti halnya DMO batu bara untuk PLN (Persero). Hal ini guna menjaga keberlangsungan ketersediaan pasokan CPO dengan harga jual yang lebih murah dari harga ekspor. Menanggapi hal tersebut, Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai keberadaan DMO untuk minyak sawit mentah tidak tepat. “Karena saat ini suplai CPO itu masih melimpah,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/7). Lebih lanjut ia bilang, kebijakan DMO hanya efektif apabila suplai dari produksi lokal masih kurang. Sementara saat ini Joko menerangkan produksi CPO di Indonesia mencapai 47 juta ton setiap tahunnya, sedangkan serapan untuk biodiesel cenderung kecil hanya 9,5 juta ton. Menurut Gapki seandainya B100 langsung diterapkan, tidak serta merta mampu menyerap produksi minyak sawit mentah nasional. Sebab diprediksi produksi CPO di Indonesia dalam lima tahun mendatang juga masih terus meningkat. Soal harga yang diyakini akan berbeda dengan harga ketika ekspor, Joko belum dapat memberikan komentar. Sementara itu Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menilai wacana kebijakan DMO tak boleh terburu-buru, harus ada riset dan perhitungan yang tepat. “Perlu kajian yang terpadu oleh Pemerintah. Jika dianggap sudah baik kajian nya, bisa dimulai dengan CPO hasil PTPN terlebih dahulu, karena lebih mudah pengaturannya,” sebutnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/7).

Sedangkan produsen minyak sawit, PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) menyambut baik gerakan biofuel dari pemerintah. Jika di masa depan sudah akan diterapkan B100, perseroan merasa tak masalah untuk menyuplai kebutuhan tersebut. Michael Kesuma, Head of Investor Relations SGRO mengatakan kebutuhan CPO tersebut akan semakin meningkatkan permintaan di dalam negeri. Adapun mengenai wacana kewajiban pasokan dalam negeri (DMO), manajemen merasa tak keberatan. “Jangankan DMO, waktu aturan tarif pungutan ekspor saja kami lakukan. Tujuan utamanya saya lihat selain memproduksi bahan bakar ramah lingkungan, juga dapat memberikan manfaat bagi penyerapan industri,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/7). SGRO selama ini diketahui seluruh produksi sawitnya memang menyasar pasar lokal, dan sudah tidak menggarap pasar ekspor. Menurut, Michael keputusan menjual ke pasar lokal ini sudah dijalankan sekitar 10 tahun terakhir. Soal harga, ada anggapan bahwa harga di tingkat domestik tidak sebaik di pasar global. Menurut Michael perkara harga selalu fluktuatif, ada kalanya di pasar domestik harga lebih baik ketimbang harga ekspor. Jika nanti ada penentuan harga, perusahaan berharap produsen dapat diikutsertakan dalam menegosiasikannya.

https://industri.kontan.co.id/news/soal-wacana-dmo-sawit-pelaku-industri-sarankan-perlunya-kajian-terlebih-dahulu?page=all

BERITA BIOFUEL

Merdeka.com | Jum’at, 17 Juli 2020

Pertamina Targetkan Implementasi B20 dan B30 Hemat Devisa Rp63,4 Triliun

Implementasi program B20 dan B30 pada 2019 telah menghemat devisa negara sebesar Rp43,8 triliun. Pada 2020, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang. “Seiring berjalannya waktu terdapat trend shifting pada penggunaan bahan bakar, yaitu semula bahan bakar fosil perlahan bergeser ke bahan bakar terbarukan. Pola pemenuhan energi nasional pun berubah dari sebelumnya mengandalkan foreign supply menjadi domestik supply. Untuk itu, kita harus terus berupaya memaksimalkan dalam hal pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya lokal yang kita miliki,” Wakil Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif, dalam keterangan persnya dilansir Jumat (17/7/2020) Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menggunakan FAME untuk program biodiesel sejak 2006 dan hingga 2017, selama 11 tahun, penyerapan FAME mencapai 9,2 juta KL. Pada 2018, Pertamina menjalankan Program B20 d imana penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada tahun 2019, penyerapan FAME meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL dan tahun 2020 ditargetkan meningkat menjadi 8,38 juta KL. Dia menuturkan Pertamina terus berusaha mengoptimalkan sumber daya yang ada di Indonesia dengan mengoptimalkan market dalam negeri, karena cukup besar. Mengolah kelapa sawit menjadi bahan bakar memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang amat sangat tinggi dan berpotensi mengurangi defisit transaksi negara. Sawit adalah bahan baku domestik yang transaksinya dilakukan dengan mata uang rupiah, dengan begitu akan berdampak positif pada pertumbuhan perekonomian nasional.

https://www.inews.id/finance/bisnis/pertamina-targetkan-implementasi-b20-dan-b30-hemat-devisa-rp634-triliun

Jakartaglobe.id | Kamis, 16 Juli 2020

Pertamina Announces Breakthrough in 100% Biofuel Manufacturing

The state energy company Pertamina has announced success in producing the refined, bleached, and deodorized palm oil used for 100 percent biofuel, or the so-called Green Diesel, at its Dumai refinery in Riau, paving the way for Indonesia’s ambition to switch to the green fuel as soon as next year. Pertamina said the refinery produced 1,000 barrels biofuel per day in the third trial run on July 2-9, Pertamina’s president director Nicke Widyawati said on Wednesday. The previous trials produced biofuel with a palm oil content of 7.5 percent and 12.5 percent.  “I congratulate my colleagues at Pertamina, especially those at the Dumai refinery who has proven that we are capable,” Industry Minister Agus Gumiwang Kartasasmita said.  Indonesia sees palm-oil based biofuel as a solution to slash its costly diesel imports, which have put its current account balance in the red in the past decade. Also, palm oil faces growing rejection from consumers in the developed market that could decrease its demand.  Facing the challenges, President Joko “Jokowi” Widodo’s was adamant for Indonesia to be able to produce biofuel with 100 percent palm oil content soon. Today, the government has made the use of B40, or diesel fuel with 40 percent mix of biofuel mandatory, a step up from B30 last year.  Pertamina’s Nicke said Pertamina’s success was a result of support from the government and the palm oil producers.  “Thank you to the government and all related parties for their full support to Pertamina. This trial shows that we are ready regarding the refineries and catalysts technology,” she said.   “Now, we need to think how to implement it so that it makes economic sense,” said Nicke. Indonesia currently makes 42-46 million metric tons of palm oil every year, with 11.5 percent of the amount is used to make biodiesel.  NIcke said Pertamina was constructing a green diesel production unit with a capacity of 20,000 barrels per day at the company’s Plaju refinery in South Sumatra.

https://jakartaglobe.id/business/pertamina-announces-breakthrough-in-100-biofuel-manufacturing

Katadata.co.id | Kamis, 16 Juli 2020

Pertamina Produksi D100, Apa Bedanya dengan B100?

(D100 terbuat dari pengolahan minyak sawit dan katalis. Sifat bahan bakarnya serupa dengan bahan bakar minyak solar(

Kilang Dumai milik Pertamina berhasil memproduksi D100 atau green diesel (solar hijau) sebanyak seribu barel per hari. Bahan bakar nabati atau BBN itu merupakan hasil pengolahan refined, bleached, and deodorized palm oil (RBDPO). Produknya 100% berasal dari minyak sawit mentah atau CPO yang diproses hingga hilang getah, impurities (kotoran), dan baunya. Uji coba pengolahan produksinya dilaksanakan pada 2 sampai 9 Juli lalu. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan pengujian ini menunjukkan kilang dan katalis Pertamina sudah siap memproduksi BBM ramah lingkungan. “Kami perlu memikirkan agar sisi keekonomiannya juga dapat tercapai,” katanya dalam siaran pers, Rabu (15/7). Hadirnya produk green energy ini menjadi jawaban untuk menyediakan energi ramah lingkungan di Indonesia. Selain itu, kehadiran D100 akan membuat penyerapan produksi minyak kelapa sawit domestik menjadi lebih optimal. Saat ini produksi minyak kelapa sawit di Indonesia berada di angka 42 juta hingga 46 juta metrik ton per tahun. Serapannya untuk minyak sawit yang diolah memakai metanol atau fatty acid methyl ester (FAME) untuk biodiesel sekitar 11,5%. Pertamina sedang membangun unit green diesel dengan kapasitas produksi sebesar 20 ribu barel per hari. “Kami mampu memproduksi bahan bakar renewable yang pertama di Indonesia dan hasilnya tidak kalah dengan perusahaan kelas dunia,” ujar Nicke. Pengolahan RBDPO menjadi D100 di kilang Dumai, Riau, dapat terealisasi dengan bantuan katalis bernama Katalis Merah Putih. Produk ini diproduksi oleh Pertamina Research and Technology Center bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung.

Beda B100 dan D100?

Pemerintah saat ini sedang berupaya mempercepat bauran energi, termasuk program B100 dan D100. Lantas, apa beda keduanya? Melansir dari situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel 100 atau B100 adalah BBN atau biofuel untuk aplikasi mesin atau motor diesel berupa FAME yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara esterifikasi. Pemerintah awalnya mewajibkan pencampuran 20% biodiesel dengan 80% BBM jenis solar alias B20. Program yang berjalan sejak Januari 2016 itu sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga BBN (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Sementara, D100 adalah istilah 100% green diesel atau solar hijau. BBN ini diolah dari minyak sawit dengan katalis. Mengutip dari Majalah Sawit Indonesia, sifat bahan bakar ini sama dengan solar dari minyak bumi. Karena itu D100 pun dapat dibuat campurannya, seperti B20D25. Artinya, bahan bakar itu mengandung FAME 20%, green diesel 25%, dan sisanya solar minyak bumi.   Ada pula istilah G100, yaitu bensin dengan kandungan 100% green gasoline. Bahan bakar ini terbuat dari minyak sawit dan katalis. Jika tertulis G25 artinya bahan bakar itu mengandung gasoline 25%, sisanya bensin berbasis minyak bumi. Terakhir, yaitu J100. BBN ini adalah avtur yang mengandung 100% green jetfuel dari minyak inti sawit atau PKO dengan katalis. BBN J10 berarti 10% kandungannya adalah green jetfuel dan sisanya kerosen minyak bumi.

Jalan Panjang BBN Indonesia

Pertamina masih mencari celah membuat harga B100 menjadi kompetitif. Karena itu, perusahaan pelat merah ini meminta dukungan pemerintah agar ada kewajiban bagi produsen sawit untuk memasok kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Nicke mengatakan, aturan DMO harus dibuat agar ketersediaan pasokan CPO terpenuhi dan harga jualnya menjadi lebih murah ketimbang ekspor. “Keberlangsungan green diesel dan green gasoline perlu dukungan DMO, baik volume maupun harga,” ujarnya pada 29 Januari lalu. Perusahaan sawit Indonesia memang lebih memilih mengekspor komoditas CPO. Pasalnya, komoditas ini lebih menguntungkan ketimbang mengolahnya menjadi biodiesel. Hal ini yang membuat capaian produksi BBN Indonesia di 2019 hanya 75% dari target atau sebanyak 6,26 juta kiloliter. Menurut data TradeMap, pada 2018 Indonesia memenuhi 63,9% pasar di India dan 59% di Tiongkok. Kecenderungan ekspor CPO ini menjadi salah satu penghambat Indonesia sulit memenuhi target pemakaian BBN. Usaha mengurangi ketergantungan energi fosil dilakukan pada 2016 melalui kebijakan B20. Pada 2018, Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan perintah agar mandatory pemakaian bahan bakar itu dijalankan secara masif di semua sektor. Mandatori B20 itu tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 juncto 45 Tahun 2018. Produksi biofuel terutama biodiesel mengalami peningkatakan signifikan. Selanjutnya, pemerintah meningkatkan pemanfaatan biofuel sebesar 30% atau B30. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang memuat mandatori B30 mulai 2020. Setelah B30, Pertamina lalu memproduksi biodiesel B100.

https://katadata.co.id/berita/2020/07/16/pertamina-produksi-d100-apa-bedanya-dengan-b100

Kompas.com | Jum’at, 17 Juli 2020

Pertamina Siap Produksi Solar dari 100 Persen Minyak Sawit

PT Pertamina (Persero) menyatakan kesiapannya untuk memproduksi Green Gasoline dan Green Avtur dari kilang dalam negeri dalam beberapa tahun mendatang untuk digunakan pada kendaraan dan kebutuhan serupa. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menyatakan bahwa tekad tersebut dibulatkan usai sukses memproduksi Green Diesel (D-100) melalui pengolahan minyak sawit 100 persen. Di samping itu, langkah ini juga sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan mendayagunakan sumber daya alam domestik untuk membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional. “Pertamina menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah dan semua pihak agar Pertamina terus mengembangkan green energy seperti B30 dan B50 serta D-100,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (16/7/2020). “Pertamina telah menyelesaikan penyiapan kilang dan katalis merah putih, yang nantinya akan dilanjutkan dengan kajian keekonomian” lanjut Nicke. Adapun Green Gasoline ini, lanjut Wakil Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif, sebenarnya sudah dilakukan uji coba sejak 2018 lalu. “Namun uji coba tersebut baru mampu mengolah minyak sawit RBDPO sebesar 20 persen. Sedangkan ujicoba mengolah minyak sawit menjadi Green Avtur akan dilakukan di akhir tahun 2020,” ungkapnya.

Walaupun ujicoba Green Gasoline yang dilakukan Pertamina baru mampu mengolah minyak sawit sebesar 20 persen, namun hal ini adalah yang pertama di dunia mengingat mengolah minyak sawit menjadi Green Gasoline belum pernah dilakukan dalam skala operasional. “Mengolah minyak sawit menjadi green diesel sudah dilakukan juga oleh beberapa perusahaan lain di dunia, namun mengolah minyak sawit menjadi green gasoline belum pernah dilakukan di dunia dan Pertamina adalah yang pertama karena selama ini hal tersebut masih sebatas skala laboratorium untuk riset” lanjut Budi Budi menambahkan, tantangan ke depan, Pertamina tidak hanya mengembangkan green energy dari CPO atau sawit, tetap juga dari sumber daya lainnya seperti algae, gandum, sorgum dan sebagainya. Pertamina akan terus mendayagunakan segala sumber daya alam domestik, untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menggunakan FAME untuk program biodiesel sejak tahun 2006 dan hingga tahun 2017, selama 11 tahun, penyerapan FAME mencapai 9,2 juta KL. Pada tahun 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dimana penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada tahun 2019, penyerapan FAME meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL dan tahun 2020 ditargetkan meningkat menjadi 8,38 juta KL. Implementasi program B20 dan B30 di tahun 2019 telah menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun dan tahun 2020, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang.

https://otomotif.kompas.com/read/2020/07/17/070200415/pertamina-siap-produksi-solar-dari-100-persen-minyak-sawit-

Katadata.co.id | Kamis, 16 Juli 2020

Minyak Jelantah, dari Limbah Jadi Biodiesel

(Sebesar 1,6 miliar liter minyak jelantah berpotensi mampu mencukupi 32 persen produksi biodiesel nasional)

Limbah minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) merupakan alternatif bahan baku biodiesel yang menjanjikan. Potensi ini terlihat dari besarnya produksi dan konsumsi minyak goreng di Indonesia yang berakhir menjadi minyak jelantah. Publikasi Indonesia Oilseeds and Products Annual 2019 menyebutkan, konsumsi minyak goreng rumah tangga Indonesia mencapai 13 juta ton atau setara 16,2 miliar liter pada 2019. Hal ini menunjukkan potensi produksi minyak jelantah juga cukup besar. Studi International Council on Clean Transportation (ICCT) menunjukkan bahwa potensi produksi minyak jelantah di tahun 2018 mencapai 1,6 miliar liter dengan rata-rata potensi per tahun mencapai 3 miliar liter. Selain itu, penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel juga memiliki manfaat lingkungan dan ekonomi yang besar. Sebanyak 1,6 miliar liter minyak jelantah mampu mencukupi 32 persen produksi biodiesel nasional. Ini mampu membuat pemerintah berhemat anggaran produksi biodiesel Rp 345 miliar per tahun. Seperti yang diketahui, pemerintah menggalakan program biodiesel B30 sebagai alternatif untuk menekan konsumsi bahan bakar fosil. Di tahun ini, target pemerintah bahkan ditingkatkan menjadi program biodiesel B50. Biodiesel minyak jelantah dapat mengurangi 91,7 persen emisi CO2 dibanding penggunaan solar biasa. Jenis bahan bakar ini bahkan telah memenuhi standar biodiesel ramah lingkungan Eropa. Serta mengurangi terjadinya pencemaran pada tanah. Meski demikian, penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel belum mendapat perhatian. Implementasi produksi biodiesel nasional selama ini masih bertumpu pada penggunaan bahan baku yang berasal dari minyak kelapa sawit.

https://katadata.co.id/infografik/2020/07/16/minyak-jelantah-dari-limbah-jadi-biodiesel

Kontan.co.id | Kamis, 16 Juli 2020

Begini tanggapan Mahkota Group (MGRO) soal kebijakan DMO minyak sawit

PT Mahkota Group Tbk (MGRO) menilai bahwa kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) minyak sawit  dapat meningkatkan penjualan sawit ke dalam negeri. Namun, pemerintah juga perlu mengkaji beberapa hal penting agar tidak merugikan pelaku usaha sawit.  Sekretaris Perusahaan MGRO, Elvi memaparkan kebijakan DMO minyak sawit yang saat ini masih dibahas di kementerian ESDM perlu dikaji secara khusus karena menyangkut harga, volume kebutuhan dan sumber pasokan.  Adapun Elvi menjelaskan Pertamina selaku produsen biodiesel yang mewakili perusahaan pelat merah telah berkomitmen, siap melaksanakan program B100. Tentunya ini memerlukan jaminan ketersediaan pasokan CPO dari produsen dengan harga jual yg lebih murah dibandingkan dengan harga ekspor sehingga nantinya harga biodisel B100 dapat kompetitif.  “Sedangkan dari sisi pelaku usaha sawit baik hulu maupun hilir tentunya juga tidak mau dirugikan akibat adanya DMO ini terutama dari sisi harga,” tegas Elvi kepada Kontan.co.id, Kamis (16/7). Namun Elvi tidak menampik bahwa penerapan DMO ini tentunya bisa membuat penjualan domestik meningkat secara drastis.

https://industri.kontan.co.id/news/begini-tanggapan-mahkota-group-mgro-soal-kebijakan-dmo-minyak-sawit

Jawapos.com | Kamis, 16 Juli 2020

Pemkab-EMP Malacca Straits Bahas Eksplorasi Minyak

Bupati Siak Alfedri didampingi Asisten Ekbang Setdakab Siak Hendrisan, menerima kunjungan GM EMP Malacca Straits beserta anggota di Komplek Abdi Praja Kediaman Bupati Siak, Selasa (14/7) petang. Kunjungan tersebut untuk silaturahmi, sekaligus membahas eksplorasi minyak di anjungan lepas pantai (off shore) Selat Lalang,  Kecamatan Sungai Apit. Bupati mengatakan, ada potensi eksplorasi dan eksploitasi di off shore Selat Lalang. Jika dilakukan penambangan, bisa menambah pendapatan daerah begitu juga potensi gas di KITB yang juga luar biasa. Ke depan mudah-mudahan ada kerja sama antara Malacca Straits dengan BOB traktor bergerak di CPP Blok antara BSP dengan Pertamina Hulu, yang tentu sumber gasnya berasal dari Malacca Straits untuk power plant yang ada di Pusako. “Saya harapkan bisa membantu untuk ketersediaan energi listrik dan operasional di BOB,” sebutnya. Bupati Alfedri berharap ke depan Malacca Straits bisa mengembangkan biodiesel di Siak. Begitu juga dengan lahan KITB yang bisa dikerjasamakan be to be antara Malacca Straits dengan pengelola KITB. Tentunya Siak punya bahan baku untuk biodiesel ini, salah satunya dari CPO pabrik-pabrik kelapa sawit yang ada di Kabupaten Siak. “Mudahan pertemuan hari ini bisa ditingkatkan, dan dilanjutkan di masa yang akan datang. Saya harapkan sinergi yang baik bagi pengembangan daerah, dan juga untuk peningkatan kemampuan pengelolaan perminyakan dan gas yang ada di Malacca Straits,” katanya. GM EMP Malacca Straits Kelik Rudi Sunarya mengatakan, kehadiran mereka di Kabupaten Siak bersilaturahmi, juga berkomitmen untuk meningkatkan produksi minyak dan gas terutama yang berada di wilayah Siak. “Saat ini kami sedang fokus melakukan eksplorasi di wilayah Kabupaten Meranti. Tahun depan kami akan fokus eksplorasi di anjungan lepas pantai (offshore) untuk melakukan studi dan kegiatan.   Terakhir, Kelik mengharapkan dengan ditemukannya cadangan minyak yang baru bisa menambah PAD maupun lapangan pekerjaan untuk masyarakat sekitar, terutama dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti ini.

https://riaupos.jawapos.com/siak/16/07/2020/234975/pemkabemp-malacca-straits-bahas-eksplorasi-minyak.html

Oto.com | Kamis, 16 Juli 2020

Penerapan Euro 4 Diesel di Indonesia Ditunda, Ini Tanggapan Pabrikan

Lantaran pandemi COVID-19, pemerintah akhirnya menunda kebijakan Euro 4 untuk mesin diesel. Semula dijadwalkan April 2021 harus mundar menjadi April 2022. Sebelumnya KLHK pada 2017 merilis aturan emisi Euro 4 yang diatur dalam P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017. Isinya tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, dan O atau standar emisi Euro 4. Dan agen pemegang merek setuju dengan regulator lantaran ada sejumlah kendala. Nah, dalam beleid itu, penggunaan minimal angka oktan (RON) yang digunakan kendaraan berbahan bakar bensin minimal 91. Sedangkan untuk diesel adalah dengan cetane number (CN) minimal 51. Kemudian keluarlah revisi penundaan KLHK. No S 786/MENLHKPPKL/SET/PKL.3/5/2020 per Mei kemarin. Karena sejumlah sektor terimbas, uji coba pun ikut mundur. Isuzu Astra Motor Indonesia (IAMI) sebagai anggota Gaikindo, mengikuti aturan berlaku. Hal ini didasari pada loyonya ekonomi yang membuat pebisnis enggan berinvestasi pada kendaraan niaga. APM melihat, itu bisa memberatkan pelaku usaha karena ongkos modal untuk penggantian seluruh armada tidak murah.  “Sejak pemerintah mengatakan bakal mengimplementasi Euro 4, maka kami segera bersiap diri. Begitu pula dengan kebijakan bahan bakar bio diesel B30. Seluruh engineer kami di Indonesia kerja bareng prinsipal di Jepang, untuk segera menyiapkan produk yang sesuai ketentuan,” ungkap Ernando Demily, Presiden Direktur PT Isuzu Astra Motor Indonesia. Meski demikian, sebagai perusahaan manufaktur kendaraan niaga, IAMI mengaku tetap mendukung aturan pemerintah. Khusus pada penerapan standardisasi Euro 4. Sebab, menurut mereka, dalam jangka panjang regulasi itu dapat meningkatkan daya saing industri otomotif Indonesia di level global. Pabrikan bahkan siap dengan teknologi mesin commonrail sejak 2011 yang menjadi standar pada saat kebijakan emisi gas buang diterapkan. “Kami memiliki Isuzu Giga, medium truk pertama di Indonesia yang sudah menggunakan mesin commonrail. Jadi sangat siap dengan Euro 4. Walau begitu, saat ini kami sedang menyiapkan segala sesuatunya. Sehingga pada saat penerapan aturan berlangsung, seluruh ekosistem kami telah siap,” tambah pria yang karib dipanggil Nando.

Tantangan Bisnis

Berdasar data Bloomberg Economic Growth Forecast (survey Juni 2020). Proyeksi pertumbuhan kuartal kedua 2020 memburuk di semua negara. Termasuk Indonesia yang diperkirakan bakal dekaden 3,1 persen. Maka tuntukan bisnis ke depan ialah keseimbangan antara isu kesehatan dan ekonomi. Untuk itu sebuah manufaktur mesti ambil pola pikir dan pendekatan bisnis berbeda. Isuzu mengaku, dalam menghadapi disrupsi akibat COVID-19 bakal mengaplikasi strategy 4R. Yaitu Reaction, Recession, Rebound dan Reimagine. Kata krisis, ungkap Nando, terdiri dari dua makna yaitu thread (ancaman) dan opportunity (kesempatan). Saat ini titik keseimbangan antara keduanya sedang bergerak sangat kuat. Isuzu mengaku ingin mengambil dari sisi positif. Artinya, ada tantangan plus kesempatan untuk bertumbuh. Asalkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan tetap memiliki fondasi yang kuat . Perusahaan yakin, antara industri logistik dan otomotif kendaraan komersial tetap punya kesempatan. Karena pada saat apapun, tetap ada kebutuhan logistik. Dan selama logistik berjalan maka kebutuhan pada kendaraan komersial masih ada. “Pada segmen logistik dalam menghadapi kondisi baru. Selain peningkatan biaya operasional untuk protokol kesehatan, ditambah juga dengan peraturan pemerintah seperti ODOL, emisi gas buang pada 2022. Maka penggunaan teknologi digitalisasi yang semakin gencar tentu saja dapat beimplikasi pada peningkatan nilai investasi,” imbuh dia. Dalam sudut pandang manufaktur, solusinya dalam meningkatkan produktivitas yaitu melalui tiga cara. Pertama, memiliki unit yang sesuai dengan kebutuhan bisnis. Pastikan kemudahan dan kecepatan dalam after sales agar tidak langsam. Terakhir, berusaha menciptakan biaya operasional kian kompetitif.

https://www.oto.com/berita-truk/penerapan-euro-4-diesel-di-indonesia-ditunda-ini-tanggapan-pabrikan

CNBCIndonesia.com | Kamis, 16 Juli 2020

Sukses D-100, Pertamina Siap Produksi Green Energy

Setelah sukses memproduksi Green Diesel (D-100) melalui pengolahan minyak sawit 100%, PT Pertamina (Persero) terus melangkah maju dan siap memproduksi green energy lainnya, seperti Green Gasoline dan Green Avtur dari kilang dalam negeri pada tahun-tahun mendatang. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional, untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia. Langkah ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan mendayagunakan sumber daya alam domestik untuk membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional. “Pertamina menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah dan semua pihak agar Pertamina terus mengembangkan green energy seperti B30 dan B50 serta D-100. Pertamina telah menyelesaikan penyiapan kilang dan katalis merah putih, yang nantinya akan dilanjutkan dengan kajian keekonomian” ujar Nicke di sela-sela kunjungan ke fasilitas pengolahan RBDPO di Kilang Dumai, Riau, Rabu (15/7). Saat kunjungan ke Kilang Dumai, Wakil Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif mengatakan bahwa selain Green Diesel saat ini Pertamina juga tengah mengembangkan BBN lain berbahan sawit yaitu Green Gasoline dan Green Avtur “Untuk Green Gasoline, Pertamina sudah melakukan uji coba sejak 2018, 2019 dan 2020 di Kilang Plaju dan Cilacap. Namun uji coba tersebut baru mampu mengolah minyak sawit RBDPO sebesar 20%. Sedangkan ujicoba mengolah minyak sawit menjadi Green Avtur akan dilakukan di akhir tahun 2020 juga di Kilang Cilacap” ungkapnya.

Menurut Budi, walaupun ujicoba Green Gasoline yang dilakukan Pertamina baru mampu mengolah minyak sawit sebesar 20% namun hal ini adalah yang pertama di dunia mengingat mengolah minyak sawit menjadi Green Gasoline belum pernah dilakukan dalam skala operasional. “Mengolah minyak sawit menjadi green diesel sudah dilakukan juga oleh beberapa perusahaan lain di dunia, namun mengolah minyak sawit menjadi green gasoline belum pernah dilakukan di dunia dan Pertamina adalah yang pertama karena selama ini hal tersebut masih sebatas skala laboratorium untuk riset” lanjut Budi Selain Dumai, Pertamina juga akan membangun Standalone Biorefinery di Cilacap dengan kapasitas 6.000 barel per hari dan Standalone Biorefinery di Plaju dengan kapasitas 20.000 barel per hari. Kedua standalone Biorefinery ini kelak akan mampu memproduksi Green Diesel maupun Green Avtur dengan berbahan baku 100% minyak nabati. Budi menambahkan, tantangan ke depan, Pertamina tidak hanya mengembangkan green energy dari CPO atau sawit, tetap juga dari sumber daya lainnya seperti algae, gandum, sorgum dan sebagainya. Pertamina akan terus mendayagunakan segala sumber daya alam domestik, untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Sekarang ini, lanjut Budi, Pertamina terus berusaha untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada di Indonesia dengan mengoptimalkan market yang ada dalam negeri, karena cukup besar. Mengolah kelapa sawit menjadi bahan bakar memiliki TKDN (Total Kandungan Dalam Negeri) yang amat sangat tinggi dan berpotensi mengurangi defisit transaksi negara, karena sawit adalah bahan baku domestik yang transaksinya dilakukan dengan mata uang rupiah, dengan begitu akan berdampak positif pada pertumbuhan perekonomian nasional. Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menggunakan FAME untuk program biodiesel sejak tahun 2006 dan hingga tahun 2017, selama 11 tahun, penyerapan FAME mencapai 9,2 juta KL. Pada tahun 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dimana penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada tahun 2019, penyerapan FAME meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL dan tahun 2020 ditargetkan meningkat menjadi 8,38 juta KL.

Implementasi program B20 dan B30 di tahun 2019 telah menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun dan tahun 2020, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang. “Seiring berjalannya waktu terdapat trend shifting pada penggunaan bahan bakar, yaitu semula bahan bakar fosil perlahan bergeser ke bahan bakar terbarukan. Pola pemenuhan energi nasional pun mengalami perubahan dari sebelumnya mengandalkan foreign supply menjadi domestik supply. Untuk itu kita harus terus berupaya memaksimalkan dalam hal pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya lokal yang kita miliki,” pungkas Budi.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200716224025-4-173394/sukses-d-100-pertamina-siap-produksi-green-energy

Sawitindonesia.com | Kamis, 16 Juli 2020

Pungutan Ekspor dan B30 Penopang Industri Sawit

Pemerintah menunjukkan keberpihakannya untuk mendukung keberlangsungan industri sawit. Agar program B30 tetap berjalan, pungutan ekspor dinaikkan. Di sisi lain, peremajaan sawit terus digenjot mencapai target 500 ribu ha. Di pertengahan Juni 2020, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menjelaskan upaya pemerintah menjaga industri sawit di kala pandemi. Fokus pemerintah melanjutkan program strategis seperti Peremajaan Sawit Rakyat dan B30. Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), pemerintah akan mengucurkan tambahan dana sebesar Rp2,78 triliun bagi pengembangan di sektor hulu yang mencakup peremajaan, sarana dan prasarana, serta pembinaan sumberdaya manusia di sektor sawit. Menurut Airlangga, kegiatan replanting ini diharapkan menjadi cara menyuplai kebutuhan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel campuran 30% atau B30. Program B30 ditargetkan akan selesai sampai pengujung 2020. Selanjutnya, campuran biodiesel ditingkatkan menjadi 40% atau B40 dengan teknologi destilasi diharapkan berjalan pada 2022. Pengembangan Green Refinery (D100 atau green diesel) akan berjalan pada 2026. Dalam pandangan Airlangga, pemerintah tetap melanjutkan program strategis seperti B30 yang telah berjalan semenjak awal tahun ini. Program ini dinilai mampu menghemat devisa negara untuk impor solar.

Walaupun, saat ini harga minyak bumi jatuh sehingga memperlebar selisih harga minyak bumi dengan FAME. Sebagai informasi, Harga Indeks Pasar (HIP) untuk jenis Bahan Bakar Nabati (BBN) Biodiesel bulan Mei 2020 sebesar Rp 8.494/liter. Sedangkan Harga Indeks Pasar solar sebesar Rp 3.083,14/liter. Besarnya selisih harga solar dan biodiesel inilah sebagai insentif yang akan dibayarkan BPDP-KS. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan bahwa kondisi adanya gap atau jarak antara harga indeks pasar (HIP) bahan bakar nabati (BBN) dan HIP solar pada saat ini membuat kebutuhan subsidi meningkat. Adanya gap yang besar tersebut membuat insentif yang seharusnya diberikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) tak lagi mencukupi karena kondisi keuangan yang tidak baik “Saat ini posisi keuangannya tidak mungkin untuk meng-cover insentif itu hingga akhir tahun, cukup besar gapnya antara HIP,” ujarnya seperti dilansir dari bisnis.com pada Mei 2020. Solusinya adalah pemerintah telah menaikkan pungutan ekspor sawit dan mengucurkan dana untuk menopang program sawit di bawah BPDP Kelapa sawit termasuk B30. Kebijakan menaikkan pungutan ekspor telah dimulai semenjak 1 Juni 2020. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/ PMK. 05/ 2020 tentang Tarif Layanan Badan LayananUmum dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Beleid itu ditandatangani Sri Mulyani, Menteri Keuangan pada 29 Mei 2020 lalu. Merujuk lampiran PMK 57/2020, Kementerian Keuangan menetapkan 24 jenis layanan dengan tarif tunggal berkisar US$0 hingga US$55 per ton. Dalam aturan pendahulunya, tarif pungutan maksimal US$50 per ton. “Ini (pungutan ekspor) seperti disebutkan presiden, sharing the pain, diantara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha sehingga industri sawit bertahan saat Covid-19 ini,” ucap Dr. Fadhil Hasan, Ekonom INDEF, dalam sebuah diskusi.

https://sawitindonesia.com/pungutan-ekspor-dan-b30-penopang-industri-sawit/

Kontan.co.id | Kamis, 16 Juli 2020

Tak cuma Diesel 100% sawit, Pertamina siap produksi Bensin & Avtur dari 100% sawit

Setelah sukses memproduksi Green Diesel (D-100) melalui pengolahan minyak sawit 100%, PT Pertamina (Persero) terus melangkah maju dan siap memproduksi green energy lainnya, seperti Green Gasoline dan Green Avtur dari kilang dalam negeri pada tahun-tahun mendatang. Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan Pertamina memiliki tugas dan peran penting menjalankan amanah dari pemerintah untuk menjaga ketahanan energi nasional, untuk itu Pertamina terus berupaya menghadirkan inovasi-inovasi yang dapat berdampak luas bagi bangsa dan negara Indonesia. Langkah ini sesuai arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan mendayagunakan sumber daya alam domestik untuk membangun ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi nasional. “Pertamina menyampaikan terima kasih atas dukungan pemerintah dan semua pihak agar Pertamina terus mengembangkan green energy seperti B30 dan B50 serta D-100. Pertamina telah menyelesaikan penyiapan kilang dan katalis merah putih, yang nantinya akan dilanjutkan dengan kajian keekonomian” ujar Nicke di sela-sela kunjungan ke fasilitas pengolahan RBDPO di Kilang Dumai, Riau, Rabu (15/7).

Saat kunjungan ke Kilang Dumai, Wakil Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif mengatakan bahwa selain Green Diesel saat ini Pertamina juga tengah mengembangkan BBN lain berbahan sawit yaitu Green Gasoline dan Green Avtur “Untuk Green Gasoline, Pertamina sudah melakukan uji coba sejak 2018, 2019 dan 2020 di Kilang Plaju dan Cilacap. Namun uji coba tersebut baru mampu mengolah minyak sawit RBDPO sebesar 20%. Sedangkan ujicoba mengolah minyak sawit menjadi Green Avtur akan dilakukan di akhir tahun 2020 juga di Kilang Cilacap” ungkapnya. Menurut Budi, walaupun ujicoba Green Gasoline yang dilakukan Pertamina baru mampu mengolah minyak sawit sebesar 20% namun hal ini adalah yang pertama di dunia mengingat mengolah minyak sawit menjadi Green Gasoline belum pernah dilakukan dalam skala operasional. “Mengolah minyak sawit menjadi green diesel sudah dilakukan juga oleh beberapa perusahaan lain di dunia, namun mengolah minyak sawit menjadi green gasoline belum pernah dilakukan di dunia dan Pertamina adalah yang pertama karena selama ini hal tersebut masih sebatas skala laboratorium untuk riset” lanjut Budi

Selain Dumai, Pertamina juga akan membangun Standalone Biorefinery di Cilacap dengan kapasitas 6.000 barel per hari dan Standalone Biorefinery di Plaju dengan kapasitas 20.000 barel per hari. Kedua standalone Biorefinery ini kelak akan mampu memproduksi Green Diesel maupun Green Avtur dengan berbahan baku 100% minyak nabati. Budi menambahkan, tantangan ke depan, Pertamina tidak hanya mengembangkan green energy dari CPO atau sawit, tetap juga dari sumber daya lainnya seperti algae, gandum, sorgum dan sebagainya. Pertamina akan terus mendayagunakan segala sumber daya alam domestik, untuk mendukung kemandirian dan kedaulatan energi nasional. Sekarang ini, lanjut Budi, Pertamina terus berusaha untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada di Indonesia dengan mengoptimalkan market yang ada dalam negeri, karena cukup besar. Mengolah kelapa sawit menjadi bahan bakar memiliki TKDN (Total Kandungan Dalam Negeri) yang amat sangat tinggi dan berpotensi mengurangi defisit transaksi negara, karena sawit adalah bahan baku domestik yang transaksinya dilakukan dengan mata uang rupiah, dengan begitu akan berdampak positif pada pertumbuhan perekonomian nasional. Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menggunakan FAME untuk program biodiesel sejak tahun 2006 dan hingga tahun 2017, selama 11 tahun, penyerapan FAME mencapai 9,2 juta KL.

Pada tahun 2018, Pertamina menjalankan Program B20 dimana penyerapan FAME sebesar 3,2 juta KL yang pencampurannya  dilakukan di 69 lokasi. Melalui Program B30, pada tahun 2019, penyerapan FAME meningkat tajam sebesar 5,5 juta KL dan tahun 2020 ditargetkan meningkat menjadi 8,38 juta KL. Implementasi program B20 dan B30 di tahun 2019 telah menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun dan tahun 2020, Pertamina menargetkan penghematan devisa sebesar Rp 63,4 triliun dengan serapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang. “Seiring berjalannya waktu terdapat trend shifting pada penggunaan bahan bakar, yaitu semula bahan bakar fosil perlahan bergeser ke bahan bakar terbarukan. Pola pemenuhan energi nasional pun mengalami perubahan dari sebelumnya mengandalkan foreign supply menjadi domestik supply. Untuk itu kita harus terus berupaya memaksimalkan dalam hal pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya lokal yang kita miliki,” pungkas Budi

https://industri.kontan.co.id/news/tak-cuma-diesel-100-sawit-pertamina-siap-produksi-bensin-avtur-dari-100-sawit

Media Indonesia | Jum’at, 17 Juli 2020

Menperin Pacu Produksi Green Diesel Berkualitas

PEMERINTAH berkomitmen untuk konsisten menerapkan kebijakan mandatory biodiesel 30% (B30) sejak Desember 2019 hingga saat ini. Bahkan, pemerintah bertekad untuk meningkatkannya sampai 40%, 50%, hingga 100%. Hal itu dilakukan untuk mengurangi tingginya impor bahan bakar minyak (BBM). “Presiden (Joko Widodo) juga telah memerintahkan untuk menambah komposisi pencampuran bahan bakar nabati untuk jenis diesel sampai dengan 40%, 50%, hingga 100% untuk menunjukkan kedaulatan energi nasional yang mandiri dan berdikari,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita melalui keterangan resminya, kemarin. Guna mewujudkan instruksi Presiden Joko Widodo tersebut, sambung Agus, rekayasa produk serta proses produksi diesel hijau yang berkualitas tinggi dan keekonomian yang bersaing merupakan kunci utama. Dalam hal ini, tim peneliti dari PT Pertamina (Persero) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah berhasil melakukan rekayasa co-processing minyak sawit, yang membuat Indonesia menjadi salah satu referensi teknologi produksi biofuel dunia. Menperin menyampaikan hal tersebut ketika melakukan kunjungan kerja di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit II Dumai, Provinsi Riau. Di Dumai, Menperin menyaksikan langsung hasil karya riset dan aplikasi teknologi produksi green diesel (bahan bakar diesel hijau) dari minyak sawit. “Kami sangat mengapresiasi hasil kerja keras, ketekunan, dan kepiawaian tim dari ITB di bawah pimpinan Prof Dr Soebagjo beserta tim peneliti PT Pertamina yang telah berhasil mewujudkan teknologi produksi green diesel secara stand alone dengan katalis Merah Putih made in Indonesia,” paparnya. Agus menambahkan, pengembangan industri diesel hij au merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kelas petani rakyat sebagai stakeholder utama industri sawit nasional. “Artinya, program ini akan lebih banyak memberikan kesejahteraan bagi para petani kelapa sawit. Selain itu, program mandatory biodiesel, termasuk B30, juga telah dirancang dan dijalankan secara konsisten untuk mencegah turunnya harga CPO global akibat fenomena oversupply dunia,” tuturnya. Dia menambahkan, selain memacu produksi bahan bakar nabati, Ke-menperin juga akan fokus pada program pengembangan sistem kemitraan agrobisnis antara sektor industri pengolahan sebagai pengguna minyak nabati dan kelompok tani atau koperasi tani sebagai penyedia bahan baku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *